Kena Tipu Dua Kali di Vietnam
Berbagai kendala mewarnai liputan ”Kompas” di SEA Games Vietnam 2021. Harus ”ngemper” di Bandara Changi dan didatangi serombongan polisi hingga kena tipu dua kali.
Meliput SEA Games Vietnam 2021 memberi pengalaman warna-warni bagi saya. Ini pertama kalinya saya mendapat penugasan meliput ke luar negeri sejak menggeluti profesi jurnalis pada 2016. Pertama kalinya juga saya berkesempatan meliput ajang multicabang selama bertugas di Desk Olahraga.
Serba pengalaman pertama ini menimbulkan perasaan senang sekaligus khawatir, terutama ketika Kepala Desk Olahraga Kompas Johannes Waskita Utama atau WAS meminta saya mengisi formulir pendaftaran bagi media untuk meliput SEA Games. Dua rekan lainnya yang juga ditugaskan meliput adalah Kelvin Hianusa dan fotografer Mas Rony Ariyanto Nugroho.
Saya khawatir karena tahu bahwa segala hal yang serba pertama akan berat pada awalnya. Saya juga cemas karena belum pernah bepergian ke luar negeri dalam waktu yang lama. Berbagai tantangan itu harus saya hadapi sembari melaksanakan tugas peliputan yang juga tidak mudah.
SEA Games berlangsung 12-23 Mei 2022 atau 12 hari. Karena sejumlah cabang olahraga sudah diperlombakan sebelum pembukaan, ditambah kami harus bersiap untuk liputan selama pelaksanaan resmi, maka kami berangkat lebih awal, pada 8 Mei 2022.
Waktu peliputan yang cukup lama, mencapai 17 hari karena termasuk sebelum pembukaan, sempat membuat nyali saya ciut. Selama SEA Games, kami harus meliput setiap hari tanpa jeda. Artinya, saya harus mengatur stamina agar kuat bertugas selama lebih dari dua pekan tanpa libur. Sebenarnya hal itu tidak begitu masalah karena saya pernah liputan tanpa libur selama satu bulan penuh di sebuah harian lokal di Bali.
Namun, sebenarnya yang lebih bikin khawatir adalah karena ini pengalaman pertama saya meliput ajang multicabang. Segenap pikiran bernada pesimistis merajai benak. Saya khawatir akan menemui berbagai kendala yang dapat menghambat proses peliputan.
Baca juga: Liput SEA Games 2021 Vietnam, Ini Rute Perjalanan Tim Harian ”Kompas” Menuju Hanoi
Beberapa pekan sebelum keberangkatan, semua jurnalis yang akan meliput SEA Games Vietnam berkumpul di kantor Komite Olimpiade Indonesia (KOI) untuk membahas kesiapan peliputan. KOI kala itu diwakili oleh Linda Wahyudi.
Ceritanya, tim KOI sudah lebih dulu melakukan survei di Vietnam. Mereka mengumpulkan kami untuk memberitahukan hasil survei. Segala macam hal teknis dibahas dalam pertemuan selama dua jam. Termasuk kendala transportasi, penginapan, lokasi pertandingan, juga bahasa. Ya, menurut Bu Linda, bahasa akan menjadi ”tembok” besar kami selama berada di Vietnam.
Baca juga: Secuil Cerita Wartawan Harian ”Kompas” Meliput Upacara Pembukaan SEA Games Vietnam
”KOI sudah menanyakan soal penginapan, akses peliputan, dan transportasi. Pihak panitia sedang menyusun hotel yang bisa kita pesan dan juga masih membahas soal transportasi ke venue pertandingan. Hanya satu orang dari Komite Olimpiade Vietnam yang bisa berbicara bahasa Inggris dengan lancar,” kata Bu Linda.
Ucapan Bu Linda ini terbukti benar ketika kami tiba di Hanoi, Vietnam. Saat baru turun dari pesawat dan melewati pemeriksaan imigrasi, kami bertiga kebingungan saat hendak menuju apartemen tempat menginap. Sangat sedikit orang di Bandara Noi Bai yang bisa berbahasa Inggris. Kami akhirnya bertanya kepada seorang sukarelawan SEA Games yang berdiri tidak jauh dari pemeriksaan imigrasi.
