Mata saya tak sengaja tertumbuk pada pemandangan yang tak biasa. Seorang anak kecil berjalan kaki sambil memanggul karung besar. Dilihat dari belakang, karung sarat muatan itu melebihi ukuran tubuhnya.
Oleh
TOTOK WIJAYANTO
·4 menit baca
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Agung (10) menyusuri kawasan Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, untuk memulung kardus dan botol air mineral, Senin (24/1/2022). Sejak ayahnya meninggal dan ibunya pergi bekerja sebagai TKI, Agung yang tidak bersekolah itu terpaksa menjadi pemulung.
Berhasil mendapatkan obyek foto yang bagus itu bak mendapat durian runtuh. Tiba-tiba dan tak terduga. Itu yang saya alami saat memotret pemulung cilik di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, akhir Januari 2022 lalu.
Saat itu saya sedang mengerjakan penugasan dari editor untuk memantau dan memotret aktivitas pedagang minyak goreng di pasar tradisional.
Saat itu, di tengah masyarakat sedang ramai-ramainya isu kenaikan harga minyak goreng dan pemerintah meresponsnya dengan mengeluarkan kebijakan satu harga, baik untuk minyak goreng kemasan maupun curah. Semua jenis minyak goreng dipatok sama harganya oleh pemerintah, yaitu Rp 14.000 per liter.
Saya lalu mendatangi Pasar Kebayoran Lama untuk memotret penerapan kebijakan minyak goreng satu harga di pasar tersebut. Setelah kurang lebih satu jam berkeliling di dalam pasar untuk memotret dan mengobrol dengan para pedagang, saya kemudian meninggalkan pasar.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO
Rauf, pedagang bahan pokok di Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Senin (24/1/2022), menunjukkan stok minyak gorengnya yang tak kunjung terjual sejak pemerintah menyubsidi harga minyak goreng kepada konsumen melalui ritel modern.
Belum begitu jauh meninggalkan pasar, sambil mengendarai sepeda motor, mata saya tak sengaja tertumbuk pada pemandangan yang tak biasa. Di depan saya seorang anak kecil sedang berjalan menjauh sambil memanggul karung plastik putih besar. Dilihat dari belakang, ukuran karung itu jauh lebih besar dari badan si anak.
Tak ingin terburu-buru memotret, saya memilih melihat perkembangan situasi terlebih dahulu untuk memastikan apakah bocah ini bekerja sendirian, bersama teman-teman, atau orangtuanya. Saya tidak ingin terlibat dalam permasalahan ruwet jika ternyata ia bekerja bersama orang lain.
Setelah yakin ia bekerja sendirian, saya melaju mendahuluinya saat ia mulai berbelok dari Jalan Kebayoran Lama ke Jalan Ciledug Raya. Saya segera memarkir sepeda motor sekitar 100 meter di depan anak tersebut.
Di Jakarta, ia tinggal bersama neneknya karena ayahnya sudah meninggal. Ia hanya tahu bahwa ibunya pergi meninggalkan rumah.
Sambil menyiapkan kamera dan mengganti lensa lebar dengan lensa tele 200 milimeter, mata saya tak lepas memperhatikan pergerakan pemulung cilik tersebut.
Saat jaraknya tinggal 30 meter, saya mulai memotret anak itu dengan mode ”diam”. Mode ini saya pilih agar si anak tidak terganggu dengan suara shutter yang saya pencet.
Setelah yakin sudah mengantongi foto yang saya inginkan, saya berhenti memotret dan menunggu bocah itu mendekat. Saya menyapanya saat kami berpapasan. Dari obrolan singkat kami terungkap bahwa anak tersebut bernama Agung. Pada saat itu, ia mengaku berusia 8 tahun. Di Jakarta, ia tinggal bersama neneknya karena ayahnya sudah meninggal. Agung hanya tahu bahwa ibunya pergi meninggalkan rumah.
Agung (10) menyusuri kawasan Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, untuk memulung kardus dan botol air mineral, Senin (24/1/2022). Sejak ayahnya meninggal dan ibunya pergi bekerja sebagai TKI, Agung yang tidak bersekolah itu tinggal bersama kakak ibunya yang ia sebut nenek. Untuk bertahan hidup, mereka bekerja sebagai pemulung. Karena hari itu neneknya sakit, Agung berangkat memulung sendiri.
Biasanya Agung pergi memulung bersama neneknya. Keduanya mencari kardus dan botol plastik di seputaran Pasar Kebayoran Lama. Karena hari itu neneknya sedang tidak enak badan, Agung berangkat memulung sendirian.
Ia berangkat memulung pagi-pagi sekali. Sekitar pukul 11.00 ia akan pulang menuju bedeng tempat tinggalnya di kawasan Ulujami, Pesanggrahan, Jakarta Selatan, dengan berjalan kaki. Jaraknya sekitar 3 kilometer dari Pasar Kebayoran Lama.
Dari percakapan kami yang tidak sampai lima menit, saya mendapat kesan bahwa Agung yang sudah tidak bersekolah lagi ini sebenarnya adalah anak yang ceria. Ia menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya lontarkan dengan lugas, tanpa ada nada takut seperti pada umumnya anak kecil saat baru bertemu orang baru.
Bermodal hasil wawancara singkat, saya membuat keterangan foto tentang Agung. Dari 54 foto tentang Agung yang saya hasilkan, saya kirimkan lima foto di antaranya yang saya anggap terbaik.
Ternyata keesokan harinya foto yang saya beri judul ”Memulung untuk Bertahan Hidup” ini menjadi foto utama halaman pertama koran Kompas tanggal 25 Januari 2022.
Setelah sekian lama tidak menampilkan foto-foto feature kehidupan kaum papa, foto seorang pemulung cilik bernama Agung ini ternyata menyedot perhatian pembaca. Bahkan, Kementerian Sosial langsung mencari informasi pada hari itu juga dan memberi bantuan untuk Agung dan neneknya.
Dari informasi detail yang digali pihak Kemensos, terungkap bahwa Agung berusia 10 tahun. Ibunya pergi menjadi TKI sejak Agung berusia empat bulan dan hingga sekarang belum kembali ke Tanah Air. Setelah ibunya bekerja di luar negeri, Agung diurus oleh uwa (kakak ibunya), yang ia sebut nenek.
Untuk memperoleh foto terbaik, sering kali tidak cukup hanya beberapa kali memotret. Untuk merekam gambar seorang pemulung cilik, fotografer Kompas Totok Wijayanto mengambil 54 bingkai foto sebelum mengirim lima foto di antaranya yang dianggap terbaik. Salah satu foto kemudian muncul di halaman pertama koran Kompas.
Tidak hanya Kemensos, beberapa kelompok masyarakat juga melakukan hal serupa. Hari itu hingga beberapa hari setelahnya, telepon Redaksi Kompas tak henti berdering. Begitu juga sejumlah pesan singkat berdatangan masuk ke ponsel saya. Rata-rata menanyakan alamat bocah bernama lengkap Agung Kris Efendi ini karena hendak memberi bantuan.
Foto Agung yang diunggah media sosial Instagram @hariankompas juga mendapat apresiasi yang cukup baik. Hingga hari ini, foto tersebut disukai oleh 2.533 pengikut dan mendapat 110 komentar.
Foto ”durian runtuh” yang tidak terencana dan tak terduga ini ternyata telah menyentuh rasa kemanusiaan para pembaca Kompas. Saya terharu karena ternyata masih banyak orang-orang baik di sekitar kita. Dan, saya bersyukur telah menjadi bagian dalam upaya baik mereka.