Burung-burung yang Menghilang dari Kampung Kami
Aku menoleh ke arah jendela, ke arah beranda yang usuk-usuknya penuh kawat bergantung kurung aneka rupa berisi beragam jenis burung langka yang sebagian dilindungi pemerintah. Burung itu tak seperti hari-hari biasanya.
Dalam keadaan terbaring lemas dengan suhu tubuh yang panas, kakek masih menyuruhku membuat olahan getah perekat untuk menangkap burung. Napasnya berat dan dalam. Suaranya serak dan sangat lirih, ia hanya bisa bicara sambil terpejam.
”Ambil getah pohon karet atau pohon nangka atau pohon benda. Rebus dengan oli bekas hingga mendidih, lalu dinginkan sampai kental dan likat. Tunggu burung cendet itu berbunyi di samping dapur. Jika sudah terdengar, oleskan getah itu pada sepotong ranting yang di bagian ujungnya terikat serangga. Biarkan burung itu datang bertengger. Kakinya akan lekat meski sekuat apa pun ia meronta. Di sisi batu penggiling jagung yang kutaruh di pojok dapur, telah kusiapkan sangkar untuknya.”
Nenek tiba-tiba melinangkan air mata. Tangannya mencelupkan selembar kain ke dalam gelas berisi air perasan pucuk asam. Lalu ia angkat dan dikompreskan ke dahi kakek. Aku hanya bisa menunduk sambil terisak.
Sedang ibu yang duduk di samping kakek terus mengaji. Sesekali meniup ubun-ubun kakek dengan serapal doa. Tak lama, setelah ruang kami hanya dilanda isak dan lantunan ayat suci, kakek kembali mengulangi kata-katanya; menyuruhku membuat lem perekat dari getah untuk menangkap burung cendet. Aku tidak tahu apakah kata-kata kakek itu hanya igauan atau memang sadar. Ia masih terpejam.
Saat kuelus pipinya, telapak tanganku merasakan panas yang sangat. Aku menoleh ke arah jendela, ke arah beranda yang usuk-usuknya penuh kawat bergantung kurung aneka rupa, berisi beragam jenis burung langka yang sebagian dilindungi pemerintah. Burung itu tak seperti hari-hari biasanya. Ia jarang berkicau sejak kakek sakit.
”Coba kau lepas burung-burung itu, Mid. Siapa tahu sakit kakekmu karena tulah burung itu, karena burung-burung itu termasuk burung langka,” pinta nenek kepadaku. Aku cemas hendak menjawab apa, mengingat burung-burung itu bernilai ratusan juta rupiah dan tentu saja kakek masih menyayanginya.
#
Sekitar sebulan sebelum kakek sakit, nenek sering mengomel di depan kami yang sedang mendidihkan getah nangka dan getah benda di atas tungku. Nenek minta kami berhenti menangkap burung karena dari beberapa burung yang kami tangkap termasuk burung yang sudah langka di pulau kami.
”Burung kepodang, cendet, dan burung jalak sudah jarang kita lihat di ladang dan di jalan-jalan. Burung-burung itu kini sudah langka. Mestinya Aki tidak menangkapnya,” ucap nenek kesekian kalinya sambil berdiri di depan kakek yang sibuk menuangkan cairan oli bekas ke dalam kuali yang sudah berisi getah.
”Justru karena langka aku menangkapnya, karena harganya semakin mahal, Ni!” jawab kakek di sela-sela batuknya karena diambung asap perapian.
Baca juga : Perempuan Tua dan Kupu-kupu
”Pikiranmu kok terbalik sih, Ki? Kalau langka mestinya jangan ditangkap, biar bisa berkembang biak, biar banyak lagi, biar keturunan kita bisa menikmati bunyinya sepanjang zaman.”
”Lho? Pikiranmu yang kebalik. Kelangkaan ini mestinya kita manfaatkan biar burung yang tinggal sedikit itu hanya jadi milik kita. Kita akan kaya raya nanti, hahaha.” Tawa kakek mengiringi suara retakan kayu bakar yang ia sorong.
”Aki memang bisa meraup uang banyak dari burung-burung itu, tapi alam akan miskin tanpa burung-burung itu. Kekayaan di tengah alam yang miskin tak ada gunanya, Ki.”
”Haha! Sok bijak kau, Ni!”
Aku hanya bisa mendengar perang mulut keduanya sambil terus mengaduk getah dari pelepah daun siwalan.
”Hai, Ki!. Ingat ya! Menangkap burung langka itu membahayakan hidupmu, Ki?”