Ada tiga orang sukarelawan muda di sana. Mereka cukup memahami pertanyaan kami soal transportasi menuju penginapan. Sayangnya, mereka tidak menguasai rute transportasi publik menuju kota Hanoi. Salah seorang di antara sukarelawan itu lalu berinisiatif mencari informasi di mesin pencari. Mereka berusaha menjelaskan, yang sayangnya sulit kami pahami.
Baca juga: Balada Hilangnya Kereta Angin Saat SEA Games
Kena tipu
Tidak ingin berlama-lama dalam kebingungan, kami segera mengakhiri pembicaraan dengan tiga sukarelawan seraya mengucapkan terima kasih. Sesampainya di pintu keluar, terlihat sebuah loket yang menawarkan jasa penukaran uang dan kartu telepon. Tanpa pikir panjang, saya, Kelvin, dan Mas RON memutuskan menukar uang dan membeli kartu telepon di sana.
Petugas loket itu kemudian menawari kami kendaraan untuk menuju Hanoi. Jarak dari Bandara Noi Bai ke pusat kota Hanoi sekitar 35 kilometer. Dia mematok tarif 600.000 dong atau kira-kira setara Rp 378.000 untuk mengantar kami ke kota. Karena merasa tidak punya pilihan ditambah tubuh yang sudah lelah seusai menjalani perjalanan panjang dari Jakarta, kami iyakan tawaran tersebut.
Rupanya keputusan itu kelak akan kami sesali. Seorang kawan jurnalis yang memanfaatkan aplikasi transportasi daring hanya membayar 300.000 dong saja dari bandara ke Hanoi atau separuh dari yang kami bayar tempo hari. Duh, kena tipu.
”Wah, kita dibohongin Hung nih,” kata Kelvin sembari tertawa. Hung adalah sopir yang mengantar kami.
Baca juga: Merasakan Langsung Gojek-nya Vietnam
Berkaca dari pengalaman itu, selanjutnya kami lebih memilih jasa transportasi daring untuk pergi ke mana-mana. Ada beberapa macam pilihan transportasi daring di Vietnam, yang terbesar adalah Grab yang dikelola perusahaan rintisan asal Malaysia dan Gojek dari Indonesia.
Namun, memesan kendaraan daring tidak semulus yang kami bayangkan. Kendala bahasa menjadi rintangan tersendiri. Suatu kali, saat hari mulai gelap, kami memesan transportasi daring untuk kembali ke apartemen. Rupanya sang sopir tidak bisa berbahasa Inggris. Saat menerima pesanan kami, sopir itu menelepon dan berbicara dengan cepat dalam bahasa Vietnam. Karena tidak paham omongan si sopir, Kelvin mengajaknya berbicara dalam bahasa Inggris.
Sang Sopir yang tadinya berbicara cepat dan tanpa jeda seketika terdiam. Kelvin mengulangi pertanyaannya dan tiba-tiba telepon diputus. Pesanan kami dibatalkan. Rasa putus asa kemudian menyelimuti. ”Bagaimana cara kembali ke apartemen kalau begini kondisinya?” saya membatin.
Baca juga: Terjebak Semalaman Bersama Pengungsi Banjir Kampung Melayu
Agar pesanan kendaraan tidak lagi dibatalkan, saya meminta bantuan petugas informasi di Main Press Center (MPC) untuk berbicara dengan pengemudi daring. Beruntung petugas itu bisa berbicara bahasa Inggris sehingga kami bisa berkomunikasi dengan baik. Akhirnya kami berhasil kembali ke penginapan.
Kendala bahasa kembali kami alami ketika hendak meliput pencak silat di Bac Tu Liem Sport Center. Saat itu kami harus memesan kendaraan di aplikasi transportasi daring dan kesulitan mengisi alamat lokasi pertandingan. Vietnam memiliki aksara sendiri sehingga alamat lokasi pertandingan tidak akan muncul ketika kita mengetikkannya dengan huruf alfabet.
Meski sudah menghabiskan waktu hampir 30 menit untuk mencari titik antar, alamat yang kami tuju tidak kunjung ketemu. Kami lalu meminta tolong kepada petugas resepsionis penginapan untuk mencarikan lokasi pertandingan silat di aplikasi transportasi daring.
