Mengendus Pencurian Air di Jakarta
Wy adalah penjual air dari pipa ilegal yang tersambung ke jaringan pipa PAM Jaya. Kendati banyak bercerita, Wy tak sepenuhnya percaya kepada kami. Ceritanya lebih mirip intimidasi halus bahwa ia tak segan melukai orang.
Sesuai usulan yang disetujui, tim kami diputuskan melakukan liputan mendalam soal pencurian air perpipaan di Jakarta. Namun, saat menjalaninya, kami merasa bagai menghadapi tembok bisu.
Sulit sekali mencari narasumber yang bersedia memberi kesaksian soal pencurian air tersebut. ”Orang dalam” yang terlibat dalam praktik ini menyimpan informasi rapat-rapat. Apalagi pihak luar yang ikut dalam persekongkolan. Mereka merasa lebih diuntungkan dengan bersikap tutup mulut.
Tema soal pencurian air sebenarnya kerap muncul di antara cerita-cerita kekerasan akibat rebutan air yang dialirkan lewat pipa. Akhirnya, kami mulai liputan pada awal Mei 2021. Namun, mencari fakta pendukung yang meyakinkan ternyata tidak semudah yang dibayangkan.
Meski data pencurian air sudah jelas, kami belum dapat menggambarkan bagaimana praktik ini dilakukan, melibatkan siapa saja, dan di mana saja terjadinya. Karena kesulitan itu, kami mulai berpikir untuk mengganti angle atau sudut pandang liputan.
Sementara itu, pimpinan kami meminta tetap pada angle awal, yakni mengulas pencurian air perpipaan Perusahaan Air Minum (PAM) Jaya. Di tengah tenggat yang kian mepet, kami mengumpulkan semangat yang tersisa.
Strategi awal pun kami ubah. Kami melacak jejak kasus lama pencurian air, mendalami laporan warga, dan blusukan lagi ke wilayah dengan tingkat pencurian tinggi.
Baca juga: Mafia Air Eksploitasi Warga Miskin
Sedikit demi sedikit informasi mulai terkumpul. Kami menemukan informasi awal adanya persekongkolan antarmafia pencuri yang merusak jaringan pipa PAM Jaya di lahan-lahan sengketa.
Masyarakat berpenghasilan rendah di kawasan itu terpaksa membeli air dari sambungan ilegal karena tidak memiliki akses layanan air perpipaan. Kurang dari tiga pekan, kami menemukan adanya 121 sambungan pipa air ilegal di Penjaringan dan Cilincing, Jakarta Utara.
Keributan warga
Temuan menarik kami peroleh justru lewat cuitan akun Twitter @Irco05242848 tentang keributan antarwarga di Kapuk Muara, Jakarta Utara, Sabtu (22/5/2021).
Kami mendalami informasi ini dan menemukan fakta adanya warga yang menjadi pelanggan resmi PAM Jaya, tetapi tidak kebagian air bersih. Sementara warga di sekitar kawasan itu yang tidak berlangganan justru mendapat pasokan air pipa dengan lancar.
Baca juga : Kongsi Jahat Mafia Air di Lahan Tak Bertuan
Konflik ini terjadi karena adanya pihak-pihak yang memanfaatkan keterbatasan jangkauan layanan air bersih ke lahan sengketa atau lahan yang belum dimanfaatkan. Sebagian besar warga yang tinggal di lahan semacam ini tidak punya dokumen Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
Sesuai Peraturan Daerah (Perda) Nomor 11 Tahun 1993 tentang Pelayanan Air Minum, mereka semestinya tidak bisa mendapat pasokan air bersih lewat jaringan pipa. Sebab, perda ini mengatur bahwa satu meteran air hanya bisa untuk satu persil tanah dan bangunan. Namun, ternyata warga tanpa PBB itu tetap mendapatkan pasokan air pipa lewat bantuan ”orang air”.
Baca juga: Seluncuran Pelangi yang Mencuri Perhatian Juri
Ketika itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyediakan kios air di 21 kampung padat yang tidak terjangkau layanan pipa air. Kebijakan itu tertuang dalam Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 878 Tahun 2018 tentang Gugus Tugas Penataan Kampung dan Masyarakat yang ditandatangani Anies Baswedan.
Namun, layanan kios air ini tak memadai karena volumenya terbatas. Masih banyak warga yang belum terjangkau layanan ini.
