Perempuan Tua dan Kupu-kupu
Anak-anak memiliki kehidupannya sendiri-sendiri, demikian yang selalu terpikir tiap kali dia merenungkan kesendiriannya. Memang, lengannya terlampau pendek bagi anak-anaknya yang tumbuh dewasa dengan cepat.
Perempuan tua itu berbaring seorang diri, tak ada yang dinanti selain maut. Pun terasa sudah cukup baginya hidup seorang diri, tanpa suami, tak ada anak-anak yang menemani.
Suaminya mati karena penyakit lambung sepuluh tahun lampau. Begitu kata dokter di rumah sakit umum. Lalu ketiga anaknya mulai meninggalkan rumah satu per satu, membangun keluarga baru, seolah mereka tak punya waktu lagi untuk bertemu dengan perempuan yang telah melahirkannya dan menyapihnya dari waktu ke waktu.
Anak-anak memiliki kehidupannya sendiri-sendiri, demikian yang selalu terpikir tiap kali dia merenungkan kesendiriannya. Memang, lengannya terlampau pendek bagi anak-anaknya yang tumbuh dewasa dengan cepat.
Sudah tak terbilang kesepian dirasakannya malam-malam atau tengah hari. Ubun-ubun yang selalu hangat karena tak henti termenung-menung, uban-uban yang lekas jadi penuh, kepala yang sering sakit, bergantian dengan perutnya yang selalu nyeri, dan kedua mata yang nyaris tak berkedip saat kenangan demi kenangan lindap. Dan suara-suara, berulang-ulang dia mendengar suara-suara, seolah suara-suara itu berderak dari bawah bantalnya, muncul dari kamar anak-anak, dari dalam lemari yang hanya berisi pakaian mendiang suaminya dan milik anak-anaknya yang ditinggalkan di sana, sebab sudah lusuh dan tidak muat di badan. Sudah berapa kali perempuan tua itu membaui pakaian demi pakaian, menghirup aroma kenangan yang tertinggal di serat-serat kain dalam-dalam, dan tak ada yang berubah selain matanya yang mudah memerah—karena air mata.
***
Minggu sebelumnya, di siang yang tidak begitu menyengat, sengaja perempuan tua itu jalan-jalan di sekitaran. Ingin melihat-lihat pekarangan dan orang-orangnya, katanya. Namun, tidak saja melihat-lihat, dia mampir ke rumah-rumah. Dan dia tidak sekadar mampir ke tetangga kiri dan kanan, melainkan juga bercakap-cakap sambil minum teh suguhan tuan rumah, jika ada.
Di rumah Sulastri, teman mainnya waktu kanak-kanak, tetapi lebih muda tiga tahun darinya, dia mengenang sedikit demi sedikit masa muda. Sulastri juga memang suka bercanda. Jadi mereka kemudian tertawa-tawa seolah lupa usia. Agak lama dia bertamu di rumah Sulastri, sebab dia merasa ada rasa nyaman bila berada dekat dengan temannya itu. Suatu keakraban yang tidak luntur.
Lalu dia bertolak ke rumah Rasuli yang biasa menerima pesanan nisan. Pada Rasuli dia memesan nisan untuk dirinya sendiri. Dia sengaja membawa KTP dan menyodorkannya pada Rasuli untuk disimpan, dan tak lupa dia selipkan beberapa lembar rupiah sebagai ongkos pembuatan nisan. ”Tulis saja namaku persis seperti itu, juga tanggal lahir dan tahunnya,” katanya.
”Yang benar saja,” kata Rasuli seakan tak percaya.
Sementara di rumah Lismina si perias mayat, dia berseloroh tentang dirinya yang tidak akan lama lagi dirias oleh tangannya.
”Bisakah nanti aku tampak lebih muda dari usiaku, Lis?” katanya seraya ketawa diselingi batuk-batuk. Lismina tidak mudah untuk menjawab pertanyaan itu—atau sesungguhnya dia tidak tahu hendak berkata apa.
Akhirnya dia berujar, ”Jadi Emak ingin dirias juga?”
”Ah, Lis, seingatku aku hanya dirias saat jadi pengantin dulu. Aku sangat cantik kata suamiku. Itu membuatku bahagia. Mungkin aku bisa kembali cantik waktu bertemu dengannya lagi di alam sana karena kau rias.” Kini dia tidak tertawa. Dan Lismina mau tak mau terpana atas jawaban itu. Namun, dia lekas-lekas tersenyum di hadapan perempuan itu.
”Apa benar Emak mau mati?” pikir Lismina kemudian seraya menggenggam uang pemberian perempuan tua itu.
