Rasa Bersalah Seorang Wartawan
Bagaimana bisa tahun 2016 saya meliputnya, tetapi tidak tahu bahwa tahun 2009 ia sudah berbuat bejat kepada anak didiknya. Pertanyaan kenapa.., kenapa.., dan kenapa terus menyesaki hati dan pikiran. Saya tidak terima.
Pernahkah, sebagai jurnalis, kamu menulis hingga tulisanmu dielu-elukan? Pastinya. Tapi, pernahkah kamu menulis dan tulisan itu berujung pada rasa bersalah tak berkesudahan? Kali ini saya mengalaminya.
Tulisan ini saya buat sebagai bagian dari upaya meredakan rasa bersalah, meminta maaf, dan menerima kenyataan bahwa ini harus jadi pelajaran bagi kehidupan jurnalistik saya ke depan.
Bermula pada Desember 2016, saya menyetor dua tulisan untuk Tim Natal dan Tahun Baru Harian Kompas. Sebuah tulisan gabungan untuk diterbitkan sebagai serial di halaman pertama dan sebuah tulisan sosok (tokoh) di halaman belakang. Tulisan serial gabungan terbit pada pertengahan Desember 2016. Dan, tulisan sosok terbit 2 Januari 2017.
Saat sosok itu terbit, saya sangat gembira. Bukan karena tulisan saya terbit, melainkan lebih karena semangat dari sosok tersebut, yang saya rasa sangat dibutuhkan bangsa ini. Seorang sosok pluralis, anti-SARA, dan berjiwa sosial tinggi.
Dengan tulisan itu, rasanya awal tahun 2017 saya ”mulai” dengan membantu menebar semangat positif untuk negeri. Sungguh, itu adalah kebanggaan luar biasa bagi seorang penulis.
Baca juga: Jurnalisme sebagai Tugas Suci
Tulisan sosok itu diapresiasi banyak orang. Gemanya ke mana-mana. Saat itu, sosok tersebut juga laris manis diundang ke berbagai acara TV, talkshow, seminar, dan lainnya. Intinya, pandangan dan kiprah sosok tersebut menjadi perbincangan banyak orang.
Satu kalimat pembuka tulisan saya kala itu, yang diambil dari ucapan sosok tersebut, sungguh membuat hati saya menghangat dan berbunga-bunga. Bahkan hingga menitikkan air mata haru saat mendengar dan menuliskannya. Berikut adalah potongan ucapan dari sosok yang saya tulis tersebut.
”Saat lahir, kita tidak pernah bisa memilih untuk menjadi China, Jawa, Muslim, Nasrani, Hindu, Buddha, atau lainnya. Kita hanya bisa menjalaninya hingga ujung usia. Yang membedakan manusia adalah tindakannya. Biar langit yang akan mencatat, apakah kita nanti bertemu di surga atau di neraka.”
Betapa saat mendengarnya, saya merasa Indonesia yang selalu terseok-seok dalam konflik keberagaman masih punya harapan. Asalkan orang-orang dengan pandangan seperti sosok ini muncul di mana-mana.
Baca juga: Saat ”Anjing Penjaga” Menjadi ”Anjing Peliharaan”
Rasa bersalah
Namun, harapan dan sukacita saya berubah 180 derajat pada Mei 2021. Sosok yang saya tulis lebih dari lima tahun lalu itu dilaporkan ke Polda Jawa Timur oleh sejumlah siswa dan mantan siswanya karena melakukan pelecehan seksual terhadap mereka. Pelecehan ditengarai sudah terjadi sejak 2009.
Saya terpukul. Saya langsung cepat-cepat mencari nomor kontak sosok tersebut dan mengirim pesan berisi pertanyaan kepadanya: apakah kabar yang saya terima benar?
Saya sampaikan, saya ingin bertanya langsung kepadanya untuk memastikan, sebagaimana tahun 2017 saya menulis sosoknya. Saya ingin mendengarkan langsung jawaban darinya. Namun, pesan Whatsapp saya lama baru dibaca dan hanya dibiarkan saja tanpa jawaban.
Berikutnya, hari-hari saya dipenuhi kegundahan. Dalam aktivitas harian yang diselingi canda tawa, rasa kecewa karena merasa dibohongi, bersalah, dan perasaan sejenis lainnya tetap tak mau pergi.