Meski sedikit memahami bahasa Inggris, petugas resepsionis itu ternyata salah paham. Walaupun kami sudah menunjukkan alamat tujuan lewat buku panduan, resepsionis itu malah mengetikkan lokasi perlombaan panahan dan menembak di National Sport Traning Center (NSTC). Padahal, seharusnya lokasi pencak silat.
Begitu sampai, kami kebingungan karena tidak ada riuh pertandingan pencak silat. Yang ada hanya lapangan rumput dengan sasaran panahan tanpa seorang pun ada di sana. Begitu kami periksa, kami berada di tempat yang berjarak sekitar 4 kilometer dari lokasi pertandingan pencak silat.
Baca juga: Ya Liputan, Ya Liburan
Didatangi polisi
Pengalaman tidak mengenakkan sebelumnya kami alami saat menuju Hanoi. Karena tidak ada penerbangan langsung dari Jakarta, kami harus terbang lewat Singapura dan transit di sana selama hampir 12 jam. Saat hendak memesan hotel di Bandara Changi, ternyata semua kamar sudah penuh. Harganya pun cukup mahal, mencapai hampir Rp 1 juta per malam.
Akhirnya kami memutuskan bermalam di ruang tunggu bandara. Di sana kami berbaur dengan para penumpang lain yang juga menghabiskan malam untuk menunggu penerbangan lanjutan. Mereka merebahkan diri di mana saja, di kursi atau di lantai alias ngemper.
Toilet umum bandara juga sudah seperti kamar mandi milik bersama. Untuk pertama kali dalam hidup, saya merasakan menggelandang di dalam bandara seperti Tom Hanks yang memerankan Viktor Navorski dalam film The Terminal.
Sekitar pukul 03.00 dini hari, saat semua penumpang lelap tertidur, serombongan polisi membangunkan kami. Mereka mengguncang-guncang badan kami. ”Excuse me, can I see your passport?” tanya salah seorang polisi tersebut.
Para polisi itu juga membangunkan para penumpang lainnya dan memeriksa paspor mereka satu-satu. Tanpa berpikir panjang, kami yang masih mengantuk menyerahkan paspor untuk diperiksa. Setelah melihat paspor kami, para petugas yang menyandang senjata itu mengucapkan terima kasih, lalu pergi.
Berbagai pertanyaan menyelinap di benak. Mengapa mereka memeriksa paspor tengah malam dan mengapa mereka membawa senjata. Namun, tak ingin berlama-lama larut dengan pertanyaan-pertanyaan itu, kami memilih melanjutkan tidur agar bugar untuk melanjutkan penerbangan pada pagi harinya. Pengalaman dirazia polisi pada tengah malam itu tidak kami alami saat perjalanan pulang dari Hanoi ke Jakarta.
Menjelang mendarat di Vietnam, bayangan akan kondisi negara komunis berkelebat di kepala kami bertiga. Kami membayangkan Vietnam tidak jauh beda dengan Korea Utara yang digambarkan serba tertutup dan otoriter. Ternyata, semua perkiraan itu meleset. Vietnam sama sekali berbeda. Tidak ada kesan pemeriksaan ketat ataupun sangar selama kami di sana.
Untuk masuk ke lokasi pertandingan, aksesnya mudah saja. Termasuk ke Stadion My Dinh yang berada di jantung kota Hanoi. Di stadion yang menjadi tempat upacara pembukaan SEA Games itu, kami hendak melihat persiapan para penampilnya. Awalnya kami sempat ragu-ragu. Ternyata para petugas dengan ramah mempersilakan kami masuk dan memotret sana-sini.
Hal serupa saya rasa tidak bisa dengan mudah kami lakukan di Indonesia. Petugas pengamanan berlapis sudah pasti akan menginterogasi jurnalis yang hendak meliput persiapan acara pembukaan. Memotret dan masuk area persiapan, hampir pasti sulit dilakukan.
Makanan hambar
Kendati tergolong ramah terhadap wartawan, Vietnam rupanya ”tidak ramah” dalam hal makanan, terutama bagi perut orang Indonesia seperti kami. Selama di sana, kami kesulitan mencari makanan yang cocok di lidah. Hal ini juga dialami kawan-kawan jurnalis dari Indonesia.
Rasa masakan di Vietnam cenderung hambar. Agaknya mereka tidak terbiasa menyantap makanan berbumbu kuat sebagaimana orang Indonesia. Makanan yang paling sering mereka konsumsi adalah mi. Kita bisa dengan mudah menjumpai warung mi di tepi jalan, sebagaimana mudahnya kita mencari pedagang nasi goreng di Jakarta.
