Serasa Naik Pesawat Pribadi ke Timika
Saya tidak tahu pasti jenis pesawat yang saya masuki, antara Airbus A320 atau Boeing 737. Yang jelas pesawat itu kosong melompong. Saya jadi satu-satunya penumpang, kalah jumlah dari pramugari yang empat orang.
”Oka, pesawat kami ternyata transitnya di Manado! Ha-ha-ha!" kata seorang di ujung telepon sambil tertawa lepas pada suatu pagi pertengahan Maret 2022.
Saya belum betul-betul terjaga dari tidur ketika menerima telepon itu. Seperti sewajarnya manusia normal yang dibangunkan mendadak pada pukul 03.31 Wita, saya menjawab, ”Hah?”
”Iya, ini kami juga baru tahu. Ternyata transitnya di Manado, enggak di Makassar. Ha-ha-ha!” kata perempuan muda yang suaranya saya kenal betul itu. Lagi-lagi sambil mengakak kocak seolah tidak punya beban hidup saja.
”Sing nggenah kon, Mbak!” saya memintanya berhenti bercanda. Saya mengira itu cuma taktik jahil si penelepon, Melati Mewangi, agar saya tidak kebablasan tidur sampai siang. Melati adalah rekan saya satu kantor.
Menurut rencana awal, saya akan menumpang pesawat yang sama dengan Melati. Bedanya dia naik dari Jakarta, saya dari Bandara Hasanuddin Makassar, Sulawesi Selatan, karena pesawat itu akan transit di Makassar sebelum terbang ke tujuan utama, Timika, Papua.
Hari itu, saya, Melati, dan tim dijadwalkan terbang ke Timika untuk bersama-sama meliput aktivitas tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) PT Freeport Indonesia (PTFI), perusahaan tambang logam terbesar di Indonesia.
”Lha, beneran! Ya udah, nanti ketemu langsung di Timika, ya!” jawabnya lagi dengan ceria, kali ini dengan tawa yang lebih termoderasi, tidak selepas tadi.
Makdeggg!!! Jantung saya hampir copot rasanya. Melati ternyata serius. Segera saya lihat lagi tiket elektronik dari kantor. Sudah sesuai instruksi. Penerbangan Airfast Indonesia nomor FS115, Rabu 16 Maret 2022, dari Bandara Sultan Hasanuddin ke Bandara Mozes Kilangin.
Baca juga: Memandirikan Mimika, Menyongsong Era Pascatambang
Saya sebetulnya tinggal di Manado. Untuk naik pesawat itu, saya harus terbang dulu ke Makassar sehari sebelum jadwal penerbangan karena pesawat diinformasikan akan transit di Makassar. Ternyata, rute pesawat Airfast Indonesia yang akan kami tumpangi hari itu transit di Manado.
Rupanya setiap rabu, rute Airfast Indonesia adalah Cengkareng-Manado-Timika. Sementara enam hari lainnya, barulah maskapai pesawat carter yang bermitra dengan PTFI itu transit di Makassar.
Detik itu juga saya merasa konyol, bodoh, dan jengkel. Kalau tahu bakal begini, buat apa repot-repot ke Makassar? Bikin boros waktu dan biaya saja. Ditambah lagi, akan lebih nyaman tidur di kamar indekos dan kasur sendiri daripada di kantor Kompas Biro Makassar yang memang bukan tempat menginap.
Saya tidak bisa tidur lagi karena telanjur kesal. Namun, apa boleh buat, nasi sudah menjadi tinutuan alias bubur manado. Yang jelas saya sudah menjalankan instruksi, entah apa yang bakal terjadi di bandara. Que sera, sera.
Baca juga: Kakao, ”Buah Dewa” Calon Pengganti Emas Freeport
”Plot twist”
Saya sudah menduga hal-hal aneh bakal terjadi di bandara. Ini segera terbukti ketika saya menemui meja check in atau lapor masuk Airfast Indonesia yang kosong di terminal keberangkatan. Saya kebingungan.
Seorang petugas bandara berbadan tegap dan berambut cepak yang berjaga di situ mengatakan, petugas tidak tampak karena memang tidak ada pesawat Airfast yang transit hari itu. Dia menyarankan saya menuju kantor Airfast Indonesia di salah satu sudut aula terminal.
Ketika saya sampai di ambang pintu, seorang petugas laki-laki yang sedang duduk santai sontak menegakkan diri lalu bertanya, ”Pak Kristian, ya?”
Saya mengangguk mengiyakan. Seorang petugas lainnya yang sedang duduk di depan komputer segera meraih telepon. Logat Makassar-nya berganti logat ke-Jakarta-an.
Saya sempat mendengar ia mengabarkan kedatangan saya kepada lawan bicaranya. Sesaat kemudian, dia menutup telepon dan bertanya, ”Sudah tahu kalau penerbangannya dialihkan ke Sriwijaya Air, Pak?”
Baca juga: Perjuangan Koperasi Mendorong Nelayan di Mimika Turun Mencari Ikan
Saya menggeleng. Tidak ada pemberitahuan apa pun dari kantor ataupun dari bagian hubungan masyarakat PTFI. Namun, saya merasa sedikit lega karena setidaknya ada titik terang soal keberangkatan ke Timika.
Proses berlanjut ke meja lapor masuk Sriwijaya Air yang ditangani seorang petugas berkemeja putih polos dan berjilbab hitam. Melihat kostumnya, saya pikir dia bocah magang sehingga saya memaklumi proses lapor masuk yang jauh lebih lama dari biasanya. Dia bahkan sampai harus bolak-balik menelepon seseorang untuk meminta informasi, entah soal apa.
