Harga Bintang Lima untuk Kaum Papa
Lantaran tinggal di area yang tak terjangkau layanan perpipaan, banyak warga bergantung pada sambungan air ilegal. Tanpa itu, mereka harus menanggung biaya air bersih yang lebih besar.
Akses air perpipaan belum menjangkau lahan yang sedang bersengketa. Pemukim di area itu tak bisa menjadi pelanggan perusahaan air minum karena terganjal syarat kepemilikan pajak bumi dan bangunan (PBB). Besarnya kebutuhan warga yang tinggal di kawasan ini menjadi pintu masuk sindikat pencuri air dengan menawarkan sambungan pipa ilegal seperti yang terjadi di Rawa Elok, Kapuk Muara, Penjaringan, Jakarta Utara.
Warga di sana serba susah. Air tanah di kawasan itu buruk kualitasnya. Sementara jaringan air perpipaan belum masuk karena warga tidak memiliki syarat sebagai pelanggan.
Di sana, warga bisa mendapat akses air perpipaan ilegal dengan tarif Rp 9.000 per meter kubik. Bahkan sejak tiga bulan terakhir, pemasok air menaikkan tarif menjadi Rp 40.000 per meter kubik. Padahal, tarif PAM untuk keluarga sederhana hanya Rp 3.500 per kubik. Setiap bulan, warga Rawa Elok membayar Rp 300.000-Rp 700.000. Tanpa air dari jaringan pipa ilegal itu, warga kerepotan mendapatkan akses air.
Adah (47) salah seorang warga RT 017/04 Rawa Elok menunjukkan dua meteran airnya, Kamis (10/6/2021). Meteran itu dipasang WY, salah seorang pedagang air di kawasan itu. Satu meteran bersumber dari air PAM, satunya lagi merupakan air sulingan atau air tanah yang diolah sehingga menjadi lebih bersih. Air sulingan ini, kata Adah, juga dikelola WY.
Baca juga : Mafia Air Eksploitasi Warga Miskin
Awalnya, Adah hanya punya meteran dari air PAM ilegal yang didistribusikan WY. Tarifnya Rp 9.000 per meter kubik. Untuk pemasangan sambungan ilegal itu, dia membayar Rp 1 juta ke WY. “Bayar Rp 1 juta, air sudah ngucur,” kata perempuan yang sudah menggunakan air curian ini selama dua tahun.
Masalah datang di akhir tahun lalu. Ketika itu, anggota DPRD DKI Jakarta Viani Limardi bersama PAM Jaya menggerebek sambungan ilegal WY. Adah tak ambil pusing karena setelah keributan itu airnya tetap mengalir. Bahkan ketika PAM dan operator Palyja menertibkan sambungan ilegal di sana, Adah tetap bisa menikmati kucuran air.
Adalah Tuti (45), tetangga Adah, yang merasa ada yang tidak beres dari air yang dipasok WY. Ini karena Tuti menggunakan air itu untuk kebutuhan minum. Biasanya, air PAM yang sudah dimasak masih bisa diminum. Namun setelah penggerebekan, air Tuti berubah kualitasnya. Ketika dimasak, ada butiran putih pada air Tuti. “Selama sebulan, kami nggak berani minum air itu. Kata anak saya, ini bukan air PAM,” ujar Tuti.
Mendapati kenyataan itu, Tuti dan Adah memprotes WY karena kualitas air menurun. Setelah menerima protes, WY menawarkan air PAM dengan tarif lebih mahal, yakni Rp 50.000. Menurut Adah, tarif dinaikkan karena sumbernya berasal dari kios air PAM Jaya yang dikelola WY. “Air PAM juga, tetapi dari kios air itu ambilnya mah,” ungkap Adah.
Lonjakan tarif dari Rp 9.000 menjadi Rp 50.000 membuat Adah dan Tuti meradang. Dengan tarif Rp 9.000 saja, Tuti merasa sudah kemahalan. Sebab, Tuti pernah tinggal di Teluk Gong, Jakarta Utara, menggunakan sambungan PAM resmi, dan hanya membayar Rp 5.000 per meter kubik. “Kalau naiknya dari Rp 9.000 ke Rp 20.000 mah masih wajar. Tapi naiknya jadi Rp 50.000, kami mana sanggup,” ujar Tuti.
