Perjuangan Koperasi Mendorong Nelayan di Mimika Turun Mencari Ikan
Mulanya, Koperasi Maria Bintang Laut didirikan Keuskupan Timika untuk mendampingi masyarakat suku Kamoro mencapai kesejahteraan dengan menjadi nelayan. Namun, para nelayan justru kadang enggan turun melaut.
Mulanya, Koperasi Maria Bintang Laut didirikan Keuskupan Timika untuk mendampingi masyarakat suku Kamoro di pesisir Kabupaten Mimika, Papua, mencapai kesejahteraan dengan menjadi nelayan. Tangkapan mereka akan dibeli dan disalurkan kepada mitra bisnis. Namun, kini koperasi malah kesulitan memenuhi kuota ikan yang dipesan pembeli.
Koperasi Maria Bintang Laut (KMBL) kini memiliki sekitar 120 anggota aktif. Mereka adalah nelayan yang tinggal di delapan kampung, yaitu Koperapoka dan Nayaro (Distrik Mimika Baru); Nawaripi (Wania), Tipuka (Mimika Timur); serta Ayuka, Fanamo, Omawita, dan Otakwa (Mimika Timur Jauh).
Akan tetapi, ikan yang mereka setor untuk diolah di pabrik ikan milik koperasi masih sangat sedikit. Pada Kamis (17/3/2022) sore itu, tak ada ikan yang masuk ke pabrik. Para pekerja di koperasi pun hanya memotong ikan, lalu mengemasnya dalam kardus sebelum dikirim ke pelanggan.
”Target pembelian kami dari masyarakat pesisir adalah 3 ton per bulan. Itu, kan, artinya 36 ton setahun. Tetapi, sepanjang 2021, yang kami kumpulkan dari mereka hanya 21 ton,” kata Agus Suryanata, koordinator lapangan KMBL, Kamis (17/3/2022) sore, di depan pabrik ikan koperasi.
Pabrik itu terletak di dalam kompleks Keuskupan Timika yang terletak di area pusat kota Timika. Jaraknya dari daerah pesisir terdekat di Pomako, Mimika Timur, sekitar 40 kilometer atau 1 jam perjalanan jalur darat. Tak ada jalur darat dari wilayah pesisir lainnya.
Meski begitu, para nelayan Kamoro tak perlu jauh-jauh ke Timika. Agus mengatakan, KMBL telah menyediakan empat pusat pengumpulan ikan di pesisir, antara lain di Pomako dan Otakwa, sehingga para nelayan bisa segera menjual tangkapannya.
Berkat kerja sama dengan PT Freeport Indonesia (PTFI), perusahaan tambang logam yang sudah setengah abad beroperasi di Mimika, para nelayan bisa memperoleh harga yang bagus ketimbang di pasar umumnya. Ikan kakap putih alias baramundi yang menjadi ikan primadona di Mimika, misalnya, dihargai Rp 35.000 per kilogram.
Ikan lainnya, seperti bobara, bandeng laut, dan kerapu tikus, dibeli senilai Rp 17.000 per kg lebih tinggi daripada harga umum Rp 12.000 per kg. Ikan yang dikumpulkan kemudian diolah menjadi steik atau filet. Adapun ikan lele laut alias manyung yang dihargai Rp 5.000-Rp 7.000 per kg akan diolah menjadi ikan asin jambal roti.
Sebagian besar hasilnya, terutama baramundi, bandeng, dan bobara, akan dikirim KMBL ke PT Pangansari Utama (PSU), kontraktor jasa boga yang melayani sekitar 32.200 karyawan langsung dan perusahaan mitra PTFI, sesuai pesanan. Jika pasokan di pabrik KMBL berlebih, ikan pun dapat disimpan di gudang berpendingin (cold room) pabrik yang berkapasitas 40 ton.
Dalam tatanan ini, KMBL pun sebenarnya mampu menjamin pemasukan konstan sekaligus keuntungan bagi para nelayan Kamoro anggota KMBL. Meski begitu, kemudahan yang bertujuan memberdayakan dan memandirikan mereka secara ekonomi ini rupanya tak lantas dimanfaatkan dengan maksimal.
Baca juga: Separuh Potensi Laut Papua Belum Digarap
Pasokan dari nelayan yang hanya 21 ton sepanjang 2021 bukan hanya tidak memenuhi target 36 ton setahun, tetapi juga sangat jauh dari permintaan (purchase order/PO) PT PSU yang bisa mencapai 240 ton sepanjang tahun. ”Dampak pemberdayaan ini belum terlihat,” ujar Agus.
Sophia Tapilatu, penanggung jawab program perikanan Divisi Community Affairs PTFI yang mendampingi KMBL, mengakui ada faktor-faktor yang menyebabkan pasokan dari anggota koperasi begitu sedikit. Yang pertama adalah cuaca maritim perairan Mimika yang kerap dilanda ombak besar, hujan, dan angin kencang sepanjang tahun.
Karena kondisi itu, para nelayan tidak berani menuju laut lepas, hanya menangkap ikan di sungai-sungai dekat muara yang meliuk-liuk di pesisir. Apalagi, nelayan Kamoro memang sebenarnya adalah nelayan perairan dalam, tepatnya di sungai-sungai. ”Jadi, cuaca buruk bisa sangat memengaruhi produksi pabrik ikan KMBL,” kata Sophia.
Faktor kedua adalah adanya program dana desa atau proyek-proyek dari instansi lain yang gencar masuk ke desa-desa pesisir setahun terakhir. Ketika dana proyek itu masuk ke delapan desa binaan KMBL, masyarakat akan berhenti menangkap ikan dan beralih, misalnya, mengaspal jalan.
