PON Papua Mengajarkanku Keberagaman
Bertugas di PON Papua 2021 menjadi pengalaman perdana saya meliput PON dan menginjakkan kaki di Tanah Papua. Ada banyak pengalaman berharga yang saya dapat, terutama soal keberagaman Indonesia di "Bumi Cenderawasih".
Meliput Pekan Olahraga Nasional (PON) Papua 2021 adalah pengalaman baru bagi saya. Ini pertama kalinya saya meliput PON dan pertama kali pula menginjakkan kaki di Tanah Papua.
Ternyata, meliput PON bukan sekadar meliput kegiatan olahraga, melainkan juga belajar arti keberagaman Indonesia. Di Papua, saya bertemu dan berteman dengan orang-orang dari beragam daerah yang selama ini tidak pernah saya temui di kampung halaman saya di Palembang, Sumatera Selatan.
Beberapa kenalan baru mengatakan, provinsi paling timur Indonesia ini boleh jadi lebih heterogen dibandingkan daerah lain di wilayah barat Indonesia. Tidak heran jika kemudian mereka menyebut, provinsi berjuluk Bumi Cendrawasih ini sejatinya tempat paling awal untuk mengenal Indonesia sebagaimana mentari selalu terbit dari ufuk timur.
Ternyata, meliput PON bukan sekadar meliput kegiatan olahraga, melainkan juga belajar arti keberagaman Indonesia.
Sebelum bertolak, saya sengaja tidak terlalu banyak mencari tahu soal Papua agar tidak punya ekpektasi apa-apa. Saya ingin membiarkan diri saya larut dengan pengalaman baru selama berada di sana. Nyatanya itu manjur dan memberi banyak kejutan.
Di atas pesawat yang membawa saya dari Jakarta, yang melintas di kepala adalah Papua sebagai daerah yang melulu di tengah hutan belantara dengan orang-orangnya yang hidup secara tradisional.
Ketika mendarat di Bandara Sentani, Kabupaten Jayapura, Senin (27/9/2021), saya saksikan Jayapura sama saja seperti daerah lain pada umumnya di Indonesia: memiliki bandara modern walau ukurannya tidak terlalu besar dan akses jalan yang mulus dari bandara menuju pusat Kabupaten Jayapura bahkan hingga Kota Jayapura, ibu kota Provinsi Papua.
Di kanan kiri, rumah toko (ruko) berderet-deret yang menandakan adanya geliat ekonomi di sana. Di Kota Jayapura, hotel-hotel berbintang berdiri dengan bangunannya yang tinggi menjulang. Hotel-hotel itu menunjukkan adanya potensi besar kunjungan orang dari luar Papua.
Wajah Papua kian berubah sejak dibangunnya infrastruktur untuk penyelenggaraan PON 2021. Puluhan arena baru yang megah, berarsitektur modern, berstandar internasional, dan lengkap dengan akses jalan baru menghiasi empat kluster penyelenggara PON, yakni di Kabupaten dan Kota Jayapura, Kabupaten Mimika, dan Merauke. Menurut warga Kabupaten/Kota Jayapura, kehadiran infrastruktur itu mentransformasi lanskap daerah mereka sehingga terasa lebih maju.
Bagaimana dengan warganya? Memang masih ada orang-orang yang menggunakan pakaian tradisional dan berjalan tanpa alas kaki. Tapi, mayoritas orang Papua pun layaknya orang Indonesia lainnya. Ada yang bekerja di instansi pemerintah atau kantor swasta, ada pula yang mahasiswa, pelajar, atau berdagang.
Baca Juga: Torang Papua
Mereka bergaul sebagaimana biasanya. Di Kota Jayapura, kafe atau warung kopi selera milenial tumbuh subur. Anak-anak muda Papua gemar nongkrong sambil menyeruput kopi kekinian.
Mereka juga sadar sekali dengan mode. Perlengkapan yang dikenakan dari ujung kaki sampai ujung kepalanya, tak kalah gaul dengan anak-anak muda di Jakarta. Itu yang saya saksikan saat bertugas di Kabupaten/Kota Jayapura 27 September-1 Oktober 2021.
Suasana tak jauh berbeda terlihat di Kota Timika, Mimika, yang menjadi tempat tugas saya selama 1-16 Oktober 2021. Kondisi di ketiga tempat itu seolah menampar segala praduga yang saya bawa sebelum menapakkan kaki di Papua.