Di luar pintu pagar rumah Lismina, dia hendak meneruskan langkahnya ke rumah pak kiai. Tapi dia urungkan setelah dipikir-pikir kembali. Dia pun melangkah pulang.
***
Sepulangnya dari jalan-jalan itu, dia merasa dingin sekujur badan. Padahal malam juga belum tiba, itu sebuah sore yang mendung. Perempuan tua naik ke lincak di ruang tengah dan berbaring.
Beberapa saat kemudian Rumina datang membawa sepiring nasi. Meski tidak sering, perempuan beranak dua yang rumahnya paling dekat dengan perempuan tua itu, biasa datang ke rumahnya membawa apa saja yang bisa dibawa, semisal kue-kue atau dua atau tiga kepal roti. Diketuk-ketuk pintu rumah perempuan tua itu, dipanggilnya berulang-ulang, sampai terdengar suara dari dalam, suara perempuan tua yang lemah itu. ”Kau itu Rumina. Teruslah masuk.”
Rumina masuk dan betapa kagetnya dia manakala di lincak terbaring ringkih perempuan tua itu berselimut kain sarung.
”Kau sakit, Mak?” ucap Rumina.
Baca juga: Wanita Bertato Ular
”Tak tahulah, tiba-tiba dingin sekujur badan,” ucapnya. Dia hendak bangkit, tapi segera dicegah Rumina. ”Sempat kuingin menyalakan kayu di tungku, lalu duduk di depannya. Tapi tubuhku serasa lemah sekali, Rum, untuk sekadar turun dari lincak lagi.”
”Ah, Mak, begini benar. Kuambilkan minyak gosok dulu ya, Mak. Kau tetaplah berbaring.”
Rumina meletakkan sepiring nasi itu di lincak tempat Rumina dan suaminya dan anak-anaknya dulu makan bersama, ditutupi mangkok beling, supaya tidak dihampiri cicak atau kecoak.
***
Rumina tidak hanya kembali membawa minyak gosok, melainkan beserta seorang perawat setempat. Tanpa mengetuk pintu mereka masuk ke dalam rumah. Setelah si perawat menyapa perempuan tua itu, yang dibalas dengan anggukan lemah, dia langsung mengeluarkan tensimeter dari dalam tas gendongnya. Lantas dimulailah pemeriksaan, dan itu tidak membutuhkan waktu lama.
Usai itu dia berkata, ”Tidak masalah, normal-normal saja. Ibu hanya perlu mengosongkan pikiran. Cukup itu saja.” Perempuan tua itu hanya mengangguk.
Selagi duduk di lincak, si perawat mengemasi peralatan medisnya ke dalam tas kemudian, dengan cekatan dia memilah pil-pil yang bertumpuk-tumpuk dalam tasnya itu untuk pasien yang tengah berbaring di hadapannya.
”Nah,” katanya, ”berikan pil-pil ini. Tiga kali sehari perbutir sesudah makan.” Dia menyodorkan bungkusan kecil berisi pil pada Rumina.
Ketika perawat itu berdiri hendak pulang, perempuan tua membalikkan punggungnya pelan-pelan. Si perawat sudah akan pamit, dan menggendong tasnya, tetapi perempuan tua itu lebih dulu berkata, ”Aku merasa kalau aku akan segera mati, Rum. Tak apa. Aku memang telah menantikannya sejak dulu-dulu. Aku tidak akan merepotkan siapa-siapa lagi.” Perempuan itu berkata tanpa memandang keduanya. Dia meringkuk memejamkan matanya memunggungi Rumina dan perawat itu. Setitik air jatuh dari sudut matanya tanpa siapa pun tahu.
Rumina tercekat, juga perawat itu. Lalu perawat itu pamit dan Rumina mengantarnya sampai pintu.
Rumina memutuskan tinggal beberapa saat dan mulai menuangkan minyak gosok ke telapak tangannya, dia memijat leher dan punggung perempuan itu. Besoknya Rumina datang lagi, juga tetangga-tetangganya yang lain demi menjenguk dirinya. Empat hari kemudian, dia telah terlihat kembali di halaman, dan di belakang rumahnya. Orang-orang menyangka kalau perempuan tua itu sudah pulih dari sakitnya.
***
Sungguh tak ada lagi yang perempuan tua itu tunggu, selain maut, maut yang juga menjumpai ibu.
Hari itu masih sebuah sore yang sama seperti minggu sebelumnya, agak mendung, dan Rumina beserta yang lain-lain tak pernah menduga kalau perempuan tua itu akan bertemu ajalnya.
