Emosi Publik Bulu Tangkis yang Tak Lagi Sehangat Dulu
Luapan kegembiraan terhadap keberhasilan tim bulu tangkis kita berkembang seiring perkembangan zaman. Pada masa reportase radio, emosi publik luar biasa meskipun hanya bisa mendengarkan melalui siaran radio.
Kembali ke 45 tahun silam, ketika tim bulu tangkis Indonesia mampu meraih prestasi hebat di dunia, euforia luar biasa pun muncul di tengah masyarakat. Ketika itu, untuk kedelapan kalinya, Rudy Hartono Kurniawan berhasil menjuarai All England, kejuaraan bulu tangkis paling bergengsi di dunia.
Pada saat bersamaan, Iie Sumirat pemain asal Bandung, tampil sebagai juara Invitasi Bulu Tangkis Asia di Bangkok (1976) dengan menundukkan jago-jago bulu tangkis China, seperti Hou Zhiajang, Tang Xienhu, dan kawan-kawan.
Iring-iringan penyambutan sang juara dilakukan di jalanan Jakarta bak menyambut pahlawan dari medan perang. Kebetulan saya tinggal di sebuah mes wartawan di Kwitang, Jakarta Pusat, dan sangat sering memintas Jalan Thamrin saat menuju kantor di Palmerah Selatan.
Iring-iringan penyambutan sang juara dilakukan di jalanan Jakarta bak menyambut pahlawan dari medan perang.
Dari Bandara Halim Perdanakusuma, terlihat ribuan orang berderet memadati hingga ke trotoar di sepanjang Jalan Thamrin menuju bundaran air mancur hingga berbelok ke kanan menuju Balai Kota DKI (Daerah Khusus Ibu Kota).
Rombongan para pahlawan olahraga itu diterima Gubernur Ali Sadikin alias Bang Ali pada Kamis, 1 April 1976. Gubernur menghadiahi Rudy dan Iie sebuah sedan Toyota Corolla keluaran awal. Esok malamnya, mereka diterima Ketua KONI Pusat Sri Sultan Hamengku Buwana IX di gedung Komite Olahraga Nasional di Pintu Satu Senayan (kini Mal FX).
Para pemain bertemu di bandara Singapura, seperti diungkapkan Christian Hadinata beberapa waktu silam kepada saya. Mereka yang bertanding di Bangkok datang lebih dulu kemudian menunggu pemain yang datang dari London. Dari Singapura, kedua tim naik pesawat yang sama sehingga dapat tiba di Halim Perdanakusuma bersamaan.
Rudy Hartono dan Iie Sumirat dibawa berkonvoi menumpang mobil kap terbuka, Volkswagen Safari. Masing-masing memegang piala yang baru diraih di London dan Bangkok.
Sementara barisan voorijder membawa sirene disusul di belakangnya iring-iringan belasan pengendara motor gede (moge) dari Harley Davidson Club Jakarta, yang menderu dengan dentuman khas suara knalpotnya. Meriah sekali pokoknya.
Sambutan seperti ini mengingatkan kembali saat Ferry Sonneville, Tan Joe Hok, dan kawan-kawan untuk ketiga kalinya meraih Piala Thomas, yakni tahun 1958, 1961, dan 1964. Tan Joe Hok bahkan pernah dielu-elukan ketika tampil sebagai orang pertama yang menjuarai All England pada 1959. Saat itu, saya masih kelas I SD di Solo.
Baca Juga: Latihan Perdana untuk Jaga Kondisi Tubuh
Pada periode 1958-1964, orang hanya bisa mengikuti siaran langsung pertandingan yang berlangsung di Wembley, London, Inggris, melalui reportase Radio Republik Indonesia (RRI) gelombang pendek.
Lucunya, orang-orang bertepuk riuh sambil mengerubungi radio setiap kali reporter mewartakan pemain Indonesia meraih poin atau terjadi perpindahan servis. Pemandangan itu terlihat di sudut-sudut jalan.
Ketegangan demi ketegangan juga muncul di sekitar pesawat radio karena pemain yang pegang servis belum tentu mampu menambah perolehan angka, seperti pada sistem reli poin sekarang ini. Sebaliknya, lawan tidak bisa meraih angka sebelum pindah servis untuk menambah angka satu demi satu.
Baca Juga: Begini Rasanya Jadi ”Debt Collector”
Pada tahun 60-an, 70-an, 80-an, bahkan hingga 90-an, setiap kali tim bulu tangkis Indonesia menang gemilang dalam pertandingan dunia, seperti Piala Thomas dan All England, euforia pasti muncul di tengah masyarakat.
