Melihat Papua dengan Mata Data
Paradigma pembangunan Papua harus menuju ke arah menciptakan rasa kepemilikan oleh masyarakat Papua secara langsung, terutama di tatanan generasi mudanya sebagai angkatan penerus tonggak kepemimpinan di Papua.

Forum Pelajar dan Mahasiwa Eksodus Papua menyerahkan peryataan sikap kepada Majelis Rakyat Papua di Kota Jayapura, Rabu (10/6/2020). Mereka menuntut pembebasan ketujuh terdakwa kasus makar asal Papua yang disidangkan di Balikpapan, Kalimantam Timur.
Papua kembali menjadi isu yang memantik perdebatan panas belakangan ini. Sejumlah webinar (web seminar) menjamur memperbincangkan daerah paling timur Indonesia itu. Tema yang dibahas merujuk pada dua hal, kesejahteraan dan keamanan di Papua. Yang membuat panas tentu saja sisipan isu rasial.
Kematian George Floyd, warga Afro-Amerika yang menjadi korban brutalitas polisi di Minneapolis, menjadi semacam picu seolah-olah Indonesia juga Amerika. Masalah Papua lalu disejajarkan dengan rasialisme di Amerika.
Kita memahami, rasialisme adalah realitas global, sesuatu yang dilawan oleh peradaban modern. Dia tak hanya terjadi di Barat yang mencerminkan kolonialisme dan perdagangan budak. Harus diakui rasialisme dengan sejarah yang sama dapat ditemukan juga di wilayah lain di dunia.
Sosiolog Richard Schaefer, misalnya, melihat ras dan suku bangsa (ethnicity) mengacu kepada konstruksi sosial terkait kelompok yang sudah lama terbentuk dan terikat oleh, di antaranya, budaya, asal, tradisi, agama, dan bahasa. Lebih spesifik, Schaefer menyampaikan bahwa kata ras lebih mengacu kepada konstruksi perbedaan berbasis penampilan.
Kita memahami, rasialisme adalah realitas global, sesuatu yang dilawan oleh peradaban modern.
Intinya, rasialisme ini terkait dominasi berdasarkan ras, berbasis pemikiran bahwa satu atau lebih kelompok ras adalah superior dan menggunakan ini untuk membenarkan perlakuan lebih buruk bagi kelompok ras lain.
Kisah Floyd lalu menginspirasi dunia. Banyak negara menaikkan tagarnya mengikuti #Blacklivesmatter yang sudah lebih dulu populer di AS. Tak terkecuali di Indonesia dengan #Papuanlivesmatter.
Lantas, apa benar rasialisme di Indonesia sudah demikian sistemik, mewujud menjadi rasialisme terlembaga? Tuduhan itu terutama mengacu pada rentetan kerusuhan yang pecah di Manokwari, Sorong, Fakfak, Timika, Deiyai, Wamena, dan Jayapura pertengahan Agustus 2019 hingga akhir September 2019 yang menyisakan duka mendalam bagi kita semua.
Dalam soal ini, kita tentu tak boleh gegabah menyimpulkan. Rasialisme adalah sebuah tuduhan sangat keras bagi masalah Papua. Rasialisme sesungguhnya dapat dikenali dari pola kepemimpinan, kebijakan, UU dan peraturan, juga program dan sistem sosial.

Pelaksanaan program Gedor TB rumah salah satu warga di Kampung Nolokla, Distrik Sentani Timur, Kabupaten Jayapura, Papua, Kamis (19/3/2020). Program ini untuk mendeteksi warga yang diduga menderita penyakit tuberkulosis dan sosialiasi cara pencegahan penyakit menular tersebut.
Sebagai contoh, rasialisme sistemik dapat berasal dari pendidikan, praktik perekrutan, atau akses. Apa yang terjadi di Papua justru menyajikan fakta sebaliknya. Negara dan pemerintah berupaya keras mempercepat pembangunan kesejahteraan di sana. Lalu mengapa segregasi sosial masih terjadi, apa akar masalahnya?
Secara umum ada dua stigma negatif pada pemerintah pusat. Pertama, pemerintah pusat tak membangun manusia di Papua dan hanya fokus pembangunan infrastruktur. Kedua, pemerintah pusat konsisten berlaku represif dan melanggar HAM.
Data berbicara
Membaca Papua hari ini tentu berbeda dengan awal reformasi dua dekade lalu. Ada variabel baru muncul: konstelasi politik lokal, nasional, internasional, dan teknologi informasi. Data aksi aparat keamanan semata tentu tak cukup, tanpa melihat jejaring baru kelompok separatis bersenjata di dalam maupun di luar negeri. Data mutakhir Gugus Tugas Papua UGM menunjukkan pelaku aksi kekerasan terbanyak adalah kelompok separatis bersenjata.
Persoalan HAM juga melebar dari dimensi hak sipil politik ke hak ekonomi, sosial budaya. Belum lagi soal tata kelola pemerintahan, di pusat maupun di daerah, dari tingkat provinsi, distrik, hingga desa. Semua unsur itu harus ditimbang agar kita tak buram dalam membaca Papua. Kita membutuhkan data akurat, hasil riset lembaga penelitian, dan kajian kampus yang kredibel.
Terkait stigma pertama, benarkah Presiden hanya membangun infrastruktur dan mengabaikan SDM di Papua?
Data mutakhir Gugus Tugas Papua UGM menunjukkan pelaku aksi kekerasan terbanyak adalah kelompok separatis bersenjata.
Banyak kebijakan pembangunan manusia telah dibuat Presiden Jokowi, mulai dari pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi lokal, infrastruktur, hingga digitalisasi. Kebijakan BBM satu harga di tanah Papua, misalnya, adalah perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Papua bahkan masuk program prioritas nasional. Inpres Nomor 9 Tahun 2017 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat boleh disebut landmark policy Presiden Jokowi. Dengan instrumen itu, Presiden memimpin orkestrasi pembangunan di Papua dengan melibatkan puluhan kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah. Target utamanya pembangunan kesejahteraan.
Lalu, apakah rangkaian kebijakan itu berdampak positif bagi Papua? Mari kita simak indikator obyektif, misalnya, Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Rentang 2014-2018, Provinsi Papua Barat skornya naik dari 61 menjadi 64 poin. Angka bagi Provinsi Papua meningkat dari 57 menjadi 60 poin. Pertumbuhan Kota Jayapura, Sorong, dan Kabupaten Mimika juga di atas rata-rata nasional.