Di sisi lain, volume air ke pelanggan resmi di Kapuk Muara berkurang. Mereka menuntut hak yang seharusnya mereka peroleh. Tuntutan itu wajar karena mereka mengganti biaya layanan air bersih yang mereka pakai.
”Kami yang sudah bayar dan tercatat sebagai pelanggan resmi, kok, malah tidak dapat air. Sementara yang nyedot pipa PAM bisa dapat air lancar,” ucap Vincent, salah satu warga Kapuk Muara yang menuntut haknya.
Baca juga : Pelanggan Setia Hanya Mendapat Air Sisa
Bukan hitam putih
Liputan ini mengenalkan kami betapa peliknya masalah air bersih di Jakarta. Hingga pada satu titik, kami tidak bisa memandangnya secara hitam putih. Meski ada ribuan orang hidup di lahan sengketa atau di atas lahan bukan miliknya, mereka pun seharusnya tetap dapat menikmati layanan air bersih karena air adalah kebutuhan hidup yang paling dasar.
Sayangnya, situasi ini justru dimanfaatkan mafia untuk menawarkan jasa sambungan air ilegal kepada warga. Kami mempertanyakan kepada pihak yang berkuasa di negeri ini, baik di tingkat provinsi maupun pusat, bagaimana mereka mengatasi persoalan ini. Sebagai ibu kota negara, Jakarta seharusnya selesai dengan masalah ini.
Di liputan ini kami kemudian bertemu dengan Wy (58). Tubuhnya gempal, hitam, dengan sorot mata tajam. Wy adalah salah satu sosok penting dalam kasus pencurian air PAM Jaya di Kapuk Muara, Jakarta Utara.
Baca juga : Harga Bintang Lima untuk Kaum Papa
Pria yang berasal dari sebuah desa di Purwodadi, Jawa Tengah, ini datang ke Jakarta sebagai perantau tanpa pekerjaan tetap. Ia hidup berpindah-pindah dari satu kampung kumuh ke kampung kumuh lain di Jakarta Utara.
Wy kemudian menjadi penjual air dari pipa ilegal yang tersambung ke jaringan pipa PAM Jaya. Jasanya sangat dibutuhkan warga yang tidak mendapat layanan air perpipaan. Dialah yang memesan dan memodali pencurian air di salah satu kampung kumuh di Kapuk Muara.
Untuk itu, Wy mengeluarkan Rp 500 juta untuk oknum-oknum pekerja perusahaan air bersih dan aparat kelurahan setempat sebagai biaya membobol pipa resmi, memasang pipa ilegal, dan mengalirkannya ke rumah-rumah petak yang ada di atas tanah tak bertuan di kawasan itu.
Baca juga : Foto Agung yang Menyentuh Rasa Kemanusiaan
Wy membangun puluhan rumah petak di atas lahan bukan miliknya yang kemudian ia sewakan kepada para perantau. Wy juga menyediakan sambungan air bersih dan infrastruktur kebutuhan hidup lainnya. Tentunya, ia memungut tarif yang menggiurkan dari para pemukim di sana.
”Pasang meteran air dulu saya tarik Rp 1 juta per meteran, lengkap dengan pipanya. Tiap bulan mereka bayar uang air sesuai meteran itu,” katanya.
Namun, tindakannya ketahuan. Pelanggan resmi di kawasan yang sama melaporkan perbuatannya kepada petugas PAM Jaya. Wy pun digerebek petugas. Aliran airnya diputus sebelum balik modal. Ia meradang terutama kepada oknum operator, PAM Jaya, dan elite kelurahan setempat yang terlibat persekongkolan.
”Saya bayar ke mereka. Katanya akan aman, ternyata tidak. Kalau tidak dicegah keluarga saya, sudah saya uber mereka,” ancamnya dengan nada marah.
Baca juga : Ironi Air Jakarta yang Dijual ke Luar Kota
Kendati banyak bercerita, Wy tak sepenuhnya percaya kepada kami. Ia mengatakan dengan terus terang tak suka berbicara kepada wartawan. Ia mengulang-ulang kisah hidupnya yang keras dari penjara ke penjara. Ceritanya bagaikan intimidasi halus bahwa ia bisa melukai orang dengan fatal dan tak ragu melakukannya saat terancam.
Dia punya banyak pengikut di sana. Namun, Wy merupakan narasumber yang penting bagi kami. Kami bertahan dan mencoba terus mendekati Wy untuk menggali informasi lebih dalam. Kami tetap memandangnya sebagai manusia biasa, yang tidak lepas dari kesalahan, kekerasan, tetapi juga memiliki sisi manusiawi. Kami tak bisa memandangnya semata-mata sebagai penjahat.