Baca juga : Harga Bintang Lima untuk Kaum Papa
Akhirnya, WY menurunkan tarif dari Rp 50.000 menjadi Rp 40.000. Meski masih keberatan, Adah dan Tuti terpaksa menerima tarif air jauh di atas tarif PAM yang paling mahal sekalipun. Seperti kata Adah, kalau kebutuhan untuk makan bisa dihemat, tetapi menghemat kebutuhan ke kamar mandi, mana bisa? Jadi, sudah berjalan tiga bulan mereka membayar air PAM dengan harga Rp 40.000 per meter kubik.
Tarif ini jauh di atas tarif PAM yang paling mahal yaitu Rp 14.650 per meter kubik. Di golongan tarif V ini, kelompok warga yang membayar dengan nilai itu adalah pengelola Pelabuhan Tanjung Priok. Bahkan tarif air yang ditanggung Adah dan Tuti lebih mahal dari tarif air PAM sekelas hotel bintang lima.
Air sulingan
Di bukti pembayaran Jumat (02/04/2021), Adah menggunakan air sebanyak 18 meter kubik dengan biaya Rp 720.000. Di rumahnya, Adah tinggal bersama enam anggota keluarga. Setelah dipikir-pikir, Adah merasa uang untuk air masih terlalu mahal. Maka ia pun meminta keringanan lagi ke WY. Tuti misalnya, dia tidak punya penghasilan tetap. Untuk bertahan hidup dia mengandalkan anaknya yang bekerja sebagai buruh pabrik.
Merespons permohonan itu, WY memasangkan meteran air sulingan di rumah Adah per 4 April 2021 dengan tarif Rp 5.000 per meter kubik. Menggunakan dua sumber air, air PAM dan air sulingan, tagihan air Adah turun menjadi Rp 550.000 per bulan untuk pemakaian bulan Mei.
Sementara Tuti membayar sekitar Rp 300.000 per bulan. Ini karena penghuni rumahnya hanya ada 4 orang, termasuk dirinya. Berbeda dengan Adah, Tuti hanya menggunakan meteran yang bersumber dari air PAM. Dia tak menggunakan air sulingan karena mubazir lantaran airnya tak bisa dipakai untuk memasak.
Tuti meminta pemerintah merespons masalah ini. Sebagai warga dengan KTP Jakarta, dia juga ingin merasakan kehadiran negara melalui pengadaan jaringan PAM resmi ke rumahnya. Hal senada juga disampaikan Adah. “Kalau begini terus saya gak kuat. Bulan depan mending diputus saja, biar pakai air sulingan saja,” Adah menambahkan.
Tingginya ketergantungan mereka terhadap air PAM tak lepas dari jeleknya air tanah di tempat itu. Menurut Adah, airnya berwarna kuning. “Pas ngucur lima menit pertama bagus tuh, jernih seperti air PAM. Setelah itu kuning,” ujar Adah.
Di kawasan Sukapura, Cilincing, Jakarta Utara, Fitri dan keluarga juga merasakan sulitnya mengakses air bersih. Sejak tinggal di sana, dia dan puluhan keluarga lain menggantungkan aliran air dari pipa ilegal. Pipa itu membentang dari jalur distribusi menuju ke rumah-rumah petak di sana. Entah siapa yang memasangnya, Fitri tidak tahu. Dia sangat menggantungkan air dari sana.
Baca juga : Ironi Air Jakarta yang Dijual ke Luar Kota
Sayangnya, sambungan ilegal ini terbongkar petugas PAM dua bulan silam. Saat ditemui di beranda rumahnya Jumat (4/6/2021) siang, penjual pecel lele ini beralih menggunakan air dari jeriken. Dia mengaku butuh enam jeriken air setiap dua hari, menyesuaikan waktu kedatangan tukang air ke tempat itu. Jika cukup, dia menggunakan air itu untuk kebutuhan sehari-hari bersama suami dan seorang anak.