Anak-anak SDN Mawan berlarian seusai pulang sekolah di Distrik Mandobo, Boven Digoel, Papua, Selasa (3/3/2020).
Indikator lain, angka tengkes (stunting). Kurun 2013 hingga 2018, dari 40,1 persen turun menjadi 32,9 persen untuk Provinsi Papua. Untuk Papua Barat, dari 44,6 persen ke 27,8 persen. Itu sekadar contoh. Data BPS dan data pendukung tentu saja terbuka diuji dan diperdebatkan. Hal itu penting untuk membuka ruang berdialog secara sehat dalam mengenali Papua lebih mendalam hari ini.
Lalu soal stigma kedua, bahwa pemerintah pusat kerap represif dan melanggar HAM di Papua. Tuduhan ini mengandung bias dan bisa dipastikan tak ada satu pun kebijakan pusat yang memerintahkan penggunaan kekerasan eksesif. Presiden justru menegaskan bahwa pengelolaan masalah Papua haruslah berbasiskan kesejahteraan, budaya, dialog, dan bukan semata pendekatan keamanan.
Dunia mengakui hal itu jika kita melihat Indonesia terpilih sebagai anggota Dewan HAM PBB periode 2020-2022. Di tengah kampanye buruk pelanggaran HAM oleh sejumlah pihak, dukungan bagi Indonesia bahkan mengalahkan Jepang dan Korea Selatan. Maka, stigma pemerintah bertindak represif dan melanggar HAM di Papua adalah tidak berdasar.
Apa yang salah?
Ada dua hal yang perlu menjadi titik renung kita semua dalam memaknai peristiwa kerusuhan di Papua beberapa waktu lalu: pengelolaan Papua secara umum, yakni kendali pemerintah daerah yang belum maksimal dan sense of ownership antara pembangunan dan masyarakat Papua.
Pertama, peran pemerintah daerah dalam hal ini perlu lebih maksimal, terutama di Papua di mana desentralisasi bersifat asimetris. Dalam konteks itu, pemerintah pusat tak lagi dalam posisi sebagai pengendali tunggal atas pembangunan dan dinamika yang terjadi di daerah.
Maka, stigma pemerintah bertindak represif dan melanggar HAM di Papua adalah tidak berdasar.
Sebaliknya, pemerintah daerah lewat perangkatnya perlu mengakar dan menjangkau titik rentan yang perlu mendapat perhatian lebih. Mereka perlu berperan aktif melayani publik di daerah-daerah dengan medan sulit. Sementara untuk menjaga kohesi sosial, mereka perlu hadir sebagai pembina yang merangkul segenap unsur masyarakat, agama, serta adat.
Ihwal rasa kepemilikan pembangunan oleh masyarakat Papua perlu diakui ada persepsi atas sifat pembangunan yang cenderung satu arah. Ada pula kritik bahwa masyarakat merasa kurang terlibat dalam proses pembangunan. Sentimen demikian harus dicatat sebagai refleksi atas belum adanya pemahaman merata dan tepat atas skema musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) di masyarakat.
Di masa mendatang, paradigma pembangunan Papua harus menuju ke arah co-creation. Artinya, pembangunan dapat menciptakan rasa kepemilikan oleh masyarakat Papua secara langsung, terutama di tatanan generasi mudanya sebagai angkatan penerus tonggak kepemimpinan di Papua.

Suasana pelayanan KB metode kontrasepsi jangka panjang yang diberikan oleh petugas BKKBN bagi warga Distrik Arso, Selasa (19/12/2019), di Posyandu Bina Ria Sejahtera Arso VII, Kabupaten Keerom, Papua.
Pemerintah saat ini sedang merevisi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 terkait Otonomi Khusus. Momen revisi UU itu perlu dilihat sebagai sebuah kesempatan mengubah paradigma pengelolaan masalah Papua. Persoalan Papua adalah batu uji kebangsaan kita. Selain melihat dengan hati, perlu kiranya menimbang Papua dengan mata data.
Jaleswari Pramodhawardani
Deputi V Polhukhankam dan HAM Kantor Staf Presiden