Lelaki yang Setiap Hari Memesan Mimpi
Beberapa tahun setelah istrinya pergi, Thole, sempat meminta sepasang sepatu boot. Mata polos bundarnya mengiba kepada sang ayah. Ia ingin sepatu boot warna hitam berkilat-kilat seperti yang ia lihat di film koboi.
Lelaki itu tinggal bersama si semata wayang, Thole. Rumahnya hanya sebentuk gubug sederhana, berdinding papan yang lapuk dimakan usia dan musim. Lantainya serupa semen kasar yang sudah pula bolong di sana-sini. Mereka hanya berteman perabot usang, peninggalan zaman sejak hidup bersama istri terkasih. Sang istri sendiri sudah berpulang sejak belasan tahun lalu, sebab sakit yang tak tertangani dengan semestinya. Masalahnya klasik, yaitu masalah yang menimpa kaum proletar: masalah biaya. Menggantungkan harapan atau sekadar bantuan kepada pemerintah memang riskan, rentan sakit hati.
Beberapa tahun setelah istrinya pergi, Thole, sempat meminta sepasang sepatu boot. Mata polos bundarnya mengiba kepada sang ayah. Ia ingin sepatu boot warna hitam berkilat-kilat seperti yang ia lihat di film koboi.
”Sungguh gagah. Keren, Pak. Nanti sepatu itu bisa Thole gunakan untuk main ke sungai, ke sawah, ke pasar nemenin bapak. Kemana saja.” Bintang di mata bocah itu gemerlapan. Lelaki itu tak kuasa meredupkannya. Ia ingat permohonan delapan belas tahun menanti kehadiran Thole di rahim istrinya. Sebuah nazar yang terucap, bahwa ia akan melakukan apapun untuk kebahagiaan keluarganya. Apapun dan bagaimanapun caranya.
Ia menghela napas. Tersenyum teduh. Dipegangnya bahu sang anak hingga tatapan mereka sejajar.
”Iya, Le. Doakan bapakmu ini lancar rezeki ya.” Sungguh itu bukan dalam rangka memberi harapan palsu. Namun, sebuah kesungguhan sebab terbentur pada kenyataan, jangankan membeli sepatu boot, makan sehari-hari saja harus sangat berhemat.
”Siap!” Thole tersenyum lebar. Setelah mengucap terima kasih, ia berlari kencang menyongsong teman-temannya dengan riang. Lelaki itu menangkap kata ‘besok’ yang diucapkan Thole di hadapan teman-temannya. Padahal besok itu multitafsir. Bisa jadi besok lusa, besok minggu depan, besok bulan depan, besok lebaran, besok tahun depan, se-tersedianya uang di kantong. Atau ada keajaiban langit yang membuat sepatu itu mendadak teronggok manis di atas balai-balai bambu depan rumah.
Ah, hati lelaki itu mencelos, pedih dan sakit. Tapi pantang baginya putus asa. Oleh karena itu, lelaki yang ubannya sudah hampir merata di sekujur kepala itu, gegas berkemas. Keriput yang semakin menyebar di sudut wajah, pun punggung tangan yang kentara bertimbulan urat-uratnya, serta aku menjadi saksi kerja kerasnya.
Tak ada hal yang berarti bagi lelaki itu—setelah si Thole—kecuali kotak kayu tua yang dibawanya kemana-mana untuk menyambung hidup. Isinya hanya serupa gulungan benang nilon warna gelap—coklat, hitam, biru tua—dalam berbagai ukuran, lalu jarum sol dengan gagang kayu, meteran, pensil, dan gunting. Tangannya cekatan menandai, melubangi, dan menjahit sol sepatu pelanggannya. Saat bekerja, tubuh tuanya bertumpu pada sebuah bangku kecil di sudut pasar, di depan etalase toko kelontong besar milik orang Tionghoa. Ia membayar kepada Sang Juragan lapak petak seluas 1 x 2 meter persegi itu per 3 bulan, dengan dicicil. Tidak enaknya juga ada. Sumpah serapah pembeli tak sabaran yang menganggapnya menghalangi jalan, ia telan saban hari. Namun, tempat itu jauh lebih aman dibandingkan lokasi ilegal yang disatroni satpol PP sewaktu-waktu. Oleh karena itu bibir pecah-pecah lelaki itu lebih sering melengkungkan senyum daripada mengerecutkannya. Situasi yang berisik, semrawut, dengan hawa pengap yang ia geluti saban hari, lindap sudah. Lindap oleh pikiran-pikiran positif, manis, dan menyenangkan akan Thole yang sehat dan cerdas, gubug kecil tempat bernaung, tetangga yang peduli, pekerjaan alih-alih menganggur, dan mimpi indah setiap malam. Tak banyak yang ia pinta dari hidup fana ini.