Pada akhir 50-an sampai awal 70-an, warga yang hanya bisa mengikuti jalannya pertandingan lewat pesawat radio bisa terharu perasaannya saat tim bulu tangkis Indonesia meraih kemenangan. Ini berkat dramatisasi sang reporter radio saat melaporkan jalannya pertandingan.
Juara di Aarhus
Tim Indonesia kembali tampil hebat ketika pada 17 Oktober 2021 membawa pulang Piala Thomas setelah puasa gelar selama 19 tahun. Tiga partai final yang berlangsung di Ceres Arena Aarhus, Denmark, berlangsung dramatis dengan mengalahkan tim China 3-0 di final.
Kemenangan pertama diraih lewat nomor tunggal Anthony Sinisuka Ginting atas Lu Guang Zu, disusul kemenangan partai ganda oleh pasangan Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto atas He Ji Ting/Zhou Hao Dong yang menempatkan Indonesia unggul 2-0. Rangkaian pertandingan ditutup dengan kemenangan manis juara Asian Games 2018, Jonatan Christie, atas Li Shi Feng.
Baca Juga: Bekal Masa Depan Ganda Putra Indonesia
Tentu harus diakui hebat karena ini adalah gelar juara Piala Thomas yang ke-14 kalinya. Bandingkan dengan rival terdekat, Republik Rakyat China (RRC), yang ”baru” 10 kali juara.
Terlebih, dalam perjalanan final Piala Thomas 2021, Indonesia harus jungkir balik menghadapi lawan-lawannya di partai semifinal, terutama Denmark, dengan pemain andalannya, Viktor Axelsen, yang tak terkalahkan di Aarhus. Lalu di final bertemu tim tangguh China.
Baca Juga: PON Papua Mengajarkanku Keberagaman
Akan tetapi, ternyata, sambutan atas kemenangan spektakuler Anthony Ginting dan kawan-kawan tersebut tidak seingar bingar ketika ganda putri Indonesia, Greysia Polii/Apriani Rahayu, meraih medali emas di Olimpiade 2020 Tokyo, tiga bulan sebelumnya.
Saat itu, kemenangan Greysia Polii/Apriyani disambut isak tangis banyak penontonnya di televisi. Bahkan, hujan bonus menyambut mereka setibanya di Tanah Air.
Antusiasme hujan bonus tidak segegap gempita sebelumnya, barangkali lantaran hujan bonus sudah lebih dulu mengguyur para atlet yang berlaga di Pekan Olahraga Nasional (PON) Papua XX yang penyelenggaraannya hampir berbarengan dengan Piala Thomas dan Piala Uber di Aarhus.
Euforia olahraga
Luapan kegembiraan terhadap keberhasilan tim bulu tangkis kita memang berkembang seiring perkembangan zaman. Pada masa reportase radio, seperti juga pada masa akhir kepemimpinan politik Presiden Soekarno, emosi publik luar biasa meskipun hanya bisa mendengarkan melalui siaran radio.
Salah satu reporter yang sering disebut kala itu adalah Atun Budiono, yang dikenal dengan suaranya, ”Marilah para pendengar, kita berdoa untuk tim kita agar bisa mengejar ketinggalan....” Ketika itu, Indonesia tertinggal jauh dari lawannya dalam persaingan Piala Thomas tahun 1964 di Tokyo. Akhirnya, Indonesia berhasil menang dan memboyong Piala Thomas untuk ketiga kalinya.
”Drama” olahraga yang mengaduk emosi publik Tanah Air memang sudah sejak lama ada, terutama di bulu tangkis. Dramatisasi menang kalah di arena bulu tangkis makin dimeriahkan oleh reportase tertulis di surat kabar pada 1970-an.
Baca Juga: Mencicipi Helikopter VVIP Super Puma Saat Meliput Wakil Presiden
Saat itu, bermunculan tulisan-tulisan olahraga yang menghidupkan rivalitas di bulu tangkis, misalnya tulisan Th A Budi Susilo pada awal 70-an dan tulisan Valens Doy serta TD Asmadi pada 1980-an di harian Kompas.
Rivalitas Indonesia-China diramaikan dengan berjayanya nama-nama pemain, seperti Wang Wenjiao, Hou Zhiajang, Tang Xienhu, dan Chen Fushou pada awal 1970-an. Para pemain RRC ini adalah eks jago-jago bulu tangkis Indonesia.
