Bermodal Pelampung Tua, Nekat Berlayar di Laut Natuna
Saya mulai dihinggapi rasa mual. Untuk mengurangi pusing, saya mencoba berbaring tetapi itu justru memperparah kondisi. Akhirnya saya menyerah dan lari ke buritan. Bayangan wajah pucat dan menyedihkan terpantul di laut.
Hari Kamis (24/3/2022) malam, saya bersiap diri untuk perjalanan ke Natuna. Life jacket tidak ketinggalan. Pelampung tua yang warnanya mulai memudar itu saya masukkan ke ransel. Barang itu warisan dari pendahulu saya, para wartawan Kompas yang pernah bertugas di Batam, Kepulauan Riau.
Pelampung ini menjadi barang pertama yang saya bawa jika harus liputan ke tempat yang basah-basah. Tanpanya, saya tak punya nyali untuk dekat-dekat dengan air, apalagi yang namanya laut.
Perjalanan saya ke Natuna kali ini untuk menunaikan tugas liputan soal nelayan tradisional. Mereka mengeluhkan kebijakan baru yang bakal dikeluarkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan tentang perikanan tangkap.
Tanpanya, saya tak punya nyali untuk dekat-dekat dengan air, apalagi yang namanya laut.
Di Natuna nanti, saya berencana ikut nelayan mencari ikan di laut lepas. Ini keputusan lumayan nekat untuk ukuran orang yang hanya tahu cara berenang gaya batu. Namun, selama ada pelampung, saya percaya diri bisa menjelma menjadi Christopher Columbus.
Singkat cerita, setelah sampai Natuna, saya menemui Hendri, Ketua Aliansi Nelayan Natuna. Saya minta tolong dicarikan kawan nelayan yang bersedia menampung saya dalam kapalnya.
”Mas, bisa berenang enggak? Terus kalau nanti mabuk laut gimana?” tanya Hendri meragukan.
Dengan jujur, saya menjawab tidak bisa berenang. Namun, saya katakan cukup tahan mabuk laut. Agar dia tambah yakin, saya cerita sampai berbusa tentang semua pengalaman saya liputan di laut selama ini, yang sebenarnya tak seberapa itu.
Seperti sudah diduga, Hendri hanya mengernyitkan kening. Tampaknya dia ragu saya mampu bertahan dari terpaan ombak Laut Natuna.
”Saya enggak akan mati semudah itu, Pak. Saya bawa pelampung. Itu lebih penting daripada sekadar bisa berenang,” kata saya tak tahu diri, berusaha menggurui nelayan yang sudah berpengalaman puluhan tahun melaut itu.
Hendri masih saja memasang muka tidak yakin. ”Ya, nanti saya coba carikan orang,” katanya datar saja.
Jumat (25/3/2022) sore, saya kembali ke hotel dengan perasaan sebal bukan kepalang. Jengkel kepada diri sendiri karena tidak bisa berenang. Sungguh sangat memalukan karena udang yang katanya berotak kecil pun pandai berenang.
Di rumah, saya juga selalu di-bully oleh keluarga karena persoalan tidak bisa mengambang di air ini. Ibu selalu mengejek ketika melihat saya tenggelam seperti batu setiap kali diajak main ke sungai atau kolam.
Baca juga: Hidup Mati Nelayan di Laut yang Tergadai
Berulang kali pula ibu mengulang cerita tentang betapa hebatnya dia di air. Konon, semasa kecil di Jambi dulu, perahu yang ia tumpangi kandas di Sungai Batanghari. Dengan jemawa, ia mengaku jadi orang pertama yang sampai ke tepi karena pandai berenang.
Sampai bosan saya mendengar cerita yang rasanya sudah diulang ribuan kali itu. Entah benar atau tidak, saya tidak berani menggugat. Khawatir kalau dia malah menantang saya balapan renang untuk membuktikan klaimnya yang setinggi langit itu.
Meski begitu, saya akan marah betul bila ada orang yang bilang saya tak pernah berusaha. Dua tahun lalu, di usia 25, saya kembali ikut kursus renang untuk kesekian kalinya. Si pelatih menjanjikan saya bakal terampil berenang dalam waktu dua bulan.