Dan aku juga bangga sebab selalu diperlakukan lelaki itu dengan penuh perhargaan. Kami sudah bersama selama puluhan tahun. Ia selalu mengucapkan terima kasih padaku menjelang tidur. Setelah itu ia akan melirihkan doa sambil menepuk-nepuk pantat Thole. Kemudian pelan mengucap serangkaian kata-kata.
Oh, ia memesan mimpi lagi. Sama seperti malam-malam sebelumnya, setelah belahan jiwanya berpulang. Lalu dari sudut ini aku memperhatikannya lebih teliti. Ia selalu tersenyum dalam tidurnya. Tidur yang selalu sempurna, indah, dan di bawah penjagaan malaikat. Benar ucapan lelaki itu pada monolognya kapan hari bahwa rezeki itu tak melulu soal apa yang dipunyai tapi apa yang dinikmati. Toh, lelaki itu hanya tidur di atas kasur busa lepek beraroma apak. Tapi kenikmatan tidur dengan mimpi indah setiap malam, tak semua manusia mampu merasakan. Orang kaya di rumah gedong yang kamarnya mewah, kasur dan bantalnya empuk, nyaman, dan wangi, bisa jadi diserang insomnia tiap malam.
Esok paginya, lelaki itu bangun pagi-pagi sekali. Menjerang air, membuatkan Thole susu murahan, menanak nasi, dan memetik daun singkong dan cabai belakang rumah untuk sayur dan sambal. Mereka makan dengan penuh syukur.
”Nikmatnya makan ini rezeki, Le. Orang kaya bisa makan enak di tempat mewah, tapi lagi sakit gigi sama sariawan. Ndak jadi nikmat, tho?”
Thole mengangguk-angguk sembari tetap lahap mengunyah nasi.
Pagi yang dingin, bapak dan anak itu sudah keluar gubuk. Thole menuju sekolahnya sementara lelaki itu menuju pasar. Thole memakai seragam merah putih kusam yang beberapa kancingnya sudah lepas, sementara bapaknya mengenakan kaos usang dan celana yang bertambal di beberapa bagian. Thole menenteng tas selempang kumal, sementara bapaknya mengangkut karung berisi sepatu dan sandal pelanggan yang hari itu harus selesai disol. Mereka berpisah di pertigaan jalan setelah sebelumnya saling berpelukan dan melambai tangan.
Lelaki itu terus melangkah sembari menyibukkan diri memikirkan sesuatu yang indah. Sesuatu yang membahagiakan dan membuatnya punya segudang rasa syukur, atas apapun takdir yang menyapa hidupnya. Rasa ridha yang membuatnya tak sempat berkeluh kesah. Kewajiban, harus lebih banyak dari waktu yang tersedia.
Sebentar lagi langkah kakinya tiba di pasar, ketika tiba-tiba whuttt! Tangan seseorang gesit tapi kasar, menarik tas pinggang lelaki itu hingga lepas. Pemuda itu kabur segera, disusul komplotannya yang berjumlah sekitar 5 orang. Ia membetulkan posisiku, lalu menatap pemuda yang kabur itu dengan nanar. Percuma berteriak, sebab preman itu sudah merajai pasar. Lelaki itu terduduk pasrah dengan air mata menggenang.
Sejumlah uang di dompet itu, sudah terkumpul untuk membeli sepatu boot Thole, meski yang harganya termurah. Uang yang dikumpulkannya dengan susah payah selama setahun lebih, kini raib tanpa bekas. Maksud hati memberi kejutan untuk Thole sepulang kerja, nyatanya ia sendiri yang terkejut. Sungguh tidak sinkron dengan mimpi indahnya semalam.
