Pengalaman di Rusia (3): Pengobat Kecewa di Moskwa
Kegagalan mencapai puncak Gunung Elbrus sulit dilupakan. Meski telah coba diobati dengan menikmati tempat legendaris di Moskwa, ibu kota Rusia, seperti kompleks Lapangan Merah dan Kremlin, rasa kecewa itu tetap ada.
Kegagalan menjejak puncak Gunung Elbrus (5.642 mdpl) di Rusia pada 19 Agustus 2010 hingga kini masih membekas di jiwa. Meski sudah hampir 12 tahun berlalu, masih sulit untuk melupakan pengalaman mengecewakan itu. Mungkin karena sudah tidak ada lagi kesempatan untuk kembali ke sana.
Tubuh pun tak lagi muda dan jauh dari bugar. Ditambah keterbatasan waktu, biaya yang tinggi, serta adanya prioritas hidup yang lain, menjadi pertimbangan jika hendak menyalakan kembali ambisi menjejaki mahkota Eropa itu.
Meski kecewa, kegagalan itu juga membuahkan hikmah luar biasa. Pengalaman dekat dengan maut membuat saya lebih menghargai kehidupan, keluarga, dan sesama manusia.
Jika pada dua kisah sebelumnya cerita lebih pada perjuangan menuju puncak dan menuruni gunung es tertinggi di Eropa itu, pada tulisan bagian ketiga ini berisi soal keluyuran singkat kami di Moskwa, ibu kota Rusia.
Seusai pendakian bersama Tim Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia Wanadri, tim kembali menginap di Hotel Ozone nan apik di Terskol, Negara Bagian Kabardino-Balkaria. Wilayah ini berbatasan dengan Georgia.
Sebelum kemudian bertolak ke Moskwa, tim menyempatkan diri berwisata ke Chegem, sekitar 10 kilometer dari Nalchik, ibu kota Kabardino-Balkaria. Suasana lembah dengan air terjun yang aduhai, kuliner daging domba panggang, air mineral, dan bir yang luar biasa lezat adalah menu yang kami nikmati di Chegem.
Baca juga : Pengalaman di Rusia (1): Menuju Mahkota Eropa
Suasana Chegem dimeriahkan oleh aktivitas sebagian warganya yang menjajakan suvenir. Mereka merentang pernak-pernik, terutama busana dari wol warna-warni yang menawan. Rompi, selendang, penutup kepala, dan cendera mata lainnya juga terlihat menarik dengan harga lumayan terjangkau.
Tim sempat berfoto di stan sewa busana tradisional. Suasana di Chegem yang tenteram lumayan mengobati luka kecewa saya yang gagal dalam pendakian Elbrus.
Dari Chegem, tim terbang ke Moskwa dan tiba menjelang tengah malam. Kami lantas menginap di hostel dekat stasiun Metro Novokuznetskaya. Dari foto yang saya jepret, saya perkirakan penginapan ini berjarak 300 meter dari stasiun tersebut.
Sebelumnya, pada kurun 6-9 Agustus 2010, tim juga berada di Moskwa untuk persiapan pendakian ke Elbrus yang menjadi bagian dari Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia Wanadri. Ketika itu, Moskwa terasa gerah dan panas akibat kabut asap kebakaran hutan dan lahan di sekitar Ibu Kota.
Dalam kondisi seperti itu, saya dan Nurhuda, anggota tim ekspedisi, menyempatkan diri untuk berkunjung ke Lapangan Merah dan kompleks Kremlin. Kami mengenakan masker di tengah kabut asap.
Ketika kembali lagi ke Moskwa seusai pendakian, kabut asap sudah menghilang. Ibu Kota yang gerah kembali menjadi sejuk bahkan dingin. Di Moskwa, tim menginap selama empat hari tiga malam sebelum terbang menuju Tanah Air.
Baca juga : Pengalaman di Rusia (2): Antara Hidup dan Mati di Elbrus
Berbeda
Pada 22 Agustus 2010, saya dan anggota tim ekspedisi Martin Rimbawan sepakat untuk jalan-jalan ke Lapangan Merah. Martin penasaran karena belum pernah ke kompleks Kremlin. Saya senang-senang saja menemaninya karena inilah waktunya melihat keindahan lapangan itu setelah tertutup kabut asap yang menyesakkan dada.
Warga Moskwa jelas berbeda dengan orang Indonesia. Mereka agak pelit senyum meski bukan berarti tidak ramah. Saya dan Martin yang mencoba tersenyum ketika berpapasan dengan orang lain malah disangka tidak waras. Ya sudahlah, kami akhirnya mengubah raut muka menjadi sedikit kecut, he-he-he.
Di antara anggota tim ekspedisi, Martin mengemban tugas mendokumentasikan perjalanan. Ini senapas dengan saya yang suka motret. Jadilah jalan-jalan kami diwarnai dengan banyak berhenti dan motret sana sini. Kami pikir seluruh sudut Moskwa bebas diabadikan dengan kamera. Rupanya ada tempat-tempat terlarang untuk difoto.
Di depan sebuah gedung yang unik, kami berhenti untuk memotret. Saya sudah siap-siap pasang gaya untuk difoto oleh Martin ketika tiba-tiba pintu gedung terbuka. Muncullah seorang lelaki berseragam dengan jubah panjang dan raut mukanya yang serius. Ia berteriak kepada kami yang intinya melarang berfoto di depan gedung itu.
Baca juga: Bermodal Pelampung Tua, Nekat Berlayar di Laut Natuna
Dasar saya dan Martin berjiwa usil. Sudah tahu dilarang, masih bertanya mengapa. Sialnya, sang petugas yang tampak seperti polisi atau malah tentara itu tidak bisa berbahasa Inggris.
