Kopi Semendo ala ”Budak Mudo”
Secangkir kopi Semendo berkelas premium tercipta dari tangan-tangan kreatif generasi muda di Palembang, Sumatera Selatan. Dibalut hasrat kuat dan pemikiran terbuka, mereka coba membenahi tata niaga kopi.
Di tangan kreatif para budak mudo Palembang, secangkir kopi Semendo menjadi berkelas premium. Hasrat kuat dan pemikiran terbuka membuat mereka membenahi tata niaga kopi dari hulu ke hilir demi visi yang sama, yakni mengangkat identitas kopi Semendo hingga ke kancah dunia.
Dengan cekatan, barista sekaligus pemilik Anestic Coffee Palembang, Rangga Munggaran (35), membuat segelas kopi latte, Rabu (10/8/2022). Minuman itu terdiri dari espresso hasil olahan 16 gram bubuk kopi perpaduan kopi arabika Semendo dengan komposisi 60 persen dan kopi robusta Pagar Alam 40 persen.
Bubuk kopi tersebut kemudian diekstraksi dengan menyemburkan air panas di bawah tekanan tinggi bersuhu sekitar 92 derajat celsius. Dari proses tersebut terciptalah 30 mililiter (ml) espresso yang kemudian dicampur dengan 150 ml susu segar hingga memenuhi gelas. Di tahap akhir, Rangga mempercantik karyanya dengan hiasan pola tulip di permukaan gelas.
Dari tangannya, terciptalah kopi latte dengan ketebalan dan kepahitan level medium dengan sedikit rasa manis dan asam.
Untuk menciptakan resep tersebut, Ketua Barista Street League Palembang, yang sudah 10 tahun menjadi barista, itu membutuhkan waktu sekitar tiga hari. ”Untuk mendapatkan rasa yang diinginkan, perlu eksperimen berkali-kali,” ujarnya. Sebanyak 10 kilogram biji kopi dihabiskan.
Hasrat untuk ”mengotak-atik” resep dengan bahan baku kopi dari Sumsel, terutama kopi Semendo, itu dilakukan untuk semakin mengenalkan kopi Semendo ke masyarakat Palembang.
Kopi Semendo mulai dikenal sejak 2017, saat beberapa pegiat kopi membawanya mengikuti sejumlah kontes kopi dan hasilnya cukup memuaskan. Kopi berasal dari tiga kecamatan di Kabupaten Muara Enim, sekitar 270 kilometer dari Palembang, yakni Kecamatan Semende Darat Laut, Semende Darat Tengah, dan Semende Darat Ulu.
Robusta Semendo bahkan telah mendapat sertifikat indikasi geografis dari Direktorat Jenderal Merek dan Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia tahun 2015.
Cita rasa kopi Semendo tidaklah jauh berbeda dengan kopi Gayo dari Aceh. ”Ketika menyeruput kopi Semendo akan terasa aroma rempah yang cukup kuat perpaduan antara pala, kayu manis, dan citrus,” jelas Rangga.
Cita rasa itu terus dikenalkan ratusan anak-anak muda barista di Palembang agar identitas kopi Semendo semakin pekat terasa di hati para penikmat kopi. ”Karena mereka adalah orang yang bersentuhan langsung dengan pelanggan,” ucap Rangga.
Karena itu, edukasi komprehensif kepada para barista sangat dibutuhkan agar keunggulan kopi Semendo dan kopi asal Sumsel lainnya bisa tersampaikan dengan baik kepada penikmat kopi. ”Semakin banyak yang mengenal kopi Semendo, pasarnya pun akan semakin luas. Dampaknya pun akan terasa sampai ke petani,” ujarnya.
Apalagi sejak tahun 2017, tumbuh subur kedai dan kafe di Palembang. Saat ini terdata 300 barista dari sekitar 900 kedai dan kafe di Palembang.
Kenikmatan kopi Semendo juga tidak lepas dari peran para prosesor kopi yang bertugas memastikan biji kopi yang diterima oleh para barista sudah terpanggang sempurna.
Peran itu salah satunya dijalankan oleh prosesor kopi dari Gerai Hutan Palembang, M Reza Fahda Vikani Iman (28).
Baca juga: Anomali Cuaca, Produksi Kopi di Sumsel Menurun Signifikan
Menggunakan mesin sangrai kopi berkapasitas 1 kg, ia memanggang biji kopi yang ia peroleh dari Hutan Adat Penyandingan, Kecamatan Semende Darat Laut. Kopi berwarna kekuningan berubah menjadi kecoklatan dalam waktu 12-14 menit dengan suhu pemanggangan 150-200 derajat celsius.
Sesekali ia memandangi formulasi pemanggangan yang sudah dicatat di papan tulis agar proses pemanggangan tidak meleset. ”Pemanggangan harus sempurna karena tingkat kematangan biji kopi akan sangat berpengaruh pada rasa kopi nantinya,” ucap Reza.
Ketelitian inilah yang membuat biji kopi yang ia proses dipesan oleh sejumlah kedai kopi di dalam dan luar Sumsel. ”Selain Palembang, kopi yang saya proses sudah sampai ke beberapa kota besar, seperti Makassar, Yogyakarta, Jakarta,” ucapnya.
Berdasarkan hasil uji cupping arabika Semendo untuk biji kopi yang disimpan tujuh hari setelah disangrai, para penguji memberi nilai 90 untuk keseragaman. Dari sisi aroma, Semendo mendapat nilai 89 karena ditemukan aroma herbal manis dan jambu.