Pada satu titik ketika menunggu, saya merasa aneh. Tidak ada calon penumpang lain yang mengantre bersama saya. Tiba-tiba si petugas mengatakan, ”Pesawatnya sudah dalam perjalanan ke sini dari Jakarta.”
Saya berpikir sejenak, lalu berkata dalam hati. ”Hngggg… Oke? Sudah seharusnya begitu kan?”
Kemudian saya bertanya untuk memastikan, ”Tapi, nanti saya bareng penumpang lain, kan, Kak?”
Baca juga: Terjebak Semalaman Bersama Pengungsi Banjir Kampung Melayu
”Enggak, Pak. Penumpangnya cuma Bapak. He-he-he.... Eh, ada satu orang lagi, Pak,” kata si petugas, meralat pernyataan pertamanya.
Saya tidak tahu harus berkata apa. Masih terlalu pagi untuk plot twist semencengangkan itu. Kantuk saya juga belum hilang untuk bisa memahami ketidakwajaran ini.
Si petugas lalu memberi saya boarding pass hasil tulisan tangan berisi nama saya, kode bandara asal dan tujuan, tanggal penerbangan, serta nomor penerbangan, yaitu SJ 5880. Para petugas Airfast Indonesia dan Srwijaya Air itu bahkan kemudian mengantar saya sampai ke pintu keberangkatan.
Tak ada pengumuman keberangkatan SJ 5880. Saya diminta secara pribadi oleh petugas untuk masuk ke pesawat lewat garbarata. Saya mengucapkan terima kasih karena telah merepotkan.
Baca juga: Kena Tipu Dua Kali di Vietnam
Malu
Saya tidak tahu pasti jenis pesawat yang saya masuki, kemungkinannya antara seri Airbus A320 atau Boeing 737. Sesuai dengan bayangan, pesawat berisi barisan-barisan tiga kursi di tiap sisi itu kosong melompong. Saya jadi satu-satunya penumpang di situ. Bahkan, kalah jumlah dari pramugari yang ada empat orang.
Seorang pramugari berjilbab menghampiri saya sebelum saya duduk, lalu mulai membeberkan informasi yang biasanya diumumkan secara tersentral lewat pelantang.
”Pak nanti kita akan terbang di ketinggian 30.000 kaki. Cuaca saat ini sedang baik. Apabila tekanan oksigen di kabin berkurang, silakan pakai masker oksigen, ya, Pak,” katanya.
Seorang pramugari senior kemudian menawari saya makanan sambil bercerita bahwa pada situasi normal, Sriwijaya Air tidak menyediakan makanan. Sesaat kemudian ia membawakan nasi ayam di atas nampan.
Dengan wajah penasaran dan dahi mengernyit, dia bertanya kepada saya, ”Bapak sudah lama kerja di Freeport?”
Ia bahkan minta izin duduk di kursi dekat lorong (aisle) siap mendengarkan keterangan dari seseorang yang, mungkin, dia kira sudah jadi orang penting di PTFI sejak usia muda sampai-sampai perusahaan itu rela mencarter pesawat komersial hanya untuknya seorang.
Baca juga: Di Tengah Kegelapan Alas Purwo
Saya pun mengempaskan kembali ekspektasinya ke bumi, ”Bukan Bu, saya wartawan Kompas. Kebetulan ada liputan kolaborasi dengan Freeport di Timika.”
Si pramugari senior itu manggut-manggut, kemudian bertanya beberapa hal yang saya sudah lupa, lalu pamit untuk kembali mengerjakan tugasnya.
Setelah perjalanan tiga jam, Sriwijaya Air SJ 5880 mendarat di Timika. Dua bus berlogo PTFI mendekat ke pesawat, mengira akan menjemput rombongan penumpang. Namun, hanya saya yang keluar dari pesawat, lalu naik ke bus.
”Cuma sendiri?” tanya si sopir dengan raut wajah penuh heran. Saya menjawab sambil nyengir, ”Iya, Bapa. Cuma saya sendiri.”
Si sopir menatap saya beberapa detik tanpa mengubah raut wajahnya, lalu berbalik sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Ketika sampai di terminal, beberapa karyawan bandara tampak sudah siap menyambut koper-koper penumpang untuk menaruhnya ke conveyer belt. Melihat saya satu-satunya penumpang, salah seorang dari mereka berceletuk, ”Cuma sendiri eee?”
Baca juga: Membangkitkan Magis Seni Ukir Kamoro
Mengikuti era digital, ada yang bilang seharusnya saya berswafoto agar bisa memamerkan privilese itu di media sosial. Namun, bagi saya yang bukan siapa-siapa, pengalaman mendapatkan fasilitas sebesar dan semewah itu malah membuat saya malu.
Liputan di Timika kemudian berlangsung selama tiga hari. Melati bertugas melaporkan upaya konservasi lingkungan oleh PTFI, dan saya meliput tentang kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal, terutama orang asli Papua. Ada beberapa program yang saya liput, yaitu perkebunan kopi dan cokelat, perikanan tangkap, dan pelestarian budaya.
Hasil liputan itu saya tuangkan ke dalam enam artikel feature. Dalam prosesnya, saya berusaha keras untuk melakukan yang terbaik, memastikan semua informasi penting termuat dalam tulisan. Saya juga berusaha tetap kritis dengan menuliskan capaian ataupun kelemahan PTFI dalam program-program tersebut.
Namun, serangkaian pengalaman itu mengingatkan saya pada buah pemikiran dua wartawan Amerika Serikat, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel. Menurut mereka, kesetiaan utama jurnalisme adalah kepada masyarakat.
Saya kemudian bertanya pada diri sendiri: setelah disewakan satu pesawat besar khusus untuk diri sendiri, apakah enam artikel hasil liputan di Timika itu sudah pantas disebut untuk masyarakat? Sudi kiranya pembaca membantu menilainya dengan obyektif.