Membangkitkan Magis Seni Ukir Kamoro
Setiap karya ukir Kamoro selalu memiliki jiwa dan cerita di baliknya. Kendati begitu, seni ukir sempat menghilang dari kehidupan Kamoro yang mendiami wilayah pesisir selatan Papua sepanjang 250 kilometer.
Hendrikus Wiriyu (33) tak pernah menghitung berapa banyak patung ukiran kayu yang telah ia buat sepanjang hidupnya. Namun, pemuda suku Kamoro dari pesisir selatan Papua itu mengingat eme alias tifa, gendang khas Papua, sebagai karya ukir pertama yang ditorehkannya ketika masih berusia 17 tahun.
“Saya mulai mengukir setelah diinisiasi lewat karapao,” kata Hendrikus, yang akrab disapa Hengky, Jumat (18/3/2022), ketika ditemui di Kampung Nawaripi, Distrik Wania, Kabupaten Mimika, Papua. Karapao adalah ritual besar pengukuhan hak adat bagi anak laki-laki Kamoro untuk meneruskan tradisi garis keturunannya sebagai pengukir, penari, penyanyi untuk ritual adat, atau peran lainnya.
Sebagai tugas awal, eme tak bisa dianggap sepele. Ia mesti mencari sendiri kayu waru di hutan, memotongnya menjadi gelondong, memahat, lalu mengukir motif seperti insang ikan dan sungai di permukaannya. Selaput gendangnya pun diambil dari kulit biawak.
Dari waktu ke waktu, karya Hengky semakin banyak. Satu per satu ukiran itu akhirnya menemukan pembeli di kalangan kolektor seni Ibu Kota dengan nilai hingga jutaan rupiah. Perantaranya adalah Yayasan Maramowe Weaiku Kamorowe, artinya “Seorang Pengukir Muda,” sebuah lembaga pelestari budaya Kamoro.
“Uangnya saya pakai untuk beli alat pahat dan ukir. Sekarang saya fokus sepenuhnya menjadi seorang pengukir. Jadi tidak pernah hitung berapa (ukiran) yang saya sudah bikin,” ujar Hengky.
Siang itu di Kampung Nawaripi, tepatnya di bengkel (workshop) ukir Yayasan Maramowe Weaiku Kamorowe, Hengky sudah sibuk dengan sebuah karya baru. Sebilah kayu sedikit demi sedikit ia pahat dengan pisau ukir dan palu untuk dibentuk menjadi perahu, miniatur alat transportasi sehari-hari orang Kamoro.
Sebelumnya, ia juga memberikan sentuhan terakhir pada sebuah yamate atau perisai kayu yang tingginya sekitar 1,2 meter. Permukaan yamate itu penuh dengan ukiran, dari bentuk kepala dan cangkang penyu, jari-jari kepiting, bintang, kulit buaya, dan insang ikan, yang diberi aneka warna.
Herman Kiripi (43), ketua Yayasan Maramowe yang juga seorang pengukir, mengatakan, semua motif ukiran itu melambangkan makanan serta segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari suku Kamoro. “Meski motifnya sama, orang Kamoro kalau bikin ukiran tidak akan pernah mirip. Setiap karya itu unik, selalu ada perbedaan,” kata dia.
Untuk mewarnai motif-motif itu, para pengukir Kamoro hanya menggunakan pewarna alami, sebagaimana pada yamate Hengky. Warna merah, misalnya, didapatkan dari biji-biji kecil buah watae atau kesumba keling (Bixa Orellana), sedangkan hijau dari dedaunan tanaman rambat seperti ubi jalar.
Di atas segala keunikannya, tradisi seni ukir begitu sarat makna dalam kehidupan suku Kamoro. Layaknya foto, kata Herman, orang Kamoro mengukir untuk mengenang dan mengabadikan orang-orang yang mereka kasihi, seperti orangtua.
Baca juga: Sepotong Kisah ”Maramowe” di Ibu Kota
Di samping itu, berbagai ritual adat hanya dapat diadakan dengan hasil ukiran tertentu. Karapao, misalnya, hanya bisa terlaksana jika tiang mbitoro yang penuh ukiran, dari wajah manusia hingga sayap di puncaknya, telah berdiri. Pembuatan mbitoro, yang terbuat dari kayu dan akar pohon kiiko alias kepuh (Sterculia foetida) juga diiringi berbagai ritual sakral sejak penebangan pohonnya.
Maka, kata Herman, ukiran tak akan pernah bisa terlepas dari identitas orang Kamoro. “(Seni ukir) harus kami buat terus supaya (tradisi) ini tidak terputus. Jadi, anak dan cucu kami bisa ikut mengukir,” ujar dia.
Degradasi
Bagi pendiri sekaligus pendamping Yayasan Maramowe, Luluk Intarti, setiap karya ukir Kamoro selalu memiliki jiwa dan cerita di baliknya. Motif-motif yang dihasilkan kemudian dapat dikategorikan penggunaannya, yaitu sebagai cerminan kehidupan sehari-hari dan untuk ritual.
Kendati begitu, seni ukir sempat menghilang dari kehidupan Kamoro yang mendiami wilayah pesisir sepanjang 250 kilometer dari Kampung Potowaiburu di Mimika Barat Jauh hingga Kampung Otakwa di Mimika Timur Jauh. Itu terjadi pada abad ke-19 ketika pemerintah kolonial Belanda mendirikan outpost di Kokonao, Mimika Barat, serta Gereja Katolik.
