Kongsi Jahat Mafia Air di Lahan Tak Bertuan
Minimnya akses air bersih membuka celah adanya kongsi jahat juragan kampung dengan oknum pekerja di bidang air perpipaan. Setidaknya 438.000 warga miskin di 21 kampung rentan jadi mangsa praktik ilegal.
JAKARTA, KOMPAS- Jalinan curang ini terlihat betul di kampung-kampung di lahan tak bertuan di Jakarta. Mereka mengakali jaringan air legal lalu air dijual lebih mahal pada warga miskin di sana.
Kelurahan Penjaringan, Jakarta Utara merupakan salah satu titik panas pencurian air perpipaan. Di sana pula terdapat 7 kampung di lahan yang tak jelas kepemilikannya. Penduduknya padat dengan akses air bersih perpipaan yang nyaris tak ada.
Salah satunya terlihat di Kampung Rawa Indah, Rawa Elok dan Kampung Kebun Baru di Kelurahan Kapuk Muara. Kampung ini cerminan kampung kumuh khas Jakarta. Di sana warga hidup sesak di gang-gang sempit di antara lahan dengan tebaran sampah dan barang bekas seperti terlihat Kamis (3/7/2021). Aroma apek tercium di lorong-lorongnya yang sempit karena nyaris tak terkena sinar matahari dan tanpa sirkulasi udara memadai.
Rumah-rumah petak satu kamar dengan tarif sewa lebih kurang Rp 300.000 per bulan dihuni satu keluarga, lengkap bersama anak-anak, bayi dan kerap disertai kucing-kucing dan unggas peliharaan. Sepanjang hari, pedagang air dengan gerobak hilir mudik di lorong-lorong sempit. Maraknya penjualan air di jeriken menandakan adanya masalah air bersih di sana.
Sudah puluhan tahun lahan itu dihuni. Selama itu pula, mereka tidak bisa memperoleh akses air perpipaan secara legal karena adanya syarat surat kepemilikan lahan untuk memperoleh sambungan. Sekarang terdapat setidaknya sekitar 4.000 jiwa hidup di lahan seluar sekitar 3 hektar itu tanpa surat kepemilikan lahan. Jumlah ini belum menghitung warga penyewa dengan KTP luar DKI Jakarta yang tak terdaftar.
Tak begitu jelas permasalahan apa yang membuat lahan itu tak bertuan. Namun faktanya, warganya memperoleh kartu tanda penduduk (KTP). Kawasan itu juga diakui pemerintah dengan adanya RT/RW.
Sudah jadi rahasia umum, setidaknya selama 15-20 tahun terakhir, sejumlah warga di kampung itu bisa mempunyai sambungan air pipa kendati tak punya surat kepemilikan lahan. Cara yang dilakukan baik dengan meter terbang (beli meter bukan atas namanya sendiri dan memindahkan lokasi dari alamat yang terdaftar), memalsukan surat kepemilikan lahan, hingga mencuri air dari pipa resmi PAM Jaya dengan melubangi saluran pipa, menyedotnya dengan pompa dan membajak aliran dari pelanggan resmi.
“Kalau orang pasang seperti itu di sini, sudah sejak 15-20 tahun lalu. Kalau ketahuan petugas, digerebeg, diputus ya nanti pasang lagi. Habis bagaimana, orang butuh air bersih,” kata Barnas, salah satu warga Kampung Rawa Indah, Senin (24/5/2021).
Baca juga : Pelanggan Setia Hanya Mendapat Air Sisa
Barnas sendiri rela membayar Rp 18 juta untuk memasang meteran air dan salurannya. Untuk keperluan itu, ia meminjam uang itu dengan jaminan mobil. Namun, setelah membayar, meteran tersebut belum dipasang hingga sekarang. Sekarang ia dalam pelarian, takut ditagih utang.
Si miskin jadi korban
Para pemilik sambungan air di kampung-kampung itu umumnya adalah orang bermodal cukup. Sebab biaya penyambungan air ilegal itu tidak murah. Untuk satu meteran, setidaknya dibutuhkan Rp 10 juta, belum menghitung biaya pemasangan jaringan pipa. Salah satu pedagang air di sana mengaku mengeluarkan modal Rp 500 juta untuk memasang 5 saluran air, tiga meteran ilegal dan 2 saluran mencuri langsung tanpa meteran, serta memasang jaringan pipa ke ratusan warga di kampung itu.
Oknum menawari jasa mencurangi aturan untuk akses air bersih. Para juragan kampung yang bermodal cukup besar banyak yang menyanggupi. Air bersih yang diperoleh ilegal, dijual dengan harga lebih mahal pada orang-orang bermodal cekak di sana. Akhirnya, para warga miskin pun yang menjadi korban paling malang. Mereka harus membayar jauh lebih tinggi dari warga yang lebih ekonominya jauh lebih baik di pemukiman resmi.
Bagi para juragan kampung, air adalah peluang usaha yang menggiurkan. Air bersih adalah komoditas yang laku keras di sana. Warga yang bermodal cekak tak punya pilihan lain selain membeli dari mereka kendati harganya lebih mahal mahal dari tarif yang ditetapkan pemerintah.
Warga miskin memang tak punya pilihan. Untuk mencuri air sendiri, mereka tak punya uang. Air tanah di sana yang terkena instrusi air laut tak bisa digunakan. Sementara membeli air dari tempat lain di luar kampung akan jauh lebih mahal.
