Balada Hilangnya Kereta Angin Saat SEA Games
Petugas keamanan menghentikan sepeda merah yang saya kayuh karena mengira sepeda itu adalah sepeda yang disediakan panitia SEA Games. ”Sepedanya tidak boleh dibawa keluar,” kata petugas dengan tatapan curiga.
Pengalaman ini terjadi 11 tahun lalu, saat pelaksanaan SEA Games di Palembang. Pada suatu siang di tengah kesibukan liputan SEA Games, saya malah berada di kantor Polresta Palembang, Sumatera Selatan.
Siang itu seharusnya saya sudah berada di arena pertandingan SEA Games untuk meliput. Namuni, tiba-tiba ada urusan mendesak yang harus saya selesaikan di kantor polisi. Kantor Polresta Palembang tidak asing bagi saya.
Lokasi kantor polisi terbesar di Kota Palembang ini berada satu kawasan dengan lokasi penyelenggaraan SEA Games di Jakabaring. Sebelum bergabung dengan Desk Olahraga harian Kompas mulai tahun 2011, saya bertugas sebagai wartawan Desk Nusantara tahun 2006-2011 di Palembang.
Kalau sebelumnya saya datang ke Polresta Palembang untuk meliput, kali ini saya datang untuk membuat laporan. Saya masuk ke ruang bagian Reserse Kriminal.
Saya ceritakan kronologi peristiwa yang saya alami malam sebelumnya kepada petugas. Petugas yang menerima laporan saya membacakan lagi laporan yang sudah ditiknya untuk dikoreksi sebelum dicetak dan ditandatangani.
”Begini laporannya. Pada tanggal sekian, sekira jam sekian, lokasinya, semua sudah benar?” tanya petugas.
Selesai membuat laporan polisi, saya kembali meliput SEA Games sesuai penugasan setiap wartawan. Peristiwa pada malam sebelumnya itu sempat membuat saya uring-uringan seharian. Rasa kesal dan malu campur jadi satu.
Satu tahun sebelumnya
Liputan SEA Games di Palembang merupakan salah satu kenangan manis dalam karier saya sebagai wartawan harian Kompas. Saya membuat berita tentang SEA Games Palembang sejak masih berupa wacana hingga terlaksana dengan sukses.
Sebagai wartawan yang ditugaskan di ”Kota Pempek”, saya turut bangga ketika pemerintah pusat memutuskan pesta olahraga se-Asia Tenggara itu akan diselenggarakan di dua kota, yaitu Jakarta dan Palembang.
Jakarta telah tiga kali menjadi tuan rumah SEA Games pada 1979, 1987, dan 1997. Sementara Palembang baru akan pertama kali itu menjadi tuan rumah, yakni pada tahun 2011. Saya pun menjadi saksi ketika Jakabaring masih berupa rawa-rawa.
Setiap hari puluhan truk berisi tanah hilir mudik menguruk rawa-rawa itu menjadi tanah padat, kemudian dibangun arena pertandingan dan wisma atlet megah di atasnya.
Baca juga: Ya Liputan, Ya Liburan
Dua bulan sebelumnya
Sekitar dua bulan sebelum pembukaan SEA Games pada tanggal cantik 11 November 2011 (11-11-2011), saya datang lagi ke Palembang untuk meliput perkembangan terakhir sebelum ajang SEA Games dibuka. Saat itu saya sudah berganti status sebagai wartawan Desk Olahraga.
Ternyata pembangunan arena SEA Games dan wisma atlet belum tuntas. Kondisinya masih kacau balau. Melihat pembangunan belum selesai juga, saya tambah bersemangat menulis beritanya.
Harga diri bangsa nih yang dipertaruhkan. Pembangunan harus dikebut agar bisa selesai sesuai target. Entah karena gencarnya pemberitaan media, atau hal lain, pembangunan arena pertandingan dan wisma atlet akhirnya bisa selesai juga meskipun mepet.
Rawa-rawa di Jakabaring ”disulap” menjadi kompleks olahraga yang layak untuk SEA Games. Bahkan, Palembang kelak dipercaya menjadi tuan rumah pesta olahraga yang lebih akbar, yaitu Asian Games 2018, juga bersama Jakarta.
Baca juga: Siksaan Mobil Mogok Saat Liputan Kebakaran Kapal Cilacap
Peristiwa hari H
Hari pembukaan SEA Games pun tiba, 11 November 2011. Legenda hidup bulu tangkis, Susy Susanti, ”terbang” untuk menyalakan api kaldron di Stadion Utama Jakabaring dengan melemparkan sebuah lembing.
”Bum! Bum! Bum!” bunyi letusan kembang api membuat langit Palembang berwarna-warni. ”Wong Kito” bangga, kotanya mampu menggelar pesta pembukaan SEA Games yang meriah.