Tidak seperti Indonesia, saat itu RRC belum bergabung dengan Federasi Bulu Tangkis Internasional (IBF). Namun, di forum ABC (Asian Badminton Commision) dan forum-forum lain yang digalang oleh pemain-pemain China waktu itu, mereka beberapa kali bertanding lawan pemain Indonesia dalam pertandingan ekshibisi yang bertempat di China, Thailand, dan di beberapa negara Eropa.
Pertandingan pada 1976 merupakan salah satu arena yang dikenang. Saat itu, Rudy Hartono Kurniawan juara delapan kali All England. Hampir berturut-turut, dimulai dari tahun 1968, 1969, 1970, 1971, 1972, 1973, dan 1974.
Tahun 1975 terselang oleh Svend Pri dari Denmark, yang keluar sebagai juara All England. Tahun 1976, Rudy Hartono menjadi juara untuk kedelapan kalinya setelah mengalahkan Liem Swie King di final.
Baca Juga: Persaingan Dua Generasi Ganda Putra
Begitu banyaknya pemain Indonesia yang hebat kala itu hingga Indonesia bisa mengirimkan dua tim kuat ke All England, sekaligus ke Kejuaraan Bulu Tangkis Invitasi Asia (1976) yang mengalahkan jago-jago China di Bangkok, Thailand.
Saat itu, Indonesia mengirim tujuh pemain ke All England, yakni Rudy Hartono, Liem Swie King, Amril Nurman, Soegeng Subagyo, Theresia Widiastuty/Taty Sumirah, dan Regina Masli.
Adapun untuk bulu tangkis Asia di Bangkok, bertanding Iie Sumirat, Christian Hadinata, Ade Chandra, dan Dhany Sartika, serta para pemain putri, yakni Verawaty Wiharjo (Verawaty Fajrin), Ruth Damayanti, dan Holly Kurnianingsih (Kompas, Senin 29 Maret 1976).
Baca Juga: Menyamar Demi Mewawancarai Peretas Situs Pemerintah
Ketika di London Rudy Hartono menjuarai All England, di Bangkok Iie Sumirat menundukkan pemain terkuat China, Hou Zhiachang, di final. Sementara Verawaty harus mengakui keunggulan jago China, Liang Chiushia.
Namun, di nomor ganda, Christian Hadinata/Ade Chandra berhasil mengalahkan pasangan terkuat China, Tang Xienhu/Luan Jin, di final. Luapan emosi publik bulu tangkis dan masyarakat luas di Indonesia yang saat itu muncul digerakkan oleh tulisan-tulisan olahraga di media.
Ini berbeda dengan pertandingan Greysia Polii/Apriyani Rahayu di Olimpiade Tokyo 2020. Pertandingan bisa diikuti skor demi skor, bahkan saat keduanya mendapat instruksi dari sang pelatih, Eng Hian, di pinggir lapangan. Semuanya bisa diikuti langsung secara real time lantaran pertandingan disiarkan penuh melalui tayangan televisi atau siaran streaming di internet.
Baca Juga: Skuad Muda yang Menjanjikan
Demikian pula dengan siaran Piala Thomas 2020 bulan lalu yang bisa dinikmati real time di televisi. Euforia publik bulu tangkis dari zaman ke zaman memang berkembang, seiring kemajuan teknologi informasi. Emosi publik memang tidak sehangat dulu ketika masyarakat hanya bisa membayangkan keseruan di lapangan melalui reportase wartawan radio.
Akan tetapi, publik bulu tangkis saat ini bisa langsung bereaksi. Misalnya, ketika bendera Merah Putih tidak dikibarkan di latar belakang Ceres Arena, padahal Indonesia menjuarai Piala Thomas.
Sebagai gantinya, bendera PBSI (Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia) yang dikibarkan akibat Indonesia terkena sanksi sejak Oktober 2021 dari badan Anti Doping Dunia (WADA) lantaran tidak mematuhi ketentuan.
Baca Juga: Di Balik Senyum Bocah ”Joyful” di TPA Bantar Gebang
Beruntung, humas PBSI yang juga eks wartawan mingguan Bola, Broto Happy Wondomisnowo, membawa bendera Merah Putih sehingga, ketika Jonatan Christie mengakhiri pertarungan tunggal melawan pemain China, Li Shifeng, 21-14, 18-21, 21-14, bendera itu pun dibawa lari masuk ke lapangan. Merah Putih pun akhirnya berhasil ”berkibar” di Ceres Arena.
JIMMY S HARIANTO, wartawan Kompas (1975-2012)