Dengan kesetiaan seorang biarawan, setiap akhir pekan setelah liputan, saya pergi ke kolam renang. Bersama belasan anak-anak bau kencur saya belajar mengapung di air. Namun, semua sia-sia. Setelah delapan minggu, satu-satunya hal yang sukses saya lakukan adalah meluncur ke dasar kolam.
Sudah. Cukup sampai sini saya mengungkap cerita-cerita menyedihkan itu. Mari kembali ke soal liputan di Natuna.
Baca juga: Mengendus Pencurian Air di Jakarta
Berlayar
Kabar yang ditunggu akhirnya datang juga. Malam itu, Hendri menelepon dan bilang ada nelayan yang mengizinkan saya ikut melaut. Nama nelayan itu Rustam. Hendri berpesan agar saya membeli sejumlah bekal dan harus siap di Pelabuhan Teluk Baruk sebelum pukul 07.00.
Pada Sabtu (26/3/2022) pagi, saya meluncur sesuai janji, tentunya tak lupa membawa pelampung keramat di dalam ransel. Rustam tak banyak tanya ketika kami bertemu. Ia hanya menyuruh saya menunggu di dekat kapal karena ia harus membeli solar dan es batu dulu.
Saat Rustam pergi, beberapa nelayan di pelabuhan bercerita bahwa sebelumnya juga ada beberapa wartawan yang minta diajak melaut. Namun, mereka hanya kuat sebentar di laut. Semua mabuk laut dan minta cepat-cepat pulang ke darat.
Mereka juga menuturkan betapa mengerikan yang namanya mabuk laut. Apabila mengalami hal itu, orang akan kesulitan berdiri karena merasa dunia di sekitarnya terus bergoyang. Kesengsaraan itu akan terus berlangsung bahkan sampai lama setelah sampai di darat.
”Sepele kali orang-orang itu memandang saya. Belum tahu mereka kalau saya ini keturunan perempuan yang bisa berkelebat menyeberangi Sungai Batanghari,” rutuk batin saya berusaha menjaga mental agar tidak runtuh.
Baca juga: Seluncuran Pelangi yang Mencuri Perhatian Juri
Akhirnya, sekitar pukul 09.30, Rustam angkat jangkar dan mulai berlayar meninggalkan Pelabuhan Teluk Baruk. Dari kejauhan, saya melihat para nelayan di pelabuhan cekikikan melihat saya pergi.
Di atas kapal kayu atau pompong itu, Rustam menjelaskan, kami akan menangkap ikan tongkol sampai matahari tenggelam. Ia akan membawa pompong berlayar ke perairan yang berjarak sekitar 30 mil atau lebih kurang 50 kilometer dari pelabuhan.
Sampai tengah hari, saya masih merasa baik-baik saja. Tak ada masalah dengan perut saya. Namun, semua berubah ketika Rustam mulai menurunkan pancing. Ia mengurangi laju pompong dan mulai membawa kapal kayu itu bergerak dalam lintasan melingkar.
Saat itu, saya memegang kamera dan bersiap menangkap momentum Rustam mengangkat ikan. Namun, hal itu tak mudah. Pompong bergoyang ke kanan dan ke kiri dipukul ombak. Rustam juga bergerak sangat cepat ketika menarik senar pancing.
Baca juga: Foto Agung yang Menyentuh Rasa Kemanusiaan
Kondisi itu menyulitkan saya untuk mengunci fokus lensa kamera yang menggunakan adapter. Butuh waktu lumayan lama untuk membuat lensa mencapai fokus. Gerakan yang cepat berganti mempersulit upaya lensa yang mulai fokus karena akan segera buyar kembali mengikuti gerakan baru.
Usaha mempertahankan kamera sestabil mungkin sekaligus menatap layar yang terlalu lama di tengah situasi pompong yang bergoyang-goyang membuat saya mulai dihinggapi rasa mual. Saya mencoba berbaring untuk mengurangi pusing, tetapi hal itu justru semakin memperparah kondisi.
Mabuk laut
Akhirnya saya menyerah dan lari ke buritan, ”Hoekkk, hoekkk.” Dua kali saya mengeluarkan isi perut sambil menatap bayangan wajah pucat dan menyedihkan yang terpantul di laut.