Saya yang selama ini sangat selektif menulis sosok, eh, ujung-ujungnya ”terperosok” juga. Peribahasa bahasa Jawa-nya: pilih-pilih tebu, nemu bongkeng (memilih tebu terbaik, malah dapat yang jelek).
Baca juga: Perangi Hoaks, Santri di Malang Belajar Jurnalistik
Sebenarnya, untuk menulis sosok, saya akan menunggu selama beberapa waktu sambil melihat perkembangan. Jika orang tersebut punya karya, tetapi karyanya sekadar melambungkan namanya, saya memilih untuk tidak menulisnya. Saya akan menulis jika sosok itu benar-benar berarti untuk banyak orang.
Dan, sosok J, pria pendiri sebuah sekolah berkonsep keberagaman (yang belakangan tersangkut kasus pelecehan seksual), saat itu harum namanya. Saat saya mewawancarai siswanya, mereka membenarkan apa yang diceritakan oleh J. Bahkan, saya juga mewawancarai siswa di sana, yang belakangan saya ketahui menjadi saksi memberatkan untuk J di pengadilan.
Itulah yang tidak bisa saya terima. Saya merasa kecolongan, kecewa, bodoh, dan ceroboh. Seandainya saya tahu, tentu saya tak akan menulis tentang J. Perasaan-perasaan itu yang kemudian menghantui saya.
Hari demi hari berlalu, saya menjalani rutinitas harian dan liputan. Namun, kemudian saya sadar bahwa saya cenderung semakin merasa malas. Produktivitas saya menurun drastis. Saya memang tetap keluar liputan. Namun, sangat berat ketika harus mengetik dan menyetorkannya. Entahlah, saya tidak tahu pasti berapa lama mengalaminya. Berbulan-bulan yang jelas.
Namun, saya mengabaikannya. Saya merasa, mungkin saya memang lelah dan butuh refreshing. Saya mencoba jalan-jalan atau sekadar nongkrong dengan teman-teman. Namun, hasilnya sama saja.
Baca juga: Perempuan dan Penanganan Bencana
Titik balik kesadaran
Hingga suatu ketika titik kesadaran saya muncul saat dinas luar kota ke Belitung. Malam saat sedang mengetik hasil liputan, tak sengaja saya membuka podcast seorang pesohor yang membahas soal trauma akibat kekerasan seksual.
Narasumbernya adalah dua artis penyanyi. Si artis, korban ”penculikan”, rupanya tak sadar bahwa ia ”trauma”. Selama ini ia menutupi trauma itu dengan kerja, kerja, dan kerja.
Hal itu langsung memunculkan tanya pada diri sendiri. Mungkinkah saya juga mengalami ”tekanan mental” serupa dan menutupinya dengan kerja?
Indikatornya, saya sangat sulit menulis berita dan paling malas mencari tulisan sosok. Menulis sebuah berita biasa pun butuh waktu lama. Menulis berita terencana hasil liputan khusus Belitung saja butuh berhari-hari. Itu pun harus dipaksa agar kelar.
Saya ceritakan kondisi ini kepada teman dan suami. Saat bercerita tentang ”kebodohan” menulis sosok J ini, saya akan selalu menangis. Kenapa kok saya bisa kecolongan? Kenapa saya tidak menggali lebih dalam?
Bagaimana bisa tahun 2016 saya meliputnya, tetapi tidak tahu bahwa tahun 2009 ia sudah berbuat bejat pada anak didiknya. Pertanyaan kenapa.., kenapa.., dan kenapa terus menyesaki hati dan pikiran. Saya tidak terima.
Intinya, saya menyalahkan diri sendiri atas lahirnya tulisan sosok itu. Teman saya yang menjadi pendengar setia sesekali mengatakan bahwa manusia sangat mungkin berbuat salah. Katanya, untuk kasus J, itu karena ketidaktahuan. Buktinya, tidak banyak yang tahu sosok asli J sebelum kasus ini kemudian terbongkar.
Suami saya mengatakan, berbuat salah itu wajar, namanya juga manusia. Dengan sosoknya saya tulis, J jadi dikenal luas sehingga ketika kasusnya terungkap maka cepat menjadi atensi publik. Banyak orang ikut mengawal kasus itu. Jika sosok J tak pernah saya tulis, perhatian publik tidak akan sedemikian besarnya sehingga bisa jadi J justru akan bebas dan mengulangi perbuatannya.