Namun 120 liter air dari enam jeriken itu hanya cukup untuk memasak. Jika ada sisa, airnya juga digunakan untuk membilas badan ketika mandi. Sekadar untuk mengikis aroma garam dari air sumur mereka yang payau.
Volume ini jauh di bawah standar kebutuhan air bersih untuk warga yang tinggal di kota besar. Hal ini sesuai dengan ukuran yang tercantum dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 2010 Tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Pekerjaan Umum Dan Penataan Ruang. Paling tidak, setiap warga yang hidup di kota besar membutuhkan air bersih sebanyak 60 liter per orang per hari.
Kondisi ini yang membuat Fitri dan keluarganya bergantung pada aliran dari pipa ilegal. Karena terputus sambungannya oleh PAM, dia terpaksa memanfaatkan air jeriken dan air payau dari tanah. “Baru puasa ini (diputus sambungan pipanya). Sebelumnya ada (air) PAM (ilegal),” kata Fitri.
Baca juga : Kongsi Jahat Mafia Air di Lahan Tak Bertuan
Di tempat itu, harga air gerobak Rp 4.000 per jeriken. Jadi setiap bulan, Fitri harus mengeluarkan uang Rp 390.000. Uang sebanyak itu hampir separuh dari biaya sewa kontrakannya per bulan. “Memang harus air gerobak. Karena air sumurnya buat mandi saja tidak bagus, apalagi buat memasak,” ujarnya.
“Nyelang” air
Di lain tempat, warga bergantung pada aliran air PAM tetangganya yang disebut warga dengan istilah “nyelang.” Sambungan model seperti ini masuk kategori ilegal menurut ketentuan Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 11 Tahun 1993 tentang Layanan Air Minum. Hal ini yang dilakukan Sarma (43), warga Kelurahan Tanjung Priok, Kecamatan Priok, Jakarta Utara.
Sarma memilih nyelang ke tetangganya karena volume air pipa kecil. Meski jaringan perpipaan tersedia di kawasan itu, Sarma nyelang ke tetangganya yang memiliki sambungan PAM dengan tekanan air yang bagus.
Jumat (7/5/2021) siang itu, dia sedang duduk di samping kamar mandi. Berbeda dari rumah pada umumnya, kamar mandi Sarma berada di depan rumah, di samping pintu masuk. Di sana terdapat seonggok selang air mengular di depan rumah. Selang inilah yang digunakan untuk menyambung air PAM milik tetangga ke drum tempat penampungan air di dapurnya. “Nyelang cuma buat memasak saja. Kalau mandi masih pakai air sumur,” kata Sarma.
Sarma menggunakan air hasil nyelang untuk keperluan memasak. Sedangkan untuk mandi cuci dan kakus, dia dan keluarganya menggunakan air sumur tidak jelas kualitasnya. Tetangganya mematok tarif Rp 15.000 per drum setinggi dada orang dewasa untuk air hasil nyelang. Untuk satu drum air itu, habiskan dalam waktu tiga hari.
Ketua Komite Independen Pelanggan Air Minum Jakarta Utara, Jalaludin mengakui fenomena ini sudah biasa terjadi di wilayahnya. Warga memilih nyelang karena tekanan air di pipa PAM tidak stabil. Sementara ada tentangganya yang memiliki sambungan pipa dengan tekanan air bagus.
“Karena airnya tidak ada. Kalau pasang baru pun, belum tentu ada air di sana. Buat apa bayar abonemen saja tetapi tidak ada air. Mending pakai air tetangga saja,” kata Jalaludin.
Aktivitas ini tidak dilakukan setiap hari. Ketika nyelang air berlangsung, mereka menyimpannya dalam bak penampung. Setelah habis, mereka kembali nyelang. Tarif nyelang ini tidak ada ketentuan yang jelas. Tarifnya tergantung negosiasi dan kesepakatan dengan tetangga pemilik sambungan.
Cerita di tempat lain di Jakarta pasti berbeda. Yang mungkin sama adalah air bersih dengan kualitas baik makin diperebutkan. Namun nilainya makin mahal di daerah yang tidak terjangkau layanan perpipaan. Sayangnya, di sana pula hidup warga dengan tingkat penghasilan yang pas-pasan.