Susahnya Mendekati Korban Cinta Palsu
Di antara korban yang kami temui, terdapat LI, mahasiswi Fakultas Hukum. Akibat terkena tipu daya pelaku, LI kehabisan uang tabungan, berbohong kepada orangtua untuk mendapatkan pinjaman uang, dan terlilit utang pinjol.
Masih ingat dengan kisah The Tinder Swindler? Praktik penipuan berkedok cinta ala Simon Leviev, tokoh utama dalam film tersebut, rupanya sudah lama dan banyak terjadi di Tanah Air.
Tim liputan investigasi harian Kompas menelusuri beberapa kasus serupa. Penipuan dengan menebar cinta palsu ini terkesan sepele, tetapi sebenarnya perlu ditindaklanjuti serius.
Selain menelan banyak korban yang terkuras harta bendanya, penipuan juga meninggalkan trauma psikologis. Harga diri korban terjerembab.
Saat kami hubungi untuk wawancara, ia meminta surat perjanjian untuk merahasiakan semua identitas pribadinya.
Para korban sering menyalahkan diri sendiri sekaligus takut diolok-olok oleh lingkungan sekitar jika kasusnya diketahui. Beban mental ini membuat mereka tidak mudah memercayai orang lain. Mereka pun cenderung menarik diri dan menyendiri.
Karena itu, bisa dipahami apabila mereka skeptis kepada wartawan. Dengan situasi demikian, kami yang hendak mewawancarainya harus menyesuaikan dengan keinginan korban agar mereka mau didekati.
Salah seorang narasumber (narsum) berinisial Wt (25), misalnya. Saat kami hubungi untuk wawancara, ia meminta surat perjanjian untuk merahasiakan semua identitas pribadinya. Suratnya pun harus resmi dengan kepala surat berlogo Kompas disertai tanda tangan basah dan meterai.
Wt yang berdomisili di Semarang ini juga meminta surat fisik tersebut dibawa langsung oleh wartawan yang hendak mewawancarainya. Proses wawancara juga harus dilakukan seorang diri oleh wartawan bersangkutan. ”Jika bersedia, silakan. Saya bisa ditemui di Semarang,” kata Wt di ujung telepon pada Maret lalu.
Kami mendiskusikan permintaan Wt. Ini pengalaman baru menghadapi narasumber yang meminta surat perjanjian untuk tidak mengungkap identitas aslinya. Biasanya, permintaan semacam itu disampaikan secara lisan saja. ”Ini lebih pada kenyamanan narasumber, silakan,” kata Mas Subur Tjahjono, Sekretaris Redaksi Kompas, memberi lampu hijau.
Baca juga: Penipu Berkedok Cinta Berkeliaran di Dunia Maya
Ketika itu, anggota tim yang menghubungi Wt tengah berada di Purwokerto dan akan melanjutkan perjalanan menuju Yogyakarta. Rute liputan pun menjadi panjang karena dari Yogyakarta, anggota tim harus ke Semarang.
Wt menentukan waktu dan tempat pertemuan, yakni di sebuah pusat perbelanjaan di Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (24/3/2022) siang. Di sana ia terlihat duduk sendirian di salah satu gerai makanan. Di dekatnya, tergeletak map plastik dan telepon genggam. Dia memberi tanda sedang menunggu seseorang.
”Apakah benar Mbak yang mau ketemu saya? Saya dari Kompas,” sapa anggota tim kami.
Baca juga: Babak Belur oleh Kerumunan Massa
Dia mengiyakan dan mempersilakan duduk di depannya. Pelan, Wt memulai obrolannya. Sepertinya ia masih geram, marah, dan terpukul dengan penipuan yang dialaminya akhir Januari lalu.
Pertemuan sekitar 1 jam 30 menit itu berjalan lancar. Kami mendapat cerita detail dan bukti-bukti pendukung kejahatan yang dilakukan terduga pelaku Mohammad Iqbal Pangestu (29).
Pengalaman mendekati Wt mirip dengan pendekatan kepada Am, perempuan yang menjadi korban Iqbal setelah Wt. Awalnya, ia tidak yakin ketika kami menghubunginya via telepon.
Dia meminta kami menunjukkan identitas kartu pers dan nama lengkap melalui aplikasi Whatsapp. Dia pun meminta video call dengan salah satu anggota tim untuk memastikan bahwa foto profil yang terpasang tidak palsu.
”Saya ingin memastikan kalau Bapak memang jurnalis Kompas,” kata narasumber itu.
Baca juga: Penipu Cinta Terus Memperdaya
Am memastikan itu sebelum menyatakan kesediaannya diwawancara. Kami pun janji bertemu pada akhir Maret lalu. Karena Am masih dirundung kesedihan dan tidak memiliki banyak uang lagi setelah dikuras penipu, kami menawarkan untuk menjemput di kosnya di Jakarta Utara. Ia bersedia.