Baca juga: Mulai Disidang, Tersangka Kekerasan Seksual di SMA Selamat Pagi di Kota Batu
Menceritakan perasaan saya terasa sedikit mengurangi beban. Namun, tetap saja setiap membicarakan kisah itu, saya selalu menangis. Saya benar-benar merasa bersalah pada anak-anak yang menjadi korban J.
Selama ini saya sering menulis berita membela perempuan dan anak. Namun, saya pula yang mungkin justru menyebabkan hati siswi korban J kian terluka.
Untuk mengobati rasa bersalah, saya rutin meliput persidangan kasus itu. Saya sebenarnya ingin meminta maaf dan mengaku bersalah kepada korban (siswi korban J) secara langsung.
Saya ingin bertemu dan meminta maaf atas ketidaktahuan dan kebodohan saya telah menulis J, orang yang mencelakai mereka. Namun, karena mereka tidak lagi tinggal di Malang, hal itu sulit dilakukan.
Apalagi, saya berpikir, sebagai korban kekerasan seksual, mental dan psikis korban harus sangat dijaga. Jangan sampai, akibat keinginan saya melegakan perasaan, justru mengganggu psikis mereka. Karena itu, saya bertekad akan menunggu sampai vonis dibacakan, baru meminta maaf kepada korban.
Hari-hari menanti vonis rasanya sangat lama. Belum lagi muncul ketakutan bagaimana jika J dinyatakan tak bersalah? Bagaimana jika vonisnya ringan? Dan seterusnya....
Baca juga: PN Surabaya Tolak Praperadilan Kejahatan Seksual Pendiri SMA Selamat Pagi Indonesia
Konsultasi dengan psikolog
Merasa semakin terganggu dengan perasaan bersalah dan rasa takut, saya memutuskan berkonsultasi dengan psikolog. Namun, mencari psikolog atau klinik psikologi juga bukan hal mudah.
Sebab, kebanyakan jadwal konsultasi di akhir pekan selalu penuh. Beberapa kali saya ingin membuat janji, tetapi gagal karena slot konsultasi pada akhir pekan penuh. Padahal, akhir pekan adalah waktu yang relatif longgar bagi saya.
Akhirnya saya memutuskan untuk berkonsultasi pada hari kerja. Sebab, jika terus menunggu jadwal akhir pekan, entah kapan akan terlaksana. Sementara perasaan saya kian tak karuan. Saya overthinking atas banyak hal. Bahkan, melihat orang yang melanggar rambu lalu lintas saja bisa membuat saya uring-uringan seharian.
Pun saya menjadi sangat berlebihan dalam ”perkucingan”. Saya tak bisa melihat kucing jalanan atau telantar. Saya merasa sangat bersalah jika tak mampu membantu kucing yang kesusahan. Rasa bersalah tak bisa berbuat banyak itu mengganggu mood seharian.
Belakangan saya baru tahu dari psikolog, bisa jadi usaha saya membantu semua kucing jalanan itu adalah upaya saya untuk mengurangi rasa bersalah atas kasus J. Padahal, itu tak mungkin.
Baca juga: Kala Korban Kejahatan Seksual dan Eksploitasi SMA SPI Batu Cari Perlindungan di Jakarta
Akhirnya saya konsultasi psikologi di RS swasta yang tak jauh dari rumah pada hari kerja. Saya merasa benar-benar butuh pandangan dari ahlinya, saya ini kenapa. Apakah saya benar-benar ”tertekan hingga mengganggu kinerja dan hidup saya” atau itu hanya alibi untuk menutupi kemalasan.
Psikolog mengatakan, semua perasaan kacau-balau itu memang terkait dengan rasa bersalah dan kecewa saya. Sikap malas bekerja, uring-uringan, dan ”perkucingan” yang berlebihan adalah bagian dari itu semua.
Ia memberikan beberapa pandangan, intinya: kita hanya punya dua tangan, tak mungkin bisa merengkuh semua hal. Mungkin saat saya menulis J, fakta temuan saya memang seperti itu. Jika bertahun kemudian muncul fakta lain, beda lagi masalahnya.