Dari dia pula, kami mendapatkan informasi adanya keterlibatan pensiunan orang PAM Jaya, oknum operator, dan aparat kelurahan setempat dalam penyambungan air ilegal. Praktik seperti ini jamak terjadi di sejumlah permukiman padat di Jakarta. Polanya, mereka yang mengerti sambungan air menawarkan jasa untuk menyambungkan pipa secara ilegal kepada warga yang membutuhkan.
Baca juga : Demi Liputan Kendara, Merakit Sendiri Kamera Peredam Mobil
Susah didekati
Di Sukapura, Cilincing, Jakarta Utara, kami mendatangi rumah B Aritonang, juragan air dan pemilik puluhan rumah kontrakan di sana. B Aritonang susah didekati oleh orang yang belum dikenalnya. Pada 4 Juni 2021, kami menerima informasi bahwa ia memasang pipa air ilegal ke kontrakannya. Rumah kontrakan itu tidak terjangkau layanan air perpipaan karena berada di lahan sengketa.
Saat petugas PAM Jaya mendatangi rumahnya, dia menghardik. Kami menggali informasi darinya dengan cara menyamar sebagai pencari kontrakan. Kami bertemu L Aritonang, anak B Aritonang.
Dia memandang penuh curiga seraya menanyakan maksud tujuan kami ke sana. Sebenarnya kami tidak nyaman dengan respons L Aritonang yang ketus. Agar penyamaran tidak terbongkar, kami mengobrol selayaknya pencari kontrakan. Aritonang mengakui, jaringan air lewat perpipaan baru saja diputus PAM Jaya. Untuk memenuhi kebutuhan air, penghuni kontrakan harus membeli air jerigen.
Agar penyamaran tidak terbongkar, kami mengobrol selayaknya pencari kontrakan.
L Aritonang tidak mengizinkan kami berbicara dengan ayahnya. Kami memutuskan untuk menghubunginya melalui telepon yang terpampang di tembok kontrakan. Kami ingin tahu bagaimana L Aritonang mendapat air perpipaan PAM Jaya ke deretan rumah kontrakannya.
Dugaan kami, L Aritonang tidak sanggup mengerjakan sendiri. Menjebol pipa PAM Jaya dan menyambungkannya ke pipa lain butuh keahlian khusus. Saat Kompas mengonfirmasi ke B Aritonang, ia tak menjawab pertanyaan apa pun soal akses air bersih. Yang terdengar di ujung telepon adalah suara B Aritonang yang ngelantur tanpa konteks.
Di ujung tenggat
Bahan-bahan penting liputan ini sebagian besar muncul pada pekan terakhir sebelum terbit. Sehari menjelang penerbitan, kami masih menambah bahan dari lapangan. Ceritanya, pimpinan meminta agar kami melengkapi bahan yang masih menggantung. Meski sudah mepet, masih memungkinkan untuk mempertajam bahan.
Salah satu anggota tim menyusuri kembali lokasi pencurian dengan wawancara warga. Kami ingin membuktikan bahwa air hasil sambungan ilegal itu harganya jauh di atas harga resmi air PAM Jaya. Untuk mendapatkan bukti-bukti itu, kami perlu melewati rumah juragan air berinisial Wy lebih dahulu.
Waktu wawancara tidak bisa lama-lama untuk menghindari kecurigaan. Namun, dengan durasi yang singkat itu, kami harus mendapatkan informasi yang meyakinkan. Dua warga setempat yang kami temui memberi informasi yang kami butuhkan.
Mereka juga menunjukkan bukti pembayaran meteran (tidak sah) yang dibayarkan kepada Wy. Materi ini cukup mendukung cerita yang kami bangun untuk artikel yang akhirnya terbit pada 11 Juni 2021.
Dari liputan ini, kami belajar bahwa mendapatkan informasi awal yang meyakinkan sangat penting demi memudahkan proses liputan. Potongan-potongan informasi di awal liputan bisa menuntun pada banyak fakta menarik.
Satu tahun berlalu, liputan ini kemudian mendapat penghargaan sebagai Laporan Investigasi Surat Kabar Terbaik dalam Indonesia Print Media Awards (IPMA) tahun 2022 dari Serikat Perusahaan Pers. Penghargaan diberikan di Yogyakarta, 29 Maret 2022. Terima kasih atas apresiasinya.