Pemerintah Belanda membentuk kampung-kampung untuk menghentikan pola seminomaden orang Kamoro yang menghambat pendataan warga. Di samping itu, ritual-ritual adat seperti perpindahan dari tanah lumpur ke tanah pesisir serta karapao, yang dapat memakan waktu hingga 1,5 tahun, juga dilarang.
Akibatnya, seni ukir pun menghilang bersama ritual-ritual itu. “Kalau ritual hilang, ukiran tidak lagi punya makna sehingga orang Kamoro berhenti mengukir. Terjadilah degradasi budaya ukir. Mutu ukiran jatuh, jumlah ukirannya menurun, jumlah pengukirnya juga habis,” kata Luluk.
Keadaan ini bertahan bertahun-tahun hingga kehadiran seorang ahli sejarah dan antropologi berkebangsaan Amerika Serikat dan Hongaria, Kal Muller pada 1996 ke perkampungan Kamoro. Luluk mengatakan, Muller melihat potensi seni ukir kamoro yang juga luar biasa layaknya di kalangan suku Asmat.
Karena itu, Muller menggagas festival budaya Kamoro Kakuru dengan meminta bantuan dari PT Freeport Indonesia (PTFI) yang telah menambang emas di Mimika sejak 1973. Festival ini kemudian diikuti beragam upaya untuk merevitalisasi tradisi ukir Kamoro, terutama penelitian, pengumpulan data serta pelatihan demi membangkitkan kembali semangat mengukir.
Di samping itu, tim revitalisasi budaya ukir yang adalah cikal bakal Yayasan Maramowe ini juga memfasilitasi pemasaran karya, pertama dengan pendirian sebuah galeri karya ukir didirikan di Kampung Nawaripi. Di samping itu, tim yang dipimpin Muller juga menjembatani pemasaran ke para kolektor seni, antara lain di Jakarta dan Bali dengan menggelar pameran.
“Program kerja Pak Muller untuk menyelamatkan budaya Kamoro ini dapat dukungan penuh dari Freeport sampai sekarang. Semangat dan kebanggan mengukir muncul lagi. Dampaknya, ukiran tetap ada, mutu ukiran sekarang lebih bagus. Jumlah seniman juga bertambah banyak, terutama yang muda-muda. Jadi, regenerasinya berjalan,” kata Luluk.
Menjelang masa purnatugas Muller, Yayasan Maramowe pun didirikan agar kerja-kerja preservasi budaya ini tak berhenti. Kini, para pengurus yayasan rutin turun tiga bulan sekali untuk mengangkut hasil karya dari 25 kampung yang didiami suku Kamoro untuk dipasarkan. Jumlah kampung ini pun hanya setengah dari yang seharusnya yayasan cakup.
Herman, ketua yayasan, menyebut cara ini memudahkan bagi para pengukir. Mereka tak perlu susah-susah berlayar dengan perahu dan menempuh jalur darat ke Nawaripi untuk menjual ukirannya.
“Ketika kami turun ke lapangan untuk mengambil ukiran itu, biasanya kami beri DP (down payment/jaminan) lebih dulu. Misal harga ukiran Rp 600.000, kami beri DP Rp 300.000. Setelah ukiran terjual, baru sisanya kami berikan kepada si pengukir supaya mereka tidak putus mengukir,” kata Herman.
Sulitnya akses ke kampung-kampung Kamoro akibat minimnya infrastruktur menjadi tantangan terbesar bagi Yayasan Maramowe kini. Namun, kata Luluk, semua itu bisa terlaksana berkat komitmen dari PTFI yang terus mengucurkan dana pengembangan masyarakat. “Setiap tahun paling tidak bisa sampai dengan Rp 4 miliar, kadang lebih,” kata Luluk.
Luluk pun menilai program revitalisasi budaya Kamoro ini telah berhasil karena besarnya minat masyarakat untuk terus mengukir. Apalagi, pelestarian tradisi ukir Kamoro tak bisa lagi ditunda karena kepunahan yang seolah menggentayangi tanah Papua yang didiami lebih dari 250 suku.
Ia mengatakan, suku-suku asli Papua yang tinggal di pesisir sebenarnya memiliki budaya ukir, baik di sepanjang pesisir utara maupun selatan. Namun, tradisi itu kini hanya bertahan di tiga suku, yaitu Asmat, Sempan, dan Kamoro.
“Kalau ukiran Asmat, kan, memang semua orang tahu. Tetapi, tidak semua orang tau tentang budaya Kamoro. nah inilah yg harus kita rawat, kita bantu promosikan. Kita harus mengupayakan bagaimana budaya Kamoro ini naik kembali pamornya agar sejajar dengan Asmat,” ujar Luluk.
Penanggungjawab program pengembangan budaya Kamoro dari Community Development PTFI, Reza Sofyan, mengatakan, perusahaan memiliki tanggung jawab untuk menjaga budaya dan kearifan lokal agar tidak hilang. Tujuan utamanya adalah mencetak para pengukir muda agar tradisi mengukir tidak hilang.
Namun, hal ini harus diiringi dengan pembukaan akses pasar. “Kami ingin pengukir muda tumbuh. Namun, kalau pengukir tidak memiliki pendapatan, kan, tidak mungkin berkembang. Jadi kami terus membantu agar mereka mau jadi pengukir dan bisa mendapatkan penghasilan,” kata dia.