Beberapa detik kemudian kepala saya dipukul dari belakang. Ketika menoleh giliran wajah saya yang ditinju. Tak dapat dicegah lagi, saya dihajar massa. Dari awalnya sakit sampai akhirnya tidak bisa merasakan apa-apa lagi.
Oleh
Nugroho F Yudho
·3 menit baca
Peristiwa pengeroyokan Ade Armando beberapa waktu lalu mengingatkan saya akan kejadian serupa yang terjadi 35 tahun lalu. Saat itu menjelang pemilihan umum April 1987. Harian Kompas menurunkan berita tentang kampanye Partai Persatuan Pembangunan.
Di tubuh berita tertulis ucapan juru kampanye Hartono Mardjono yang, antara lain, mengatakan, ”Kalo PPP menang, maka hotel-hotel tempat maksiat akan kita hapus, perjudian akan kita berantas, supermarket-supermarket akan kita tutup supaya rakyat bisa tetap berjualan di warung....”
Tidak ada masalah sama sekali ketika koran terbit. Wartawan peliputnya punya rekaman atas pernyataan Hartono tersebut. Keesokan harinya, saya kebagian tugas meliput kampanye PPP.
Kebetulan juru kampanyenya kembali Pak Hartono Mardjono yang sebenarnya saya kenal baik. Saya termasuk pengagum Hartono. Selain pengurus DPP PPP, sehari-hari ia juga seorang pengacara yang berani, jujur, dan berintegritas. Saya sempat mewawancarainya beberapa kali di rumahnya.
Kampanye saat itu digelar di Lapangan Merah, Pejompongan, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Agar bisa mengamati suasana dengan leluasa, saya mengambil posisi berdiri persis di depan panggung kampanye.
Mungkin karena melihat saya, setelah 10 menitan berorasi, Hartono kemudian mengatakan, ”Tidak semua media mendukung kita.” Ia kemudian menjabarkan kutipan berita seperti yang saya sebutkan di awal tulisan tadi.
”Saya memang bilang begitu. Tapi itu kan bukan substansi kampanye saya. Itu hanya untuk konsumsi warga PPP yang tidak perlu dimuat. Buat apa memuat yang kayak gitu?” katanya.
Masih dalam kampanyenya, dia lalu menyampaikan prasangkanya panjang lebar yang lalu disambut teriakan massa. Selanjutnya, ini yang bikin fatal. ”Kebetulan ini ada wartawannya, tolong lah pintar-pintar menulis kampanye PPP,” katanya sambil menunjuk saya yang berdiri persis di depannya di bawah panggung.
Karena ditunjuk, saya pun mengangguk. Tak sampai dua detik kemudian, terdengar suara membentak dari arah belakang saya, ”Wartawan goblok”, dan berbagai cacian kasar lainnya. Media tempat saya bekerja pun ikut dicaci dengan kata-kata yang teramat kasar.
Beberapa detik kemudian kepala saya dipukul dari belakang. Ketika saya menoleh, giliran wajah saya yang ditinju. Tak dapat dicegah lagi, sejurus kemudian saya digebuki massa. Sebelum meringkuk di tanah karena dihantam pukulan dari segala arah, saya sempat melihat Pak Hartono berteriak berusaha menghentikan pemukulan. Tapi, suaranya tenggelam di antara keriuhan massa.
Dari awalnya terasa sakit akibat dihajar massa, sampai akhirnya saya tidak bisa merasakan apa-apa lagi, lebih karena rasa takut yang teramat sangat. Saya ingat, kemudian ada tangan menjulur yang menarik badan saya, lalu mendorong saya masuk ke kolong panggung kampanye. Rupanya itu teman-teman GP Ansor yang menjaga saya dari amukan massa.
Saya pun berlindung di antara besi-besi rigging atau rangka panggung. Saya terus bertahan di tempat itu sampai akhirnya perhatian massa beralih ke panggung lagi. Saya lalu dikawal teman-teman Ansor untuk meninggalkan arena kampanye.
Lokasi kampanye itu sebenarnya dekat saja dari tempat tinggal saya di Pejompongan, tak lebih dari 500 meter. Hari itu, saya pulang ke rumah dengan tubuh gemetar.
Itulah pengalaman saya menghadapi massa yang emosinya bisa tiba-tiba tersulut dan meledak begitu saja meski sebenarnya tidak ada provokasi yang berarti.
Sampai sekarang saya tidak tahu siapa saja pelaku pengeroyokan tersebut. Yang jelas, sejak itu saya jadi paham seperti itulah perilaku kerumunan yang diliputi prasangka.
Sore itu kami sama-sama menyadari tentang perilaku kerumunan massa.
Sore harinya, seusai melaporkan kejadian tersebut ke kantor, saya dan Kepala Desk Politik dan Hukum Kompas AM Dewabrata datang ke rumah Hartono Mardjono. Ia kemudian meminta maaf dan menyatakan prihatin atas apa yang saya alami.
Ia juga mengaku kaget, tak menyangka bisa terjadi peristiwa seperti itu. Itu pertama kalinya ia menunjuk orang lantas terjadi kekerasan.
Hartono mengungkapkan, ia yang kemudian meminta teman-teman Ansor untuk menyelamatkan dan melindungi saya. Sore itu kami sama-sama menyadari tentang perilaku kerumunan massa.