”Kenapa?”
”Jika itu seekor indukan, kasihan anak-anaknya yang tak bisa makan dan pasti mati. Kamu yang dosa,” suara nenek lebih keras. Jari telunjuknya lurus ke wajah kakek.
Kakek hanya tertawa. Wajah nenek tampak semakin marah.
”Dan jika itu termasuk burung yang dilindungi. Kamu bisa dipenjara, Ki!” nenek berkacak pinggang. Tawa kakek kian nyaring hingga tubuhnya berguncang-guncang dan gigi depannya yang hitam dan tinggal saparuh tampak menyembul. ”Apa pun yang terjadi, pokoknya burung-burung dengan kicau emasnya itu harus kutangkap,” ungkapnya kemudian sambil mengganti pelepah yang kupegang dan ia mengaduk perlahan seraya menghidu asapnya untuk memastikan apakah getah itu sudah jadi lem atau belum.
Pikiranmu kok terbalik sih, Ki? Kalau langka mestinya jangan ditangkap, biar bisa berkembang biak, biar banyak lagi, biar keturunan kita bisa menikmati bunyinya sepanjang zaman.
”Mid! Sebaiknya kamu berhenti ikut kakekmu menangkap burung, biar tidak tertular dosanya,” pesan nenek sebelum lekas bergegas masuk kamar.
”Jangan dengar apa kata nenekmu. Tidak akan terjadi apa-apa. Di lereng hutan Rongkorong aku masih sempat melihat burung jalak dan burung cendet, nanti sore kita ke sana,” bujuk kakek sambil menurunkan kuali dari tungku. Harum getah yang matang bercampur bau oli, menyatu dalam pembauanku-mengingatkanku pada burung-burung nelangsa yang telah terperangkap lekat di ujung ranting; hanya bisa pasrah, berkelepak lemah dengan mata yang redup menyerah.
#
Sore ini, sebagaimana waktu-waktu sebelumnya, saat pergi menggetah burung, kakek pasti berjalan di depan. Memakai sepatu bot yang bagian atasnya sudah robek. Ia memanggul sangkar darurat sebagai tempat hasil buruan. Wajahnya kerap mendongak ke arah dahan dan ranting. Sedang aku berjalan di belakangnya, melangkahi rumput dan semak penuh awas; khawatir ada ular atau duri.
Kakek menyarankanku tidak bicara, kecuali bila penting, itu pun dengan kalimat singkat dan lirih. Lebih ekstrem lagi, kadang kakek membuat kode dari jari untuk memudahkan berkomunikasi tanpa mengeluarkan suara.
Baca juga : Lelaki yang Setiap Hari Memesan Mimpi
Entah kenapa semakin hari aku merasakan hal yang berbeda; burung-burung incaran semakin sulit ditemui. Tingkah kepodang yang biasanya melepas kicau merdunya dari dahan-dahan kesambi sudah tidak ada. Burung cendet yang sering memanja telinga dengan kicau merdunya tak melintas seekor pun. Begitu juga dengan jalak, aku tak bisa melihatnya lagi melompat dan menari sambil berkicau di ranting-ranting akasia.
Sepanjang perjalanan, kami hanya disuguhi kersik angin dan bising mesin penebang kayu. Alam seperti kehilangan suara merdunya. Hingga tiba di sebuah persimpangan, ketika kami duduk melepas lelah di tonggak kayu, kuutarakan segala cemasku pada kakek.
”Benar juga kata nenek ya, Kek. Burung cendet, kepodang, dan jalak sudah jarang kita temui sejak sering ditangkap. Tanpa suara burung-burung itu, alam seperti kehilangan lagu indahnya.”
”Lantas?” kakek memotong dengan intonasi tanya.
”Lebih baik kita tidak menangkap jenis burung itu, Kek!”
”Hai, Mid. Dengar baik-baik ya, kamu bisa hidup dan bisa makan itu karena usaha kakek menjual burung langka. Andai tak begitu, sudah pasti kamu mati. Ayahmu sejak menikah lagi tak pernah membiayai hidupmu.”
Kata-kata kakek membuatku menunduk, umpama puluhan jarum yang ditusukkan berkali-kali ke dalam dada. Tak kutemukan kalimat yang pantas untuk meresponnya. Kami sama-sama diam di antara sela bunyi guguran daun dan kecius angin.
”Ayo! Kita lanjutkan perjalanan. Kau jangan terpengaruh kata-kata nenekmu!”