Namun, pada hari H pertemuan, Am tiba-tiba membatalkan pertemuan dengan alasan yang tidak kami mengerti. ”Maaf saya tiba-tiba tidak siap. Saya belum siap bertemu langsung untuk wawancara,” kata Am.
Kami pun tidak bisa memaksa karena memahami kondisinya.
Baca juga: Pengalaman di Rusia (3): Pengobat Kecewa di Moskwa
Mendampingi korban
Masih ada sembilan korban cinta palsu lainnya yang kami temui di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Untuk memudahkan komunikasi, kami menggagas grup percakapan yang berisi para korban dan tim kami.
Sebelum grup itu dibuat, kami rutin mengobrol dengan salah seorang korban di Purwokerto, Cb (33). Bahkan, salah satu dari kami kemudian menjadi teman curhatnya.
Peran Cb di sini penting karena dari dialah kami berhasil menjalin kontak dengan para korban di wilayah lain. Cb juga memiliki banyak informasi tentang orang yang diduga pelaku atas nama Faris Ahmad Faza (31).
Baca juga: Setelah Ini, Jangan Ada Korban Bualan Cinta Lagi
Setelah melewati obrolan panjang, kami berangkat ke Jawa Timur bertemu beberapa korban. Di sini, kami menyaksikan pertemuan korban dengan korban lain yang sebelumnya dituding ”kaki tangan” penipu. Inisial namanya, Tr (31).
Sosok Tr dapat kami temui berkat jalinan komunikasi dengan sesama korban yang tinggal di Kediri. Korban Faza lainnya mengajak Tr untuk mengobrol menjelaskan duduk perkaranya. Kebetulan mereka saling kenal karena sesama alumni sebuah SMA. Tr sepakat untuk bertemu dan menjelaskan keterlibatannya dengan Faza.
Dalam pertemuan itu, kami berada di antara para korban. Tr lalu menceritakan kisahnya panjang lebar. Selama obrolan, pertanyaan muncul bertubi-tubi. Belum terjawab satu pertanyaan, air mata korban keburu rebas. Beberapa di antara mereka tak henti-hentinya mengutuk diri sendiri; Kok aku bodoh banget, ya? Kok aku bisa percaya waktu itu, ya?
Baca juga: Bermodal Pelampung Tua, Nekat Berlayar di Laut Natuna
Di antara korban yang kami temui di Kediri, terdapat Ll, mahasiswi Fakultas Hukum di Kediri. Akibat terkena tipu daya pelaku, ia kehabisan uang tabungan, berbohong kepada orangtua untuk mendapatkan pinjaman uang, dan terlilit utang pinjaman daring (pinjol).
LI terlihat murung. Orangtuanya belum tahu masalah yang membelitnya karena LI belum berani cerita. Mau jujur, takut dimarahi. Kalau terus terang, khawatir akan memperburuk kondisi kesehatan ayah dan ibunya.
Baca juga: Tipu-tipu Berbalut Cinta
Pertemuan itu diawali rasa saling curiga, kemudian diwarnai tangis dan diselingi tawa bersama. Kegetiran mereka masih belum sirna. Usai obrolan, beberapa korban melaporkan dugaan penipuan kepada pihak berwajib. Kami ikut mendampingi mereka berjam-jam sebelum melapor.
Di kasus penipuan berkedok cinta lainnya, kami harus meyakinkan dua orang terlebih dulu agar dapat mewawancarai admin akun Instagram @aliskamugemash. Mereka tak ingin identitas admin dikutip dengan terang. Akun ini berisi testimoni orang-orang yang merasa ditipu oleh Leonardus Wahyu Dewala (32).
Baca juga: Mengendus Pencurian Air di Jakarta
Salah seorang yang pernah berhubungan dengan Dewala ini menyimpan trauma. Dia masih menyimpan beberapa dokumen yang bisa dijadikan petunjuk mencari keberadaan Dewala saat itu. Namun, dia tak kuasa untuk melihat kembali riwayat percakapan pada masa lalu dengan sesama korban.
Dokumen-dokumen itu tersimpan di percakapan grup di Twitter. Kami mengira dia akan menyalin dokumen-dokumen itu. Namun, karena masih trauma, dia meminta kami melihat sendiri percakapan di grup Twitter itu.
”Kakak log in ke akun Twitter-ku saja. Nanti aku kasih password-nya,” kata Sf (27), Sabtu (5/3/2022) sore.
Untuk semua korban, kami berikan kesempatan bersuara. Semoga mereka mendapatkan keadilan yang dicari.