Pelanggan air perpipaan tidak selalu beruntung. Di sebagian tempat air tidak mengucur di jam-jam tertentu. Sementara di lain tempat, mafia air bersekongkol dengan juragan setempat membuat sambungan ilegal.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG / Insal Alfajri / Irene Sarwindaningrum / Andy Riza Hidayat
·4 menit baca
Selain akibat pencurian, air Jakarta juga hilang karena kebocoran fisik. Angkanya sebesar 45 persen dari total produksi air baku sebesar 20.725 liter per detik (lps). Hanya sebanyak 55 persen air atau setara dengan 11.398 lps yang mengalir ke jaringan pipa PAM sepanjang 11.961 kilometer.
Debit air itulah yang dipakai 889.945 pelanggan air perpipaan. Sayangnya, tidak semua dapat menikmati kucuran air dengan lancar. Ini terjadi karena sebagian dicuri mafia air dan sebagian yang lain bocor karena berbagai sebab.
Warga Kelurahan Rorotan dan Kelurahan Cakung Timur, Jakarta Utara sering menghadapi kenyataan pahit. Dua hingga tiga tahun terakhir, air mengalir hanya pada jam-jam tertentu.
"Air baru mengalir sekitar pukul 22.00 malem sampai subuh. Setelah itu air mati total, lalu sedikit menyala ketika sore sekitar pukul 16.00. Itu pun hanya di keran yang pendek sekitar 10 cm. Kalau di keran kamar mandi, tidak bisa sampai itu airnya," ujar Suryani, warga RT RW 007 Kelurahan Rorotan, Senin (03/05/2020).
Setiap bulannya, Suryani harus membayar sekitar Rp 68.000 untuk biaya pemakaian air pipa di rumahnya. Ia pun jadi sulit untuk melakukan kegiatan seperti mandi, mencuci, dan memasak karena minimnya air.
"Sejak susah air, kami jadi terpaksa memasang pompa, dengan biaya sekitar Rp 350.000. Itupun kualitas airnya jelek, hanya bisa digunakan untuk mandi dan mencuci. Dengan adanya pompa air, biaya listrik jadi lebih mahal sekitar Rp 30.000 dari biasanya," ucapnya.
Ketua RW 007 Rorotan, Jaelani mengungkapkan, ia akan mencoba untuk mengumpulkan para Ketua RT di lingkungannya untuk membuat surat protes ke Aetra karena aliran air yang minim. Sulitnya air ini juga terjadi di beberapa masjid sekitar Rorotan.
"Ini warga sudah banyak yang protes, bahkan ketika ada warga yang meninggal, kami harus menampung air cukup lama agar jenazahnya bisa dimandikan," katanya.
Senasib dengan warga Kelurahan Rorotan, Mikiah (29), warga yang tinggal Cakung Timur juga kesulitan mendapatkan air dari saluran pipa. Menurut ia, air tidak mengalir pada jam-jam sibuk di pagi dan siang hari.
"Biasanya kalau saat seperti itu, orang pada barengan pakai air, sehingga air tidak mengucur. Pernah waktu itu dalam seminggu air benar-benar mati total sehingga saya minta air ke warga yang menggunakan pompa," katanya.
Kejadian di daerah Rorotan dan Cakung Timur sangat bertolak belakangan dengan perumahan elit di Jakarta Timur, yang lokasinya tidak terlalu jauh. Dalam kawasan perumahan ini juga ada sebuah pusat perbelanjaan dan puluhan ruko.
Berdasarkan penelusuran Kompas, air dapat mengalir lancar hingga ke lantai dua ruko di kawasan tersebut. "Kalau di sini, air lancar terus setiap hari. Sempat sih airnya kecil, tapi itu karena permasalahan pipa dan segera bisa diatasi," ujar salah satu pegawai coffeshop.
Tidak hanya di Rorotan dan Cakung Timur, sulitnya akses air bersih juga dirasakan warga Kelurahan Semper Barat. Di daerah tersebut, air hanya mengalir sejak pukul 23.00-03.00. "Untuk mensiasatinya, kami biasa menyiapkan air di bak penampungan untuk kebutuhan masak dan mandi," kata Yohanes Agustin, warga Kelurahan Semper Barat, Kecamatan Cilincing.
Maraknya pencurian air juga membuat warga Perumahan Villa Kapuk Mas, Kecamatan Penjaringan, kesulitan air. Efendy, salah satu warga setempat mengeluh kecilnya aliran air di jam-jam tertentu. Selain itu, ia bersama warga lainnya juga pernah memergoki adanya warga yang memasang sambungan air ilegal.
"Ada yang memasang pipa HDPE berdiameter 1 meter, akhirnya kami menyita pipa ilegal tersebut dan kami taruh di Kantor RW 05. Kami juga sudah melaporkan hal ini ke operator tetapi tidak ada tindakan," katanya.
Koordinator Pengaduan dan Hukum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Sularsi, mengatakan, pihak operator masih lambat dalam menangani keluhan pelanggan terkait permasalahan air. Menurutnya, harus ada standard maksimal waktu pelayanan untuk operator supaya bisa segera mengatasi keluhan pelanggan.
"Contohnya seperti PLN, yang cepat tanggap ketika ada keluhan pelanggan, misalnya maksimal 3 hari pasti segera ditangani. Kalau masalah air ini, kami belum melihat adanya hal tersebut, jika ada air mati mungkin baru bisa direspon seminggu atau bahkan tidak direspon," katanya.
Sularsi mengatakan, pelanggan pun seharusnya juga berhak mendapat kompensasi seperti pemotongan tarif bulanan jika ada air mati selama berhari-hari. Namun, hal tersebut sepertinya sulit diterapkan karena hingga 14 tahun terakhir, belum ada kenaikan tarif air di Jakarta.
"Seharusnya pelanggan bisa dapat kompensasi kalau keluhan mereka tidak ditanggapi operator. Namun, sulit juga dilaksanakan karena tarif air yang tidak naik dan pelayanan air juga butuh biaya operasional," ujarnya.
Menurut Sularsi, menjelang akhir kontrak dengan pihak swasta pada 2023, belum ada perbaikan pelayanan air yang signifikan dilakukan oleh pihak Aetra dan Palyja. Oleh sebab itu, perlu ada evaluasi secara keseluruhan antara Pemprov DKI, PAM Jaya, Aetra, dan Palyja untuk meningkatkan mutu pelayanannya.
"Perlu juga ada evaluasi terkait kontrak perjanjian kerja sama tersebut. Jika, cakupan pelayanan tidak sesuai dengan kontrak, pihak operator harus mendapat sanksi berupa denda sesuai dengan perjanjian awal," tuturnya