”Kalau bisa muntah itu, berarti enggak mabuk laut. Awal-awal jadi nelayan dulu, saya juga sering muntah,” kata Rustam yang sepertinya sedang berusaha mengangkat moral saya.
Ia lalu menyuruh saya memegang salah satu senar pancing dan membantunya menangkap tongkol. Siasat Rustam berhasil membuat saya melupakan rasa mual dan pusing.
Baca juga: Demi Liputan Kendara, Merakit Sendiri Peredam Kamera Mobil
Hingga sore, kami berhasil menangkap 24 ekor tongkol. Total beratnya 40 kilogram (kg). Ikan-ikan itu bakal dijual ke pengepul dengan harga Rp 18.000 per kg.
Untuk modal menangkap tongkol, Rustam membeli solar Rp 150.000 dan es batu Rp 20.000. Setelah dihitung-hitung, ia bakal mengantongi untung sekitar Rp 550.000.
”(Tangkapan) Ini termasuk banyak, kemarin aja saya cuma dapat 10 ekor. Mungkin, Mas bawa keberuntungan,” ucap Rustam membuat saya sedikit bangga.
Saat matahari mulai menghilang dari cakrawala, Rustam memutar haluan ke arah barat. Di tengah perjalanan pulang, ia mengambil seekor tongkol dari kotak es. Ikan itu dipotong menjadi dua bagian. Bagian dada ke bawah diambil lalu dibuang bagian kulitnya yang keras. Setelah itu dicelupkan ke laut.
Rustam lalu mengucurkan perasan jeruk nipis ke atas daging tongkol yang sudah dipotong kecil-kecil. Terakhir, ia mencampur potongan daging dengan irisan cabai hijau.
”Ini namanya silong atau orang-orang bilangnya sushi (sashimi) dari Natuna,” katanya tersenyum sambil menawarkan potongan-potongan daging merah segar itu kepada saya.
Dengan ragu saya ambil sepotong dan mulai mengunyahnya hati-hati. Ternyata potongan ikan mentah itu tidak amis seperti yang saya bayangkan.
Perasan jeruk nipis dan potongan cabai hijau membuat daging ikan terasa gurih dan segar. Silong itu berjasa menjaga perut saya tetap tenang selama empat jam perjalanan pulang.
Kami tiba kembali di Pelabuhan Teluk Baruk pukul 21.30. Malam itu, pelabuhan ramai oleh warga yang antre membeli ikan dari nelayan.
Saya melompat keluar kapal lebih dulu saat Rustam masih sibuk menambatkan tali-tali kapal. Dari kerumunan, muncul beberapa wajah nelayan usil yang saya jumpai tadi pagi. Tanpa buang waktu, nelayan yang paling tua langsung berkomentar.
”Enggak mabuk laut, Mas? Kok masih lincah gitu?” Pak Tua bertanya.
”Mabuk, kok, Pak. Tadi muntah dua kali,” jawab saya.
”Muntah itu wajar. Beda sama mabuk laut. Kalau mabuk, enggak bakal bisa turun sendiri dari kapal,” dengan cepat ia menimpali.
Ia lalu menawarkan sebatang rokok. Kemudian melanjutkan percakapan, ”Kayanya udah bisa Mas ini jadi nelayan. Itu ada satu kapal nganggur, bawa aja kalau mau,” ucapnya disambut riuh tawa para nelayan lain.
Saya mengobrol ngalor-ngidul sebentar dengan mereka, sebelum akhirnya mendatangi Rustam untuk berterima kasih karena telah menjaga saya sepanjang perjalanan. Setelah itu, saya pamit untuk kembali ke hotel dan beristirahat.
Di atas motor sewaan dalam perjalanan ke hotel, saya senyum-senyum sendiri. Akhirnya, saya punya cerita petualangan seru di laut untuk membalas ibu saya yang selalu jemawa dengan ceritanya yang setinggi langit tentang Sungai Batanghari. Saya tak sabar menunggu waktu pulang kampung.
”Tunggu saja, biar nanti dia saya kasih paham. Dibanding pengalaman saya di Laut Natuna, cerita dia tentang Sungai Batanghari yang selalu dilebih-lebihkan itu sungguh tak ada apa-apanya,” batin saya menguatkan tekad.
Semoga kali ini saya cukup punya nyali untuk ”menantang” emak tercinta.