Baca Juga: Mencicipi Helikopter VVIP Super Puma Saat Meliput Wakil Presiden
Mengenal Indonesia
Di Timika, saya boleh dibilang belajar ulang mengenai Indonesia. Sejauh ini, pergaulan saya lebih banyak dengan orang-orang asal Sumatera, Jawa, dan sedikit dari Kalimantan, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Di Timika, saya mengenal dan akhirnya bersahabat dengan orang-orang dari Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Pertemanan itu menyadarkan saya bahwa Indonesia sangat beragam dan unik. Nyaris setiap malam sehabis liputan, kami berkumpul di warung kopi dan saling bertukar informasi tentang daerah masing-masing. Memang banyak perbedaan di antara kami, mulai dari warna kulit, bentuk rambut, dan logat bahasa.
Namun, ada benang merah dari latar belakang budaya dan sejarah. Kuliner misalnya, ada satu menu yang mirip dari ujung barat hingga timur Indonesia. Misalnya, menu pindang di Sumatera Selatan yang tekstur ataupun rasanya sekilas mirip dengan cotto dari Makassar, Sulawesi Selatan, atau kuah kuning dari Papua yang banyak dijual di Timika.
Atap pelana rumah tradisional dari Sumatera sampai Papua, ternyata juga ada kemiripannya. Orang Indonesia pun disatukan pula oleh sejumlah suku kata asli, seni tutur, sampai kebudayaan maritim.
Kebetulan saya memiliki keluarga dari pihak ibu yang sudah sekitar tiga tahun bermukim di Timika, bernama Amelia (37). Dia berkata, kehidupan di Papua khususnya di Timika, justru lebih heterogen atau beragam dibandingkan Palembang daerah asal kami, yang notabene salah satu kota besar di Sumatera.
Baca Juga: Menyamar demi Mewawancarai Peretas Situs Pemerintah
Hampir semua suku di Indonesia ada di Timika, termasuk dari Sumatera dan Jawa. Sementara di Palembang, belum tentu bisa menjumpai orang dari semua suku di Indonesia, terutama dari timur Indonesia.
Beragam kuliner nusantara pun tidak susah dicari di Timika. Pempek Palembang misalnya, tak kurang dari empat warung pempek ada di Timika dengan rasa yang persis sama dengan di Palembang.
Apalagi bahan baku pempek, seperti ikan tengiri, mudah didapat di Timika dan harganya pun terjangkau. ”Jadi, sebenarnya, Papua atau Timika ini lebih kental ke-Indonesia-annya,” terang Amelia.
Menepis streotipe
Pengalaman di Jayapura dan Timika turut menepis streotipe yang sering saya dengar bahwa orang-orang timur Indonesia keras dan kasar. Lebih dua pekan di sana, nyaris tidak ada pengalaman buruk yang saya dapatkan. Baik orang Toraja (Sulawesi Selatan), Ambon (Maluku), maupun Papua yang saya kenal di sana, semuanya ramah-ramah.
Bahkan, tutur kata dan sikap mereka amat sopan. Suatu kali di Distrik Abepura, Kabupaten Jayapura, saya mencari tempat untuk melakukan tes antigen. Di bawah terpaan terik matahari, saya mondar-mandir mencari klinik terdekat dari penginapan. Setelah berjalan puluhan meter tanpa hasil, saya memutuskan bertanya kepada seorang pemuda Papua berusia sekitar 25 tahun yang saya temui.
Seusai mendapat petunjuk arah, saya mencari lagi, tetapi tetap tidak ketemu. Karena melihat saya terus mondar-mandir, pemuda tadi yang kembali saya temui menawarkan untuk menggunakan sepeda motornya. Barangkali ia kasihan melihat saya yang bingung, capek, dan kepanasan.
Baca Juga: Di Balik Senyum Bocah "Joyful" di TPA Bantar Gebang
Kendati saya menolaknya secara halus, tak urung saya berpikir, ”Kok bisa menawarkan sepeda motornya kepada orang yang baru dikenal. Apa orang sini memang sebaik itu?”