Ya sudahlah, kami menjauh meski mata saya masih jelalatan menerawang fasad gedung. Tak rela harus meninggalkan tanpa mengabadikannya. ”Mungkin kantor dinas rahasia, Mbro,” kata Martin kepada saya.
”Enggak mungkin kalau kantor dinas rahasia. Mungkin polsek atau koramil kayak di Indonesia,” balas saya sekenanya.
Dalam perjalanan menuju Lapangan Merah itu, kami sempat melihat toko sepatu outdoor. Martin mengajak saya mampir. Kami tergiur juga melihat deretan sepatu yang dipajang.
Yang membuat kami heran, ada beberapa produk yang sama, tetapi harganya berbeda cukup signifikan. Kami tanyakan kepada pramuniaga toko kenapa sepatu yang sama bisa beda harganya.
Baca juga: Mengendus Pencurian Air di Jakarta
Jawaban si pegawai toko membuat kami terkejut. Katanya, sepatu yang lebih murah bikinan China, sedangkan yang jauh lebih mahal dan ia sebut berkualitas terbaik buatan Indonesia. ”Best quality, Made in Indonesia,” kata pramuniaga.
Saya melihat tanda tulisan Made in Indonesia atau buatan bangsa Indonesia pada bagian dalam sepatu itu. Rasanya bangga meski akhirnya kami batal membeli karena cukup yakin bisa menemukan ”bocoran” dengan harga jauh lebih murah di negeri sendiri.
Tiba di Lapangan Merah, saya dan Martin memuaskan diri memotret dan menikmati suasana kompleks yang legendaris itu. Kami juga berbelanja di suatu mal.
Saya membeli jaket tim olahraga Rusia untuk istri dan kaos untuk anak. Di suatu pasar, saya memesan sketsa wajah kepada seorang pelukis jalanan dengan tarif cukup terjangkau. Acara sore itu kami habiskan sampai langit Moskwa gelap.
Sebagai turis, saya amat menikmati suasana Moskwa. Seolah ada percikan cinta yang meminta saya untuk tinggal lebih lama. Tapi teringat jua dengan pepatah ”hujan batu di negeri sendiri lebih baik daripada hujan emas di negeri orang”. Ada benarnya, karena di negeri sendiri kita punya keluarga yang menerima apa adanya dan adanya apa.
Baca juga: Seluncuran Pelangi yang Mencuri Perhatian Juri
Jaringan
Hari berikutnya, anggota tim ekspedisi lainnya, Gina Afriani, Ardhesir Yaftebbi, dan Fajri Al Lutfi, bergabung bersama saya dan Martin. Kami lagi-lagi ke Lapangan Merah dan pasar cenderamata Arbat dan Izmaylovo.
Di pasar, saya membeli bendera Rusia, puluhan korek gas, kaos, boneka khas matryoshka, telur kayu bergambar Maria menggendong Yesus, dan jersei tim sepak bola CSKA Moskwa.
Dalam perjalanan ke Izmaylovo dengan kereta bawah tanah, saya hendak mengganti baju dengan jersei CSKA yang barusan saya beli. Namun, seorang warga mendekati dan berbicara dalam bahasa Inggris yang lancar agar saya tidak melakukannya. ”Di sini bukan wilayah untuk pendukung CSKA. Kalau pakai jersei ini, Anda bisa kena masalah,” katanya.
Saya mengucapkan terima kasih atas peringatan itu. Saya segera teringat, di Moskwa ada beberapa tim yang antarpendukungnya memang suka berkelahi untuk kesenangan. Akhirnya jersei saya masukkan kembali ke kantong.
Baca juga: Foto Agung yang Menyentuh Rasa Kemanusiaan
Fajri menawari saya untuk ikut menikmati jaringan layanan kereta bawah tanah atau metro Moskwa. Dalam majalah Moscow in Your Pocket edisi Agustus-September 2010, tertera informasi bahwa Chekovskaya merupakan stasiun terpanas saat itu. Kami sempat ke sana hanya untuk melihat-lihat dan berganti kereta untuk menuju stasiun lainnya.
Saya, Martin, dan Fajri hari itu seolah menjadi makhluk tanah yang sedang menjelajahi jaringan rongga seperti labirin. Dari foto-foto, setidaknya kami singgah di sembilan stasiun.
Saya gagal mengidentifikasi nama-nama stasiun itu karena tertulis dalam alfabet kiril yang sama sekali tidak saya kuasai. Yang jelas, setiap stasiun metro memiliki ciri tersendiri. Ada yang bergaya klasik, art deco, ataupun kontemporer.
Seluruh stasiun berada di bawah tanah. Setiap stasiun berbeda dan unik, seolah menandakan bahwa bangsa Rusia bercita rasa seni tinggi.
Ada stasiun yang letaknya begitu dalam di bawah tanah sehingga perjalanan naik turun dengan tangga berjalan bisa lebih dari 1 menit. Jika dalam masa perang atau negara sedang diserbu, stasiun bawah tanah menjadi tempat aman untuk perlindungan masyarakat dari serangan altileri dan bom.
Hari berikutnya atau 24 Agustus 2010, tim bertamu ke Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Rusia. Di sana, kami ditemui Duta Besar Indonesia untuk Rusia ketika itu, Hamid Awaluddin.
Tim melaporkan keberhasilan perjalanan pendakian ke Elbrus sebagai bagian dari Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia. Setelah berfoto bersama keluarga kedutaan, kami pamit menuju bandara untuk terbang ke Tanah Air.
Saya pulang dengan sejuta perasaan menjadi satu, antara cinta dan kecewa. Namun, bagaimanapun tetap harus pulang, karena lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas di negeri orang. (Selesai)