Ya Liputan, Ya Liburan
Liputan pada masa libur Lebaran di kota yang padat pemudik, seperti Yogyakarta, tidaklah mudah dilakukan. Dihadang macet atau kehabisan kamar penginapan membuat kegiatan liputan pun mirip-mirip acara mudik.
Bekerja pada masa libur Lebaran di Yogyakarta, mau tidak mau membuat kita turut merasakan kerepotan ala pemudik. Hal inilah yang saya alami ketika menjalankan tugas liputan pada Rabu (4/5/2022) hingga Sabtu (7/5/2022).
Yogyakarta pada periode libur Lebaran lalu memang sedang padat-padatnya. Barangkali karena sudah dua tahun banyak yang tidak bisa mudik akibat pandemi. Kerinduan pulang ke kampung halaman pun tertumpahkan pada Lebaran kali ini. Belum lagi, mereka yang hendak berwisata ke Yogyakarta memanfaatkan libur Lebaran.
Karena bersamaan dengan periode Lebaran, saya terpikir untuk mengajak serta keluarga, suami dan dua anak, ke Yogyakarta. Mereka memang beberapa kali saya ajak saat liputan santai, misalnya saat harus meliput ke tempat wisata atau kuliner.
Ini semacam upaya untuk menjalin kebersamaan dengan keluarga, kesempatan yang terkadang sulit diperoleh dalam kehidupan jurnalis. Ide mengajak keluarga ini sebenarnya hasil saran dari seorang teman. Saya pikir, betul juga, kenapa tidak sekalian ajak keluarga. Apa lagi ini dalam suasana yang identik dengan kumpul keluarga.
Pada minggu terakhir bulan puasa, saya sudah diberi tahu editor untuk bersiap-siap liputan ke Yogyakarta setelah Lebaran. Tugas ini dalam rangka membuat feature untuk rubrik Geliat Kota tentang kondisi Malioboro pascarelokasi pedagang kaki lima (PKL) dari kawasan jalan paling terkenal di Nusantara itu.
Sebelumnya saya juga diberi tahu bahwa liputan harus dimulai persis setelah Lebaran. Oleh karena itu, saya diminta berangkat ke Yogyakarta pada hari Rabu (4/5/2022) atau sehari sebelum H1 Lebaran. Karena masih harus menyelesaikan tulisan untuk halaman lainnya, saya pun memutuskan untuk berangkat pada Rabu siang.
Menyadari harus berangkat di tengah masa peak season liburan, kekhawatiran sulit mendapatkan kamar penginapan pun muncul. Sembari mengetik berita, saya mencoba mencari-cari penginapan melalui aplikasi perjalanan. Kekhawatiran saya terbukti. Hampir semua kamar penuh. Kamar yang masih tersisa kebanyakan bertarif tinggi, di atas Rp 1 juta per malam.
Setelah selesai mengetik dan mengirim berita, saya mencoba cara lain, yakni dengan menelpon langsung hotel-hotel untuk mengecek apakah mereka masih memiliki kamar dengan harga di bawah Rp 500.000 per malam. Toh, tidak semua hotel dan penginapan memasarkan kamarnya melalui daring.
Namun, sebagian besar menginformasikan bahwa semua kamar penuh hingga akhir pekan atau Sabtu (7/5/2022). Ada salah satu hotel yang masih memiliki satu kamar kosong. Namun, tarifnya di atas Rp 800.000 per malam. Saya memutuskan tidak mengambilnya.
Meski belum tahu akan menginap di mana, hari Rabu pukul 15.00, saya berangkat ke Yogyakarta tetap dengan membawa keluarga. Suami saya menenangkan dengan mengatakan, pasti kami akan dapat kamar juga nantinya. Saya pun berusaha menenangkan diri. Hari masih siang, masih panjang waktu untuk mencari-cari penginapan sebelum masuk jam tidur malam.
Dalam perjalanan dari Magelang dan menembus kemacetan di Yogyakarta, saya tiba-tiba ditelepon dan menerima kabar mengejutkan. Mantan wartawan Kompas, Mas Hariadi Saptono yang akrab disapa Mas HRD, meninggal dunia. Mas HRD yang belum lama pensiun ini dulunya adalah guru bagi banyak wartawan Kompas, termasuk saya dan kawan-kawan seangkatan.
Maka perjalanan yang semula mengarah ke kawasan Malioboro kemudian beralih ke RS Panti Rapih. Setelah menyampaikan salam dukacita kepada keluarga dan melihat jenazah almarhum dari kejauhan, saya berpamitan. Saya harus segera mencari tempat untuk mengetik tulisan obituari kepergian Mas HRD.
Baca juga: Siksaan Mobil Mogok Saat Liputan Kebakaran Kapal Cilacap
Saya kembali ke kendaraan. Anak bungsu saya yang berusia 1 tahun sudah selesai menyantap bubur sereal yang sudah saya persiapkan dari rumah. Karena hari semakin beranjak malam, kami pun mampir di warung terdekat dari rumah sakit untuk makan malam.
Jalanan yang semakin ramai tiba-tiba membuat saya pesimistis bisa mendapatkan kamar kosong di daerah tengah kota, apalagi di kawasan Malioboro. Saya tidak tega memaksakan diri mencari-cari kamar hotel di kawasan itu. Anak-anak yang mulai kecapekan pasti akan semakin rewel jika dipaksa berlama-lama macet di jalan.
