Kakao, “Buah Dewa” Calon Pengganti Emas Freeport
Kakao dipercaya akan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru bagi Mimika, menggantikan logam dari tambang PT Freeport Indonesia. Para petani di sekitar Timika kini didorong untuk menanamnya.
”Kalau suatu hari tambang tidak ada lagi, cokelat (kakao) akan jadi sesuatu yang penting,” ujar Devia Mom seolah bernubuat, Sabtu (18/3/2022), di sebuah kebun kakao di Kampung Utikini Dua, Distrik Kuala Kencana, Kabupaten Mimika, Papua. ”Karena itu, kami berikan bibitnya gratis kepada masyarakat,” sambungnya.
Selama 10 tahun terakhir, Devia, seorang lelaki asli Papua yang tegas dalam kata dan lakunya, mengetuai sebuah koperasi yang diberi nama Buah Dewa. Nama itu sengaja dipilih untuk mempromosikan kakao sebagai buah yang nilai ekonominya begitu besar.
Devia percaya kakao akan menjadi sumber kesejahteraan warga sekaligus pemacu pertumbuhan ekonomi baru bagi Mimika menggantikan emas, perak, dan tembaga dari tambang PT Freeport Indonesia (PTFI), setidaknya 19 tahun lagi. Sebab, pada 2041, izin usaha pertambangan khusus (IUPK) PTFI kedaluwarsa.
Jika tak diperpanjang, PTFI yang sudah setengah abad beroperasi di Mimika akan hengkang. Situasi itu tentu bukan kabar baik, karena PTFI adalah penyumbang terbesar bagi produk domestik regional bruto (PDRB) Mimika.
Hasil kajian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM-UI) menunjukkan aktivitas PTFI membentuk 67,7 persen dari PDRB Mimika pada 2018. Kontribusinya bahkan pernah mencapai 91 persen pada 2013. PTFI pun banyak memberikan bantuan lewat berbagai program sosial bagi warga Mimika.
Namun, kata Devia, keberadaan tambang juga mendorong banyak warga menjadi pendulang emas di Kali Kabur, sebutan untuk sungai saluran pembuangan limbah (tailing) tambang. Dalam sehari, seorang pendulang bisa mendapat Rp 500.000-Rp 1 juta dari sekian gram emas yang didapat.
Baca Juga: Membangkitkan Magis Seni Ukir Kamoro
Inilah yang menyebabkan, untuk sementara, kakao belum terlalu diminati. Kendati begitu, Koperasi Buah Dewa (KBD), yang didirikan pada 2012 sebagai bentuk dari program pertanian dataran rendah Divisi Community Affairs PTFI, tetap eksis dan menyediakan sumber pendapatan alternatif yang lebih aman bagi warga.
Devia mengatakan, KBD saat ini memiliki sekitar 300 anggota aktif dari 500-an orang yang terdaftar. Mayoritas anggota KBD adalah orang asli Papua (OAP) dari suku minoritas di Mimika, seperti Dani, Damal, Moni, Mee, dan Nduga yang tinggal di Distrik Kuala Kencana Mimika Timur. Hingga 2020, total lahan kakao anggota KBD mencapai 228 hektar.
Siapa pun bisa menjadi anggota jika memenuhi satu syarat, yakni memiliki lahan perkebunan. Bibit kakao pun bisa didapatkan cuma-cuma dari koperasi, berapa pun jumlah yang diinginkan. Anggota juga akan mendapatkan pupuk dan alat-alat pertanian kecil seperti sekop dan parang.
Mereka kemudian bisa menjual hasil panennya kembali kepada KBD, sebab koperasi itu menjadi perantara petani dengan industri pengguna biji kakao. Kini, KBD memiliki kontrak jual-beli dengan PT Cargill Indonesia di Jawa Timur dan PT Mars Symbioscience Indonesia di Sulawesi Selatan yang berorientasi ekspor.
Baca Juga: Emas Papua Modal Berharga Indonesia Emas
”Kalau cuaca bagus, hujan dan panasnya berimbang, tiap enam bulan kami bisa menghasilkan 3 ton (biji kakao kering) untuk dikirim ke pabrik. Koperasi ambil keuntungan Rp 5.000 per kilogram. Kalau pabrik bisa beli Rp 30.000 per kg, kami beli dari masyarakat Rp 25.000 per kg. Jadi tidak tetap, menyesuaikan harga dari pabrik,” ujar Devia.
Karena akses pasar terjamin, kakao terbukti bisa membawa kesejahteraan bagi warga Mimika. Penanggung jawab program perkebunan kakao dari Community Affairs PTFI, Sem Kabuare, mengatakan, tatanan yang ada sekarang sudah sesuai dengan tujuan perusahaan, yaitu menumbuhkan sektor perekonomian lain agar masyarakat mandiri.
“Kami coba mengembangkan kakao dengan harapan saat pascatambang nanti, ketika tambang Freeport tidak lagi beroperasi, masyarakat bisa memiliki pendapatan dari usaha perkebunan kakao. Prospek kakao bagus karena harganya ditentukan pasar dunia,” kata Sem.
Di samping itu, lanjut Sem, pohon kakao akan terus berbuah sepanjang tiga tahun setelah bibit ditanam tanpa metode budidaya dan perawatan yang ribet. Maka, petani pun bisa memiliki penghasilan yang konstan.