SEA Games Palembang lain dari yang pernah ada karena mengusung konsep SEA Games ”hijau”. Kendaraan yang boleh memasuki kompleks Jakabaring hanyalah kendaraan tanpa emisi, kecuali kendaraan petugas keamanan, tamu penting, dan ambulans.
Panitia menyediakan mobil berbahan bakar gas, becak, dan sepeda yang jumlahnya ratusan sebagai moda transportasi di dalam kompleks Jakabaring. Mobil berbahan bakar gas ini sebenarnya angkot yang sebelumnya berbahan bakar bensin, tetapi dikonversi menjadi angkutan berbahan bakar gas, khusus untuk angkutan SEA Games.
Sementara becaknya direkrut dari tukang becak seantero Palembang. Saat itu, kendaraan listrik belum sebanyak sekarang.
Baca juga: Kiat Wartawan Liburan
”Kulu kilir”
Di Palembang ada idiom untuk menyebut orang yang mondar-mandir, yaitu kulu kilir. Tim peliput SEA Games harian Kompas mengendarai kereta angin atau sepeda untuk kulu kilir di dalam arena SEA Games yang bebas emisi itu.
Maaf, saya lupa jumlah sepeda yang digunakan. Sepeda-sepeda itu sebelumnya digunakan untuk acara Jelajah Sepeda Jakarta-Palembang.
Acara bersepeda ini diselenggarakan oleh Kompas untuk memeriahkan SEA Games Jakarta-Palembang. Acaranya adalah menggowes sepeda dari Jakarta menuju Palembang.
Selesai acara Jelajah Sepeda Jakarta-Palembang, kereta angin itu dipakai oleh anggota tim peliput SEA Games untuk kulu kilir. Setiap wartawan dan fotografer Kompas mendapat pinjaman satu sepeda untuk memudahkan mobilitas.
Rudiyanto, anggota staf kantor Kompas Biro Palembang, tak lupa membeli rantai gembok sepeda untuk keamanan. Namun, kereta angin itu juga menimbulkan kesalahpahaman ketika dibawa keluar dari kompleks Jakabaring.
Petugas keamanan menghentikan sepeda merah yang saya kayuh karena mengira sepeda itu adalah sepeda yang disediakan panitia SEA Games. ”Sepedanya tidak boleh dibawa keluar,” kata seorang petugas di pintu utama dengan sopan, tapi tatapannya curiga.
”Ini sepeda Kompas. Bukan sepeda panitia,” kata saya. Kejadian seperti itu terjadi beberapa kali hingga saya kesal karena harus menjelaskan berulang-ulang.
Baca juga: 4 Hari 3 Malam Menyusuri Jalur Tol dan Pantura
Dan terjadilah
Balada kereta angin ini mencapai puncaknya ketika saya meliput pertandingan atletik di lapangan atletik kompleks Jakabaring. Saya tiba di lapangan atletik pada sore hari dengan menggowes sepeda.
Tidak ada parkir sepeda. Sepeda saya parkir di dekat pos keamanan. Cukup rodanya yang digembok. Rantai gemboknya tidak usah dililitkan ke tiang atau pagar.
Mana ada yang berani mengambil, begitu pikir saya. Pertandingan atletik berakhir sampai malam.
Setelah pertandingan, saya lanjutkan wawancara dan membuat berita. Begitu keluar dari arena atletik, saya melihat kereta angin yang tadi sore saya parkir sudah tidak ada di tempatnya.
Perasaan saya langsung tidak enak. Saya bertanya kepada petugas di dekat pos keamanan tempat saya memarkir sepeda. Petugas itu cuma menggelengkan kepala.
Saya lalu mencari sepeda itu di lapangan tempat penyimpanan sepeda milik panitia SEA Games. Dibantu seorang polisi yang menyorotkan senter, saya mencari satu demi satu sepeda di antara ratusan sepeda yang diparkir.
Sepeda yang saya cari tidak ketemu. Lelah dan putus asa, saya menyerah dan mengabarkan peristiwa itu kepada editor.
Karena sepeda itu adalah barang inventaris Kompas, saya harus melapor ke polisi. Baiklah, akan saya lakukan keesokan harinya. Itulah mengapa saya harus berada di ruang bagian Reserse Kriminal Polresta Palembang, seperti di awal tulisan ini.
Untunglah saya tidak disuruh mengganti sepeda itu. Harganya cukup mahal, waktu itu Rp 5 juta-Rp 6 juta.
Baca juga: Tak Cukup Sepasang Mata
Saya menceritakan kejadian yang saya alami itu kepada beberapa wartawan media lain. Mereka tertawa terbahak-bahak.
Malah ada yang tertarik dengan cerita saya dan mengolahnya sebagai bahan berita. Meskipun jadi berita, sepeda itu tidak pernah kembali hingga kini.
Hampir 11 tahun setelah peristiwa itu berlalu, saya masih heran bagaimana sepeda yang digembok bisa raib di tempat yang dijaga aparat keamanan yang begitu banyak.