Baca juga : Pekerjaan Rumah Menurunkan Tingkat Kebocoran Air
Salah satu pedagang air di Rawa Indah, misalnya, menjual air hingga Rp 9.000-Rp 12.000 per meter kubik, jauh lebih tinggi dari tarif rumah tangga resmi dari PAM Jaya (Palyja) sekitar Rp 6.000 – Rp 7.450 per meter kubik. Ia pernah menangguk Rp 86 juta sebulan dari hasil penjualan air bersih di kampung itu dari pipa yang dipasang ilegal. Dari jumlah itu, ia hanya mengeluarkan Rp 15 juta untuk tagihan dari Palyja.
Satu keluarga penyewa rumah petak di Kebon Baru, mengeluarkan sekitar Rp 400.000 per bulan untuk air bersih, lebih besar dari sewa kontrakannya. Jumlah ini lebih besar dari biaya air di keluarga di pemukiman legal pada umumnya yang berkisar Rp 200.000 per bulan. “Ya bagaimana, mau tidak mau harus begitu,” kata Nori (45) salah satu warga Rawa Elok yang berjualan makanan kecil di jalanan itu.
Semua pihak dirugikan
Semua pihak dirugikan kongsi jahat juragan dan oknum petugas. Si miskin dieksploitasi untuk keuntungan finasial, pelanggan resmi tak kebagian air karena aliran mereka dicuri di tengah jaringan, dan perusahaan penyedia air rugi besar karena air olahan hilang di jalan.
Aksi pencurian air yang begitu parah di sana juga pernah menimbulkan perselisihan dengan warga di Kompleks Perumahan Vila Kapuk Mas, Kapuk Muara, yang menjadi pelanggan resmi. Kompleks perumahan ini menempel langsung dengan perkampungan tersebut. Karena banyak air disedot di tengah jalur pipa, pelanggan resmi di sana nyaris tak dapat air.
Warga Vila Kapuk Mas pun mengadu ke Palyja, PAM Jaya dan DPRD DKI Jakarta. Masalah pun mulai diselesaikan, diawali dengan pemutusan sejumlah sambungan air ilegal di kampung-kampung tersebut.
Solusi
Saat ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui PAM Jaya telah memberi solusi sementara dengan pengadaan kios air di 21 kampung tersebut. Kebijakan itu tertuang dalam Melalui Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 878 Tahun 2018 tentang Gugus Tugas Penataan Kampung dan Masyarakat yang ditandatangani Anies Baswedan.
Namun, kios air ini tetap tak memadai karena volume terbatas. Selain itu, distribusinya merepotkan karena masih dilakukan dengan gerobak dorong. Karena jumlah kios air belum memadai, masih ada beberapa sambungan ilegal di perkampungan-perkampungan itu.
Sejumlah pihak menilai hanya perluasan jaringan air perpipaan ke kawasan-kawasan itu yang bisa menjadi solusi permanen. Status lahan yang tak jelas selama ini menjadi kendala sebab pipa yang dipasang di lahan tersebut nantinya bisa menimbulkan masalah lain.
Anggota DPRD DKI Jakarta Dapil 3 Viani Limardi, yang pernah memediasi keluhan warga soal air bersih di Kapuk Muara mengatakan, kondisi sekarang bukan sepenuhnya salah warga. Akar masalah ada pada kebutuhan dasar mereka yang tidak dicukupkan.
“Meskipun mereka tinggal di tanah ilegal, tapi ini kenyataan di Jakarta. Bahwa manusia-manusia ini ada dan mereka penduduk yang diakui, ada RT sendiri, punya KTP. Ini sebenarnya tanggungjawab pemerintah dan kita semua. Berdasarkan UUD kita tanah dan air ini seharusnya dicukupkan oleh negara sehingga negara diberi kewenangan menguasai itu Nah kita belum mampu memenuhi itu,” katanya.
Ketua Forum RW/RW DKI Jakarta M Irsjad mengatakan, warga di perkampungan itu juga berkontribusi pada pembayaran pajak kendaraan dan memilih kepala daerah. "Mengapa mereka tidak dapat menikmati pembangunan di Ibu Kota?" katanya.
Saat ini, di kampung Rawa Elok, Rawa Indah dan Kebon Baru di Kapuk Muara sudah ada tiga kios air yang disediakan PAM Jaya. Setiap hari petugas PAM Jaya datang ke sana untuk mengisi air di tiga tangki air di sana.
Direktur Utama PAM Jaya Priyatno Bambang Hernowo mengatakan, saat ini sudah ada 157 kios air yang disebar di 21 kampung prioritas yang terdapat di Keputusan Gubernur Nomor 878/2018 tersebut.
Saat ini, koordinasi antara PAM Jaya dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan terus dilakukan. Harapannya, meskipun tinggal di lahan tanpa surat kepemilikan lahan, penghuni tetap bisa pasang meter induk. Dengan ini, maka jaringan pencurian dan pejualan air pada warga miskin bisa diputus karena saat air pipa memadai, tak ada celah bermain lagi.
“Kabarnya akhir tahun 2021 ini sampai tahun depan itu sudah mulai bisa jalan program pemasangan pipa itu dan bisa merata ke mana-mana di Dapil 3 Jakarta Utara,” kata Viani yang fokus pada masalah air bersih.
Kebijakan air berkeadilan dan merata dari pemerintah mutlak diperlukan sehingga warga miskin tak hanya menjadi komoditas untuk ekploitasi ekonomi bagi kongsi jahat.