Makanan berbahan dasar babi juga mudah ditemui di sini. Seorang kawan fotografer dari Kantor Berita Antara pernah salah membeli roti yang ternyata berisi daging babi. Sesaat setelah mengunyahnya, dia segera memuntahkan roti yang dikunyahnya. Kebetulan masih di hadapan pedagangnya. Kami tertawa melihat pemandangan itu. ”Makanya, sebelum beli makanan itu ditanya dulu. Jangan sudah makan, baru nanya,” kata seorang kawan wartawan lain.
Karena harus meliput sepanjang hari, tidak jarang kami baru bisa makan malam selepas pukul 22.00. Padahal, jam segitu hampir semua toko makanan di tengah kota sudah tutup. Usut punya usut, orang Vietnam memiliki jam makan yang pasti. Mereka sudah berhenti mengonsumsi makanan berat di atas pukul 19.00.
Setelah itu, hampir pasti semua warung dan restoran tidak lagi menyediakan makanan. Paling banter mereka menyediakan makanan ringan, seperti kuaci dan minuman. Ini jamak ditemui di kafe-kafe di kota Hanoi. Sering kami terpaksa memasak mi instan atau menggoreng telur dan sosis karena terbatasnya makanan di pusat kota Hanoi pada waktu tengah malam.
Selama di sana, saking padatnya agenda liputan, kami hanya kebagian waktu setengah hari untuk jalan-jalan menikmati kota Hanoi. Itu pun setelah upacara penutupan. Old Quarter di tepian Hanoi menjadi tujuan para pewarta dari Indonesia karena pemandangannya yang bagus dan keberadaan pusat oleh-oleh di sana. Old Quarter seperti kawasan Kota Tua di Jakarta, tetapi dengan skala yang lebih luas.
Di kawasan ini kita bisa menjumpai bangunan-bangunan lama Vietnam yang bergaya campuran antara China dan Eropa. Setelah mendapatkan oleh-oleh yang kami incar, kami beristirahat di sebuah rumah makan cepat saji di sekitar Danau Hoan Kiem yang legendaris. Saat sedang duduk-duduk di teras pertokoan, saya dipanggil oleh seorang pemuda berbadan tegap dengan potongan rambut cepak.
Dia menawarkan jasa sol sepatu. Rupanya dia melihat ujung sepatu saya yang sudah agak menganga. Tanpa pikir panjang, saya menghampirinya untuk menjahit sepatu. Pemuda itu mengaku berasal dari kota Ho Chi Minh yang berjarak lebih dari 1.000 km di selatan Vietnam.
Setelah hampir selesai, dengan setengah berbisik, si pemuda itu meminta tarif sol yang bagi saya sangat tidak masuk akal, 650.000 dong atau sekitar Rp 400.000 lebih. Saya kaget dihajar tarif semahal itu. Saya katakan kepadanya tidak membawa uang tunai sebesar itu. Dia bilang menerima uang rupiah. Akhirnya saya berikan uang Rp 120.000 yang tersisa di dompet.
Tanpa mengucapkan terima kasih, dia menggamit uang itu dan memasukkannya ke saku celana. Selain sol sepatu, dia juga menawarkan jasa pijat oleh perempuan Vietnam yang langsung saya tolak sambil berlalu dari hadapannya. Duh, dua kali kena tipu.
”Asem, rupanya dia memang berniat memeras wisatawan di sekitar sini. Pantas tampilannya rapi,” kata saya kepada rekan-rekan.
Saya menyesal karena tidak bertanya lebih dulu. Kunci agar tidak menyesal di Vietnam, harus skeptis dan bertanya lebih dulu sebelum memutuskan membeli sesuatu.
Terlepas dari suka duka tersebut, agaknya kami mulai kerasan setelah tinggal di Hanoi selama lebih dari dua pekan. Rata-rata warganya bersikap ramah terhadap pendatang seperti kami.
Perasaan haru menyeruak ketika melambaikan tangan tanda perpisahan kepada satpam penginapan yang setiap malam menyapa kami saat hendak beristirahat. Bagaimanapun, tugas sudah selesai dan kami harus kembali ke Jakarta.