Aku pun lanjut mengikuti langkah kakek, melibas rimbun semak di jalan setapak yang jarang dilalui orang. Kadang menanjak, kadang menurun, kadang berumput, kadang berbatu hingga kami berhenti di lereng hutan saat ada seekor burung cendet sedang bertengger di carang bambu.
Kakek memintaku membuka tutup wadah getah, kemudian jarinya yang bersarung plastik dicelupkan ke dalam getah, lalu dioles rata ke seluruh ranting yang di ujungnya telah dipasang umpan berupa seekor jangkrik yang diikat kuat pada polesan getah.
Kakek menancapkan ranting itu di area yang mudah dilihat oleh si burung. Kami lalu sembunyi di balik semak-semak. Burung cendet yang seperti tinggal satu-satunya di bumi itu pun mulai mengarahkan pandangannya ke arah jangkrik yang sedang bergerak-gerak. Tak lama kemudian terbang menukik ke arah ranting bergetah dan menyambar jangkrik dengan cepat.
Baca juga : Mereka yang Mati di Malam Pengantin
”Sialan!” pisuh kakek karena burung itu tidak lekat pada ranting dan berhasil lepas membawa jangkrik. Aku sebenarnya bahagia melihat burung itu selamat. Tapi pura-pura jengkel juga demi menarik perhatian kakek. Kami mengejarnya dari pohon ke pohon hingga mendekat ke rumah kami. Anehnya, burung itu terbang ke arah pohon di dekat dapur dan menghilang di pohon itu. Tentu saja hal itu membuat kakek seperti ditantang oleh burung cendet itu. Kakek semakin marah sampai meninjukan tangannya ke pangkal pohon sambil mengancam untuk terus mengincar si burung hingga tertangkap.
Sejak peristiwa itu, hari-hari kakek seperti diliputi dendam pada burung itu. Ia terus mengajakku mencari burung-burung langka, terutama cendet yang sempat mencuri umpan kakek itu, tapi pencarian sia-sia; burung kepodang, cendet, dan jalak sudah tak ada di kampung kami. Lem getah berubah kering karena terlalu lama di penyimpanan. Kakek frustasi dan jatuh sakit. Dalam keadaan sakit parah, ia terus mengancam burung cendet di dekat dapur sambil menyuruhku membuat lem getah.
#
Setelah semua obat dan ramuan tak bisa membuatnya sembuh, akhirnya aku menuruti permintaan nenek untuk melepas burung-burung langka kakek dari sangkarnya satu per satu. Burung-burung itu terbang riang seperti tahanan yang menemukan kebebasannya kembali. Aku pun punya kesimpulan; mungkin kakek kena tulah burung-burung itu.
Hari setelah burung dilepas, pada suatu malam yang gerimis aku menemukan keanehan terjadi pada kakek. Ia tiba-tiba bisa duduk dengan wajah yang berbinar. Lantas ia bercerita kepadaku bahwa sebelumnya—saat dirinya sedang lelap—ia merasakan ada tujuh ekor burung langka terbang memasuki tubuhnya dan bertengger di pangkal jantungnya. Ketika burung-burung itu berkicau, pada saat itulah dirinya merasa kekuatan dirinya kembali pulih. Tentu saja cerita kakek itu sangat tidak masuk akal, tapi aku bahagia karena kakek sudah bisa duduk dengan wajah yang cerah.
”Burung-burung itu sama persis seperti burung kakek yang ada di beranda. O, ya. Apa burung kakek di beranda itu masih baik semua?” tanya kakek membuatku terkejut. Setelah sejenak membisu, lalu kujawab dengan tenang, ”Burung-burung itu sudah pindah ke dalam tubuh kakek,” jawabku tak kalah absurd dengan pernyataan kakek tadi.
Kakek tersenyum dan berterima kasih.
Gaptim, 2022
***
A Warits Rovi lahir di Sumenep, Madura, 20 Juli 1988. Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai, dan artikel dimuat di berbagai media, antara lain Kompas, Tempo, Jawa Pos, Horison, Media Indonesia, Republika, MAJAS, Sindo, dan Femina. Memenangi beberapa lomba karya tulis sastra. Buku cerpennya yang telah terbit Dukun Carok & Tongkat Kayu (Basabasi, 2018). Buku puisinya adalah Kesunyian Melahirkanku sebagai Lelaki (Basabasi, 2020). Sementara buku puisinya yang berjudul Ketika Kesunyian Pecah Jadi Ribuan Kaca Jendela memenangi lomba buku puisi Pekan Literasi Bank Indonesia Purwokerto 2020.