Pengalaman mengesankan lainnya terjadi di Timika. Sehabis liputan di arena judo, saya mengikuti konferensi pers. Ketika bertanya kepada atlet dan pelatih dari Jawa Timur, saya yang tengah berdiri bergerak mundur ke belakang dan menabrak bapak asli Papua berusia sekitar 50 tahun. Buru-buru saya minta maaf karena tidak tahu ada bapak itu di belakang.
Respons sang bapak justru di luar dugaan. Malah ganti ia yang meminta maaf. Katanya, dia yang salah karena berdiri terlalu dekat di belakang saya. ”Tidak, tidak, tidak, bukan kamu yang salah. Saya yang salah karena berdiri terlalu dekat. Saya minta maaf,” ujar bapak tersebut sangat sopan.
Baca Juga: Memanggungkan Seni Tradisi di Arena PON 2021
Sewaktu upacara pembukaan PON Papua pada Sabtu (2/10/2021), rangkaian acaranya disiarkan langsung dari layar besar di dekat lapangan bekas pasar sentral Timika. Puluhan warga Timika berbondong hadir menggunakan sepeda motor menyaksikan tayangan itu lewat layar besar yang terpasang.
Semula, saya agak ragu untuk bertanya karena khawatir mereka merasa terganggu. Akan tetapi, ketika saya hendak mendekat, mereka justru melempar senyum terlebih dahulu.
Beberapa orang lainnya malah bergaya dan meminta saya memotretnya. Sikap mereka menghilangkan keraguan saya dan menjadi jalan masuk untuk mewawancarai orang-orang tersebut yang bersikap sangat terbuka.
Bertemu orang Kamoro
Sehari sebelum balik ke Jakarta, saya bergabung dengan teman untuk pergi ke Pomako, kawasan pesisir yang berjarak kurang lebih 45 menit arah barat daya Timika. Di sana, kami berniat menemui dan memotret kehidupan masyarakat Kamoro, suku pesisir asli Mimika.
Kami diterima baik oleh sejumlah lelaki dewasa di sana. Tak menyia-nyiakan waktu, kami pun segera memotret kegiatan di tepi laut dan tenda warga yang tengah nomaden untuk mencari hasil laut. Tiba-tiba, seorang pria berusia sekitar 40 tahun dengan tinggi kurang lebih 180 sentimeter menghampiri.
Dia berniat meminta uang karena kami sudah memotret di tempatnya. Namun, caranya meminta uang amat sopan. ”Mohon maaf Bapak, kalau Bapak mau foto di sini, bapak harus kasih uang. Mohon maaf ini kalau Bapak terganggu,” katanya.
Baca Juga: Tari Suku Kamoro dan Atraksi Maskot Hibur Penonton PON Papua 2021
Segmen-segmen kisah tadi mungkin tidak bisa menggeneralisir sifat orang Papua. Akan tetapi sekaligus menegaskan bahwa orang Papua sama seperti orang-orang dari suku lain. Yang menjadi persoalan justru cara pandang orang luar terhadap orang Papua yang penuh prasangka sebelum melihat kenyataan sebenarnya.
”Untuk mengenal Papua, kita jangan memakai cara pandang kita sebagai orang luar Papua tetapi cobalah membaur dan memahami cara pandang mereka. Seringkali, perbedaan cara pandang itu yang menyebabkan disinformasi mengenai Papua,” tutur Misba (38), orang Ambon yang telah belasan tahun tinggal di Timika.
Selama bertugas di Papua 20 hari, nyaris tidak ada isu terkait gangguan keamanan yang banyak dikhawatirkan, terutama potensi serangan dari kelompok kriminal bersenjata (KKB) di wilayah Mimika. Para atlet juga merasa aman dan nyaman sehingga bebas berlaga laiknya di kejuaraan-kejuaraan besar lainnya.
Para atlet memeras keringat dan air mata demi meraih prestasi tertinggi di nomor perlombaan/pertandingan masing-masing. Kalaupun ada yang terasa mengganggu, justru soal kedatangan pejabat negara yang silih berganti ke kluster-kluster penyelenggara.
Di Timika, keberadaan pejabat membuat PON yang notabene pestanya atlet justru terasa seperti ajang seremoni. Di sejumlah arena, penyambutan pejabat menyebabkan jadwal dan jalannya lomba terganggu. Tak sedikit atlet yang kesal dengan peristiwa tersebut, peristiwa yang sayangnya juga mengurangi keasyikan pengalaman perdana saya di Papua.