Kami pun pergi ke wilayah pinggiran kota dengan pemikiran, peluang mendapat kamar kosong akan lebih tinggi. Kami berniat mencarinya di daerah Jalan Solo atau di sekitar kampus tempat saya kuliah dulu di daerah Babarsari.
Dalam perjalanan, kami mampir untuk bertanya kepada sejumlah juru parkir tentang hotel-hotel terdekat yang mungkin masih memiliki kamar kosong. Nihil. Saya sempat panik dan sedih. Selain karena belum mengetik berita, anak bungsu saya sudah terlihat capek dan ingin tidur.
Untungnya dalam perjalanan kemudian, kami melewati hotel yang terlihat kuno. Suami saya pun memutuskan turun dan bertanya soal kamar. Barangkali, hanya nasib baiklah yang membantu kami waktu itu.
”Ada kamar kosong, tetapi hanya untuk dua malam. Ada keluarga yang baru saja datang dan membatalkan kamar yang mereka pesan. Kamarnya bisa kita pakai,” kata suami memberi kabar.
Baca juga: 4 Hari 3 Malam Menyusuri Jalur Tol dan Pantura
Oh, syukurlah. Lebih lega lagi karena harga kamar tersebut masih dalam batasan plafon. Setelah menyelesaikan masalah administrasi dan akhirnya bisa masuk kamar, saya pun mulai mengetik berita sembari mengurus anak-anak.
Hari Kamis (5/5/2022) pagi, setelah menyiapkan kebutuhan makan anak-anak, saya pun berangkat ke Malioboro. Proses wawancara narasumber sesuai dengan arahan term of reference (TOR) dari editor berlangsung hingga menjelang sore.
Saya kembali ke hotel untuk menengok anak-anak dan makan malam. Setelah itu, saya berniat melanjutkan liputan untuk melihat suasana malam di Prawirotaman. Daerah ini adalah kampung turis yang menjadi penyangga bagi kawasan Malioboro. Tulisan tentang Prawirotaman, menurut rencana, akan ditempatkan khusus di halaman e-paper Kompas.
Namun, rencana liputan ini terpaksa saya batalkan. Pemilik warung makan dan pengemudi ojek daring yang saya temui memberi informasi, kawasan Malioboro dan sekitarnya termasuk Prawirotaman macet parah.
Karena masih punya waktu, saya pun menjadwalkan ulang agenda liputan ini berpindah ke esok harinya. Sembari liputan, saya bertanya ke sana ke mari mencari kamar penginapan kosong.
Lagi-lagi saya beruntung. Setelah dua kali bertanya, dapatlah saya satu kamar kosong. Hari itu, Jumat (6/5/2022), sekitar pukul 11.00, kami langsung pindah ke penginapan di Prawirotaman.
Baca juga: Kiat Wartawan Liburan
Akhirnya saya bisa meliput suasana malam dengan leluasa sambil makan malam bersama keluarga. Tidak perlu khawatir pulang terlalu malam seusai liputan.
Pantauan suasana juga saya lakukan sembari memenuhi keinginan si sulung yang ingin menikmati gelato. Tempatnya tidak jauh dari penginapan. Kami sempat mengantre 30 menit.
Hari Sabtu (7/5/2022), saat anak dan suami belum bangun, saya memutuskan untuk melanjutkan liputan keluar masuk gang di Prawirotaman. Pagi itu, hampir semua kamar hotel masih penuh terisi tamu.
Siang harinya kami pulang ke Magelang, kota tempat sehari-hari saya bertugas. Di tengah perjalanan, saya teringat ada yang terlewat dan ingin kembali ke Malioboro. Saya belum sempat liputan di jalan-jalan sekitar sana karena kedatangan saya yang pertama dihadang macet. Namun, lagi-lagi niat ini kembali gagal karena pusat kota Yogya masih macet parah.
Dengan mempertimbangkan puncak arus balik yang diprediksi terjadi pada Sabtu malam atau Minggu (8/5/2022), saya pun memutuskan untuk kembali liputan di sekitar Maliboro pada Senin (9/5/2022).
Kali ini, kami bisa bisa melenggang santai karena sebagian besar pemudik atau wisatawan telah meninggalkan Yogyakarta. Saya hanya perlu fokus pada liputan atau mengatasi kerewelan anak-anak yang masih anak balita. Tidak perlu lagi stres karena kesulitan mencari penginapan atau menghadapi kemacetan.
Baca juga: Tak Cukup Sepasang Mata
Saya pun bisa liputan dengan lebih tenang sembari momong anak dan berusaha menyenangkan hati mereka. Agar suasana liputan yang turut mereka alami tidak terasa membosankan, saya selingi dengan jajan es krim, cokelat, atau jalan-jalan bergandengan tangan dengan si sulung sambil menyanyikan lagu anak-anak kesukaannya.
Sementara si bungsu lebih sering berada dalam pengawasan suami. Sesekali dia digendong, tetapi lebih sering dalam kereta dorong.
Liputan memang sungguh berbeda dengan liburan. Namun, tidak ada salahnya memadukan keduanya jika situasi memungkinkan karena kebersamaan dengan keluarga memang harus diperjuangkan.