Lelaki itu memupuk prasangka baik pada setiap kejadian buruk. Ia bekerja seperti biasa meski rasa sesak belum berhasil enyah sepenuhnya. Ia pulang di pengujung sore dengan langkah gontai. Kepala Thole menyembul, keriangannya muncul.
”Eh, bapak pulang.”
”Le, maafkan. Uang bapak direbut preman. Sepatu bo….”
”Thole sudah tidak ingin lagi kok. Beneran!” bocah itu meyakinkan bapaknya.
Lelaki itu mengangguk, mengacak rambut Thole, lalu masuk ke dalam gubuk. Menjelang terlelap, ia melakukan prosedur seperti biasa. Mengucap terima kasih padaku dan menaruhku di nakas kayu berusia renta. Ia memesan mimpi lagi, kali ini sambil terlelap dengan air mata yang meleleh.
Kali ini aku tak sanggup menebak, gerangan apa mimpi yang menyambanginya semalam.
Keesokan paginya. Aktivitasnya seperti yang sudah-sudah. Diraihnya aku, dilapnya sampai bersih, kesat, dan bening. Aku sudah bertengger manis di atas pangkal hidungnya. Senyumnya merekah seakan hari ini adalah hari paling istimewa yang dinanti-nantikan sejak lama. Hari ini pula, ia berpesan pada Thole agar selalu awas menjaga diri sebab banyak manusia yang aslinya tidak sama dengan apa yang ditampakkannya. Serupa serigala berbulu domba, yang akan mengecoh jika mangsanya lengah. Thole mengangguk-angguk tapi kupastikan ia belum memahami sepenuhnya wejangan bapaknya.
Lelaki itu mengangguk, mengacak rambut Thole, lalu masuk ke dalam gubuk. Menjelang terlelap, ia melakukan prosedur seperti biasa. Mengucap terima kasih padaku dan menaruhku di nakas kayu berusia renta. Ia memesan mimpi lagi, kali ini sambil terlelap dengan air mata yang meleleh.
Warna biru cerah menggores langit. Aura semangat memancar dimana-mana. Kuli-kuli panggul sanggup menjulang beban berat di pundak, ibu-ibu masih sibuk melayani pembeli sembari menyebutkan harga-harga—multitasking, toko-toko berjubel, pengamen terus menyanyi tak peduli suaranya sumbang, bahkan kucing-kucing pasar sudah berjaya kekenyangan.
Lelaki itu tengah bekerja, saat tanpa angin tanpa hujan, segerombol orang merangsek masuk ke dalam pasar. Satu orang berwajah murka, menuding-nuding toko kelontong milik juragan Tionghoa yang memang paling besar dan lengkap. Dalam waktu beberapa detik, orang-orang yang kalap itu menyerbu toko. Di antara mereka ada yang membawa pentungan hansip, tongkat pramuka, bahkan celurit.
Mereka merangsek tanpa permisi ke dalam toko, entah apa motifnya. Para pembeli dan beberapa karyawan sang Juragan, kocar-kacir. Malang tak dapat ditolak, lelaki tukang sol itu terkena pukulan pentungan saat kerusuhan berlangsung. Darah mengalir di pelipisnya. Aku terjatuh ketika ia berlari menyelamatkan diri. Akibatnya, ia berjalan terseok, menubruk-nubruk. Tangannya berpegangan pada apa yang bisa dipegang. Ia sempat menatap nanar orang-orang, sebelum semuanya berganti pekat.
Nasibku setali tiga uang dengan pemilikku. Aku jatuh, remuk terinjak kaki-kaki yang berlarian dengan gusar. Hanya bingkaiku yang masih utuh, namun agak bengkok tangkainya. Rasanya ingin berteriak sekeras kubisa, namun tak sanggup. Aku teronggok menyedihkan persis di bawah meja mungil tempat lelaki itu menyimpan sepatu-sepatu milik pelanggannya.