Di luar ayam-ayam miliknya keriapan di halaman, burung-burung kecil berwarna hitam terbang tinggi di angkasa seolah hendak menggapai langit dengan sayap-sayapnya yang kecil itu. Lalu seekor kupu-kupu terbang rendah; dari tanah lapang ke halaman; mengepak dan menuju teras; menyelinap masuk melalui lubang-lubang angin; berkitar sebentar di atas langit-langit lalu hinggap di tepi lincak perempuan tua itu berbaring. Perempuan tua itu tahu seekor kupu-kupu ada bersamanya, dia memperhatikan sejak mula kedatangannya.
Begitu saja perempuan tua itu membayangkan dirinya menyusut jadi kecil, alangkah kecil, kemudian terayun-ayun di lengan seorang perempuan yang dipanggilnya ibu—melangkah bergandengan di talon belakang rumah, awan-awan putih bagai kapuk diterbang angin, cahaya matahari sore tampak begitu lembut menerpa dirinya, dan betapa kupu-kupu berwarna kuning terbang di atas kepalanya. Dia mematung memandangi kupu-kupu itu. Ibunya juga berhenti karena dirinya yang tersihir kepakan sayap kupu-kupu itu—yang entah ke mana pergi akhirnya.
Lalu ibunya menuntunnya ke bawah pohon srikaya yang cukup lebat buahnya—ada banyak pohon srikaya tumbuh di tanah itu. Pohon itu tidak begitu tinggi, cabang-cabangnya memuat ranting-ranting yang mencuat ke mana-mana, dan daun-daunnya hijau, buah-buahnya yang menempel di batang-batang pohon seperti dirinya yang kecil, menelusup ke lengan-lengan ibu. Ibunya melihat ke atas mencari-cari sela daun-daun yang menyungkup itu. Lantas tangannya terjulur begitu panjang memetik buah srikaya yang matang di pohonnya, ibu mengenali dengan baik mana buah yang matang dan yang tidak, dan memberikannya padanya. Dia meraih buah srikaya itu dengan sepasang mata ceria.
Perempuan tua itu tidak pernah menyangka, kenangan perihal dirinya dengan ibunya di masa silam kembali ke dalam ingatannya begitu mudah ketika dirinya terbaring di ambang kematian. Dan dia begitu bahagia karena kenangan itu, di belakang rumah, berdua dengan ibunya melihat kejadian demi kejadian, dan keajaiban di sepasang sayap kupu-kupu yang baginya begitu indah. Pada yang demikian, betapa dia merasa bahwa ingatan itu datang di waktu yang sangat tepat.
”Seperti khayalan,” bisiknya kemudian ketika dia mendapati kupu-kupu itu makin dekat ke sisi-sinya.
Baca juga: Lelaki yang Setiap Hari Memesan Mimpi
Namun itu bukan khayalan, atau mimpi. Kupu-kupu itu jelas ada, dan seperti bayi, dia merangkak menuju padanya. Ah, kedua telapak tangan perempuan itu membuka bagai kelopak-kelopak mawar merekah, dan kupu-kupu itu akhirnya berdiam di sana—suatu pemandangan ganjil seandainya seseorang memperhatikannya.
Tapi, perempuan tua itu sekarat, dan tak ada siapa-siapa, hanya seekor kupu-kupu di telapak tangannya.
***
”Sudah berapa lama dia terbujur tanpa nyawa?” pagi harinya seorang kiai setempat yang biasa ditunjuk manyampaikan belasungkawa dan sedikit khotbah di atas kuburan bertanya-tanya pada diri sendiri di rumah duka, sementara beberapa orang juga terlihat di sana, menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan bagi jenazah perempuan tua itu.
Dan perempuan tua itu diam dalam kebisuan yang paling bisu—di telapak tangan kanannya yang terbuka kupu-kupu itu juga mati, seolah keduanya ditakdirkan mati bersama. Jasadnya telah kaku dan semut-semut hitam memanjang di tubuhnya, sebelum dibersihkan. Binatang itu lebih dulu tahu kalau perempuan tua itu telah tak bernyawa. Semut-semut mampu mencium aroma orang mati begitu cepat.
Jelas tak ada yang tahu bagaimana dia meregang nyawa, juga tak sesiapa pun, lebih-lebih ketiga anaknya, mendengar bisiknya sebelum napasnya berhenti. ”Lekaslah, bawalah aku selekasnya,” bisiknya begitu lirih—entah kepada siapa dia berbisik—selirih angin berembus dari lubang-lubang angin di atas jendela, namun Tuhan tahu segalanya.
Warung-Jakarta, 2022.
***
Acik Giliraja. Lahir dan besar di Sumenep. Menyukai puisi dan cerita pendek. Saat ini tinggal di Jakarta.