Jadi, saya diminta tidak menyalahkan diri sendiri. ”Menyiksa diri” dengan rasa bersalah justru akan membuat saya tak bisa membantu orang lain membaca kabar-kabar positif (yang mungkin bermanfaat) yang seharusnya bisa saya tulis.
Self blaming. Itu pandangan psikolog atas kondisi saya. Meremehkan kemampuan diri, merasa bodoh, dan seterusnya.
”Jangan menyakiti diri sendiri. Mau sampai kapan menyakiti diri dengan rasa bersalah seperti itu? Stop mewajarkan hal yang tidak wajar. Tidak semua bisa kita tangani. Belajar menerima kenyataan, berdamai dengan diri sendiri,” demikian beberapa nasihat dari psikolog yang saya ingat.
Satu lagi, psikolog tersebut mengatakan bahwa jangan percaya 100 persen kepada orang. ”Kita boleh mengagumi seseorang, tetapi jangan sampai 100 persen. Sebaiknya 60 persen dan 40 persennya untuk berjaga-jaga. Berjaga-jaga atas hal yang mungkin akan terjadi ke depan, atau yang sudah terjadi tapi kita tidak tahu. Ini karena tidak semua situasi berjalan lurus dan mulus. Ada naik turun dan mungkin ini akan mengecewakan. Kalau kita sudah berjaga-jaga pada posisi 40 persen itu, maka kita tidak akan kecewa berlebihan,” katanya.
Seusai ”pengakuan dosa” kepada psikolog, hati saya semakin lega. Memang rasa bersalah itu masih ada. Namun, saya mulai lebih tenang. Ada beberapa hal yang disarankan untuk saya lakukan.
Baca juga: Terbukti Bersalah, Pendiri Sekolah SPI Kota Batu Divonis 12 Tahun
Tiba akhirnya pada Rabu (7/9/2022) vonis hakim dijatuhkan kepada J. Ia dinilai bersalah dan dipidana 12 tahun penjara dan harus membayar sejumlah denda. Sepanjang hakim membacakan putusan, jantung saya terus berdetak kencang. Waswas menanti vonis. Hati saya merasa sedikit lega seusai vonis dibacakan.
Saya pun mengirim pesan kepada korban J, apakah bersedia saya wawancarai via telepon. Saya ingin tahu komentarnya terkait vonis hakim. Dan, tentu saja, saya ingin meminta maaf secara langsung kepadanya dan mengaku merasa bersalah tidak mengetahui hal mengerikan yang telah mereka alami.
Hati saya terenyuh saat si korban mengatakan kepada saya bahwa itu terjadi karena saya tidak tahu. ”Tidak apa-apa, itu karena memang kakak tidak tahu. Kami berterima kasih kakak terus mengawal kasus ini,” katanya.
Mendengar ucapan korban J, mata saya berkaca-kaca dan hati mulai terasa lega. Saya tak menyangka dia menerima permintaan maaf saya dan justru menawari saya untuk bertemu dengannya suatu ketika saat saya berkesempatan main ke kota tempat tinggalnya.
Bahwa pada sebuah tulisan melekat tanggung jawab besar. Tidak boleh sembarangan, apalagi gampang percaya. Verifikasi, verifikasi, dan verifikasi.
Meski rasa bersalah masih ada, rasa lega mulai menguat. Saya kembali memulihkan semangat liputan. Dimulai dengan liputan-liputan sederhana atau datang ke acara tertentu dengan sedikit ”memaksa”.
Saya harus berhenti menyalahkan diri sendiri. Apalagi, saat membuat tulisan ini, saya baru tahu, empat tahun sebelum saya menulis sosok J, rupanya teman sekantor saya juga sudah menulisnya.
Satu hal menguatkan saya untuk kembali liputan adalah kalimat dari psikolog: ”Kembalilah menulis, untuk kebaikan banyak orang”.
Akhirnya, kejadian ini harus menjadi pengalaman dan pelajaran. Bahwa pada sebuah tulisan melekat tanggung jawab besar. Tidak boleh sembarangan, apalagi gampang percaya. Verifikasi, verifikasi, dan verifikasi. Jika itu semua sudah dilakukan, mari kita serahkan kepada Sang Penguasa alam.
Baca juga: Jurnalisme Bermutu Akan Kembali Menemukan Jalannya