Dari proyek-proyek itu, masyarakat mendapatkan uang tunai. Akibatnya, program pemerintah malah kerap bersaing dengan program KMBL. ”Ini juga yang menyebabkan pasokan ikan ke kami berkurang. Ketika tidak ada lagi pemasukan dari program lain, biasanya masyarakat baru keluar mencari ikan,” kata Sophia.
Berbisnis
Dalam keadaan ini, KMBL harus memutar otak untuk tetap bisa memenuhi permintaan PT PSU yang setidaknya 20 ton sebulan atau 240 ton setahun. Karena itu, kata Agus, sejak 2021, KMBL memiliki dua divisi, yaitu bisnis dan sosial dan pemberdayaan masyarakat. Ini agar koperasi tetap bisa bertahan dalam bisnis perikanan sambil menjalankan pembinaan masyarakat pesisir.
Dalam hal bisnis, KMBL pun berusaha memenuhi pesanan PT PSU dengan membeli ikan dari pengepul-pengepul ikan di Timika dan kapal-kapal ikan di sepanjang pesisir Mimika. Bahkan, kata Agus, beberapa pengurus KMBL hari itu sedang menjajaki pembelian ikan dengan pengepul di Fakfak dan Kaimana, Papua Barat.
Karena itu, untuk sementara keberadaan KMBL justru lebih banyak dinikmati pihak yang bukan nelayan Kamoro. Meski begitu, pendampingan bagi para nelayan Kamoro terus berlanjut. Pada 2019, misalnya, sebagian dari dana investasi sosial Rp 94,77 miliar (6,7 juta dollar AS) dari PTFI dialokasikan untuk program perikanan lewat KMBL.
Sophia mengatakan, KMBL dan PTFI tetap menyiagakan petugas di empat titik pengumpulan ikan setiap hari yang bertugas menimbang dan mentransportasikan ikan ke pabrik. Akses pasar melalui kontrak dengan PT PSU pun dipertahankan. Semua ini diiringi pula dengan pemberian keahlian, seperti membuat jaring, perahu, dan memperbaiki motor perahu.
”Biaya-biaya itu mungkin kita tidak hitung (dalam operasional koperasi). Semua disubsidi oleh Freeport lewat program perikanan ini. Jadi, masyarakat bisa mendapatkan keuntungan full dari ikan yang dijual ke koperasi. Ini murni program untuk kepentingan masyarakat,” papar Sophia.
Lihat juga: Potensi Ikan yang Menghidupi Warga Namatota
Bernardus Irahewa (32), kepala Kampung Otakwa, menyebut KMBL mampu membawa perubahan pola hidup masyarakat. Warga yang sebelumnya hanya mencari ikan sesekali untuk konsumsi sendiri perlahan mulai bisa beralih menjadi nelayan untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Para nelayan juga bisa menikmati fasilitas lainnya yang disediakan KMBL. ”Kami sekarang bisa menggunakan kotak penampungan ikan yang disediakan koperasi bersama-sama secara gratis,” kata Bernardus.
Tantangan
KMBL mulanya didirikan pada 2006 oleh Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi Keuskupan Timika untuk menumbuhkan kemandirian ekonomi masyarakat Kamoro di pesisir yang mayoritas Katolik. Pada saat hampir bersamaan, PTFI sedang mencari mitra untuk program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir yang terdampak limbah (tailing) dari pusat pengolahan bijih logam.
”Pimpinan kami, Bapa Uskup John Philip Gaiyabi Saklil Pr, mengatakan keuskupan bukan lembaga superpower yang bisa menangani semua kesulitan masyarakat. Kami harus bermitra dengan stakeholder lain yang punya visi dan tujuan yang sama,” kata Agus.
Yang kami inginkan, mereka terus melaut tanpa menunggu uangnya habis.
Alfons Ramidi, yang membidangi Community Relations PTFI, mengatakan, prioritas utama program perikanan saat itu adalah membentuk pola kenelayanan. Tujuan ini tidaklah mudah karena masyarakat Kamoro bukanlah nelayan pada umumnya yang mencari ikan di laut untuk kemudian diperdagangkan.
”Membentuk pola sangat penting karena, biasanya, para nelayan ini kalau sudah dapat uang banyak, mereka akan beristirahat lama. Yang kami inginkan, mereka terus melaut tanpa menunggu uangnya habis,” ujar Alfons.
Pada awal-awal program perikanan, tim KMBL dan PTFI berusaha mendorong nelayan rutin melaut dengan memberikan bahan bakar minyak sebelum mereka ke perairan di luar muara sungai untuk menebar jaring. Tangkapan segera dibeli sehingga nelayan langsung merasakan manfaatnya.
Di luar itu, pembangunan kapasitas berupa keahlian dasar nelayan juga terus diberikan kepada masyarakat hingga saat ini. Namun, setelah 16 tahun berlangsung, KMBL dan PTFI masih harus menghadapi tantangan yang sama.
Baca juga: Elegi Nelayan Ganadi di Teluk Arguni
Sementara itu, tantangan di masa depan jauh lebih berat. Pada 2041, izin usaha pertambangan khusus (IUPK) PTFI akan kedaluwarsa. Jika tidak diperpanjang, artinya PTFI akan pergi dari Mimika bersama aliran subsidi yang memungkinkan pendampingan bagi nelayan Kamoro terus berlangsung.
Kepergian PTFI juga akan berarti hilangnya permintaan dari PT PSU. Karena itu, keuskupan kini berusaha keras membangun jejaring kemitraan baru, dimulai dari pemerintah kabupaten. ”Di tahun 2023, kami harus sudah memiliki jalan keluar untuk penjualan selain kepada PT PSU. Gereja (keuskupan) akan tetap berusaha mempertahankan kesinambungan program ini demi masa depan masyarakat,” kata Agus.