Sepekan berlalu sejak kejadian nahas itu. Toko yang sempat babak belur itu tutup. Sang Juragan berjalan sendirian di tengah malam buta. Ia hendak memeriksa dan seperti menyelidiki sesuatu. Ia berjongkok, lalu menemukanku. Diambilnya aku yang sekarat, lalu dimasukkannya ke dalam kantong jaketnya. Entah drama apalagi yang mungkin kuhadapi. Kemungkinan besar aku akan berpisah dari lelaki tukang sol itu dan berganti kepemilikan. Jika hal itu benar, hatiku remuk serupa fisikku.
Namun, dugaanku belum terbukti. Esok harinya Sang Juragan membawaku ke sebuah toko berjendela kaca besar-besar dan etalase kaca yang rapi. Aku tak mendengar perbincangan orang-orang itu sebab asyik melihat teman-temanku berjajar di sana. Sang Juragan kemudian menyerahkanku kepada seseorang yang tampak ahli dan pintar. Tubuhku yang rusak, diperbaiki. Dipasangkannya lensa di kedua lubang tubuhku yang menganga. Sungguh, jika lelaki sol sepatu bertemu denganku, ia pasti tak mengenaliku. Dan aku sungguh-sungguh ingin kembali padanya, lelaki yang memperlakukanku serupa raja.
Setelah transaksi selesai, aku dibawanya kembali ke pasar. Diletakkannya tubuhku yang kini sudah terlindung dalam wadah, ke tempat semula ia menemukanku. ”Maafkan aku. Semoga aku tak salah mengira-ira lensa kacamatamu,” ucap Sang Juragan lirih. Ada rasa sesal dan haru yang tampak dari sorot mata tuanya.
Ketika hendak beranjak meninggalkan lapak mungil itu, Sang Juragan menemukan gulungan kertas dengan tulisan tangan yang berantakan. Dengan sedikit memicing, ia membaca di bagian ujung kertas.
Daftar pesanan mimpi.Semoga bertemu mendiang istri (v)Semoga Thole bisa sekolah (v)Semoga bisa makan esok hari (v)Semoga preman lekas tobat (v)Sepatu boot Thole Lensa kacamata baru
Sang Juragan tertegun. Ada dua hal yang belum bertanda ceklis. Ia lantas menyadari bahwa orang kecil seperti tukang sol itu begitu lugu dan sederhana. Bahkan ia tak meminta hal yang spektakuler dalam daftar pesanan mimpinya. Lelaki itu bahagia dengan hidupnya, menerima setiap jengkal takdirnya meski bertubi ujian menerpa.
Sang Juragan terpaku, lalu terkulai dengan rasa bersalah yang meretas. Orang-orang kecil selalu menjadi korban kesewenang-wenangan, padahal sedikitpun tidak menahu apa-apa. Ia merasa menjadi manusia kikir yang tega menarik tarif seorang bapak yang tengah berjuang menyambung hidup keluarganya. Dan kini, entah di mana lelaki sol sepatu itu berada. Entah masih hidup atau tidak.
Baca juga: Pulang
Sang Juragan menggenggam gulungan kertas itu, erat. Ia menuntun langkahnya menuju sebuah toko sepatu paling bagus di kota itu. Ia mengira-ira ukuran sepatu boot Thole, lalu membeli yang terbaik dan tentu saja termahal. Ada yang menggedor-gedor hatinya. Membangunkan paksa nurani yang telah lama mati suri.
”Dua juta, Pak,” ucap pramuniaga toko dengan senyum mengembang.
Sang Juragan menggesek kartunya, lalu menenteng tas kemasan eksklusif itu meninggalkan toko. Ia juga membeli aneka kue dan buah impor. Ia melupakan mobil kinclongnya, lalu memilih berjalan melewati jalan sempit, gang demi gang kumuh dan becek, bertanya kesana kemari, hingga berhasil menemukan gubuk kayu lelaki sol sepatu. Sayang, yang menyambutnya adalah wajah murung anak lelaki tujuh tahunan, ditemani beberapa tetangga.
”Bapak sudah pergi kemarin pagi.”***
Arinda Sari, penulis lepas,blogger. Tinggal di Semarang.