Tantangan
Kendati begitu, bukan berarti program perkebunan kakao ini berlangsung mulus tanpa kendala. Devia pun mengakui kakao saja belum dapat membawa keuntungan bagi KBD.
Kemampuan produksi saat ini, yaitu 3 ton biji kakao kering setiap enam bulan sekali, masih terlalu kecil. Padahal, kata Sem, seharusnya para petani bisa sering memanen dan mengirim biji kakao setiap bulan. “Ini kembali ke passion petaninya. Saat ini, hasil dari petani yang kembali ke kita sedikit lambat,” katanya.
Salah satu alasan yang membuat petani kurang bersemangat adalah lamanya masa tunggu hingga pohon bisa berbuah, yaitu tiga tahun. Di samping itu, curah hujan yang cukup tinggi di sekitar Timika menyebabkan buah kakao berguguran. Potensi maksimal panen pun tak tercapai.
Sebagai solusi, KBD membarengi program kakao dengan program tanaman pangan. Anggota didorong untuk menanam ubi jalar, keladi, dan pisang yang kemudian akan diserap oleh KBD, lalu dijual ke PT Pangansari Utama (PSU). PSU adalah kontraktor jasa boga PTFI yang dapat melayani 6.329 karyawan langsung PTFI dan 25.875 karyawan perusahaan mitra PTFI setiap hari.
”Jadi, sehari-hari mereka (petani) bisa punya pendapatan sambil menunggu produksi kakao. Tetapi, jenis komoditas yang dijual masih sedikit. Jadi, kami akan bantu buka akses pasar lebih luas agar komoditas lain yang ditanam masyarakat bisa terserap,” ujar Sem.
KBD sudah bisa jalan tanpa mengharapkan bantuan dari perusahaan.
Dampak program tanaman pangan Devia nilai sangat baik. Sempat terjadi, para petani membeludak di area perkebunan koperasi karena ingin menjual hasil panennya. Sejak itu, KBD pun membuat jadwal penjualan bagi setiap kampung, yaitu pada Senin, Rabu, dan Jumat, agar ubi, keladi, dan pisang yang dibeli tidak menumpuk.
Sebagai pelengkap, KBD juga menyalurkan hasil tanaman pangan dari tiga pemasok kepada PT PSU dengan pendapatan 2 persen dari total penjualan bahan pangan. Alhasil, KBD kini dapat mencetak keuntungan Rp 150 juta per bulan. Uang yang diterima para anggota setiap bulan pun mencapai Rp 250 jutaan.
Sem mengatakan, setiap tahun, penghasilan KBD bisa mencapai Rp 1,2 miliar-Rp 1,3 miliar. Ia pun tak ragu menyebut KBD sudah mandiri dalam membiayai aktivitasnya. Salah satu tolok ukurnya adalah PTFI tidak memberikan subsidi kepada KBD agar bisa ”menggaji” para anggotanya. ”KBD sudah bisa jalan tanpa mengharapkan bantuan dari perusahaan. Para anggota murni hidup dari penjualan biji kakao dan produk pertanian yang dijual ke PT PSU,” katanya.
Devia menambahkan, para petani juga semakin sejahtera berkat hasil pertanian dan perkebunan. Mereka pun dapat memenuhi kebutuhan pokok lain, seperti lauk pauk, minyak goreng, gula, dan garam dengan biaya sendiri. “Program ini mengurangi ketergantungan terhadap Freeport,” ujarnya.
Manfaat dari kehadiran KBD dirasakan salah satunya oleh Jonewas Wenda (59). Ia adalah pria suku Dani yang berasal dari daerah pegunungan Ilaga di Kabupaten Puncak. Setelah turun ke Timika dan menjadi anggota KBD, ia bisa mendapatkan Rp 3,3 juta setiap bulan dari penjualan kakao dan tanaman pangan.
Baca Juga: Cerita Kakao dari Hutan Papua
Berbekal bibit, pupuk, dan alat-alat pertanian sederhana dari koperasi, perlahan kehidupannya semakin baik secara ekonomi. ”Hasil penjualannya bisa bantu kami untuk lebih berkecukupan,” kata dia dalam bahasa Dani.
Terlepas dari itu, Devia sadar betul, program tanaman pangan bisa saja berakhir jika PTFI berhenti beroperasi di Mimika, karena tak akan ada lagi puluhan ribu karyawan yang akan mengonsumsi ubi, keladi, dan pisang mereka. Kakao pun ia sebut sebagai proyek jangka panjang.
Pemerintah telah berkomitmen untuk berkontribusi. Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Mimika Alice Wanma, dalam keterangan tertulis, mengatakan, pemerintah dan PTFI telah sepakat untuk memperluas lahan perkebunan kakao hingga 100 hektar antara 2022 dan 2024.
Karena itu, Devia tak gusar jika untuk sementara para petani belum tertarik pada kakao. Setidaknya, program kakao saat ini dapat menyediakan landasan pengetahuan bagi masyarakat untuk bisa sejahtera di era pascatambang.
”Kita harus sediakan payung sebelum hujan. Sebelum tambang tutup, pengetahuan harus sudah kita pegang teguh sehingga kita bisa perjuangkan hidup mandiri di masa depan dengan kakao,” katanya.
Baca juga: Kakao Ransiki Papua Menghasilkan Cokelat Terbaik Kelas Dunia