Adapun dari sisi keasaman didapati pula kekayaan rasa buah dari nanas, mangga, belimbing, dan citrus dengan nilai 88. Sementara tingkat kemanisannya memperoleh poin 90 karena adanya gula aren dan kacang mete. ”Inilah yang membedakan kopi Semendo dengan kopi dari daerah lain,” ucap Reza.
Karena itu, seorang prosesor kopi harus mengetahui bagaimana kondisi biji kopi mentah dan proses pengelolaannya di hulu. Karena bisa saja, biji kopi yang diterima tidak sesuai dengan standar yang diinginkan baik dari tingkat kadar air hingga kondisi biji kopi itu sendiri.
”Jika ada biji kopi yang rusak, tentu akan merusak rasa kopi karena akan berpengaruh pada proses pemanggangan,” ucap Reza.
Hingga ke hulu
Diskusi kopi di Palembang telah menggerakkan Muhammad Ridho Khairil Adhar (25) serius mengolah 4 hektar lahan kopi milik orangtuanya di Kecamatan Semende Darat Ulu. Ketertarikannya dimulai saat seorang prosesor kopi mengajaknya melihat pengolahan kopi dari hulu ke hilir. ”Dari kegiatan itu, ketertarikan saya terhadap kopi muncul,” ucapnya.
Walau lahir dari keluarga petani kopi, Ridho belum memiliki pemahaman secara menyeluruh tentang pengolahan kopi untuk pasar premium. Selama ini, ia terbiasa melihat pengolahan kopi dengan skema ”asalan”. Kopi yang dipetik ada yang tidak matang, bahkan proses penjemuran sampai dilakukan di jalan dan dibiarkan dilindas kendaraan atau hewan yang lalu-lalang.
Belakangan ia sadar dengan pengolahan yang baik, pasar kopi akan meluas. Ia pun menerapkan petik kopi merah atau matang.
Baca juga: Sumsel Mulai Kembangkan Kopi Arabika di Kawasan Perhutanan Sosial
Dalam satu tahun, ujar Ridho, rata-rata, kebun kopinya bisa menghasilkan sekitar 500 kg biji kopi petik merah. Jumlah itu menurun dibandingkan saat ia memetik asalan yang mencapai 1,2 ton per tahun. Meski begitu, dia tetap menjalankan skema pengelolaan kopi secara berkelanjutan agar kualitasnya tetap terjaga.
Karena kesadaran itu, pemrosesan pascapanen pun dilakukan secara baik, mulai dari pemetikan, pencucian biji kopi, penjemuran, hingga pengupasan. Kopi dijemur di rumah jemur dengan standar yang sudah ditentukan agar kadar air dalam kopi bisa terjaga dan tidak rusak.
”Memulainya cukup sulit. Namun, dengan tingkat harga yang lebih baik, petik kopi biji merah sudah mulai menggaungkan nama Semendo,” katanya. Harga green bean petik merah arabika Rp 80.000 per kg, robusta Rp 40.000 per kg, sedangkan asalan campuran hanya Rp 18.000-Rp 22.000 per kg.
Ridho juga mengajak para anak petani kopi sebayanya untuk turut melihat pengelolaan kopi dari hulu dan hilir. Bahkan, pada tahun 2020, dia membentuk komunitas pemuda kopi Semendo.
Komunitas ini merupakan wadah komunikasi dan edukasi bagi generasi muda yang tertarik untuk menerapkan skema penanaman kopi yang berkelanjutan dan berkualitas. Menurut dia, pembenahan pengelolaan kopi Semendo hanya bisa dimulai dari generasi muda yang lebih terbuka dengan masukan dari berbagai pihak. ”Karena akan sulit mengubah pola pikir para petani tua yang sudah terbiasa dengan pengolahan kopi dengan konsep lama,” ucapnya.
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Bina Darma Palembang, Rabin Ibnu Zainal, menilai, penguatan identitas kopi Semendo sangat diperlukan lantaran belum kuatnya branding Semendo jika dibandingkan misalnya kopi Gayo, Sidikalang, Toraja, dan Flores Bajawa. Memperbaiki kualitas arabika menjadi langkah yang tepat karena lebih menjual di pasar internasional.
Sebenarnya, ujar Rabin, kopi robusta dan arabika memiliki pasar tersendiri. Kopi robusta biasanya digunakan sebagai bahan baku industri kopi instan dan warungan. Adapun arabika digunakan sebagai bahan baku kopi premium. ”Inilah alasan mengapa robusta lebih besar pasarnya dibandingkan arabika,” ucapnya.
Dari sisi pasar global, kedua jenis ini juga telah terbagi. Arabika biasanya diminati pasar dari negara-negara Eropa dan Amerika Serikat, sedangkan robusta lebih ke pasar China. Menurut dia, pengujian kekhasan dari kopi arabika harus terus dilakukan secara berkesinambungan agar keunggulan kopi ini bisa tersiar sampai pasar global.
Ketua Dewan Kopi Sumsel Zain Ismed menilai tidak mudah untuk mengubah pola penanaman lama yang sudah tertanam sejak turun-temurun bahkan sejak masa kolonial. Kebiasaan ini kian subur dengan kecenderungan industri saat ini yang masih menerima biji kopi asalan untuk dijadikan bahan baku bubuk kopi yang diproduksi secara massal.
Di sinilah budak mudo krusial untuk mengikis stigma jika kopi asal Sumsel hanya pantas dijadikan bahan baku kopi oplosan karena diproses secara serampangan.
Karena, menurut Zain, pembenahan pengelolaan kopi tidak bisa diselesaikan secara parsial, tetapi harus dilakukan secara menyeluruh dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
Para budak mudo telah bergerak melakukannya.