Pulang
Mungkin karena rumah tak menjanjikan apa pun untuknya. Rumah asalnya tak seperti rumah teman-temannya yang selalu siap menyambut dan melepasnya dengan kehangatan.
Jalan menuju rumah selalu terasa panjang. Seperti tak pernah ada setitik pun rindu yang tumbuh di benaknya. Mungkin karena rumah tak menjanjikan apa pun untuknya. Rumah asalnya tak seperti rumah teman-temannya yang selalu siap menyambut dan melepasnya dengan kehangatan. Dingin rumah keluarganya senantiasa menikam sampai ke tulang.
Namun yang sedingin itu pun masih mendingan dibandingkan suasana panasnya yang tak tertahankan jika sedang pecah pertengkaran. Saat Apin kecil, pertengkaran ayah dan ibunya telah menjadi makanan sehari-hari. Seharusnya, Apin terbiasa. Akan tetapi, mereka yang dengan gampangnya bilang begitu pasti tak pernah tumbuh di tengah pekaknya telinga oleh makian dan suara-suara pukulan atau gelas dan piring yang beterbangan ke segala arah.
Seandainya bisa, Apin juga ingin menjadi terbiasa sehingga pertengkaran semengerikan itu tak lagi terdengar seperti pertengkaran dua orang dewasa yang tentunya pernah berulang kali bercinta karena kalau tidak begitu tak mungkin ia dan kakak-kakaknya lahir. Sayangnya, pertengkaran kedua orangtua memang tidak pernah sama dengan hal-hal lain yang ada di dunia ini.
Apin ketakutan di setiap nada suara yang meninggi. Ia bisa menghabiskan malam dengan bergelung di kolong ranjang, merapat pada dinding. Seakan-akan bila dinding mampu memeluknya, ia bakal merasa sedikit lebih baik. Setiap pori di dinding itu barangkali akan menyerap rasa takutnya sampai habis dan besok pagi ia dapat keluar dari sana dengan wajah gembira selayaknya anak-anak.
Sayangnya, itu tidak pernah terjadi. Panasnya suasana rumah di malam pertengkaran selalu berlanjut dengan kebekuan pada keesokannya. Apin membuka pintu kamarnya dengan sangat hati-hati. Jantungnya berdenyut kencang sampai terasa menyakitkan, khawatir sedikit saja suara yang ditimbulkannya akan kembali meledakkan pertengkaran kedua orang tuanya.
Namun, selepas usaha sekeras itu, tak ada apa-apa di ruang tengah yang menyambutnya. Apin bukan tidak tahu ke mana orang-orang. Ayahnya pasti telah pergi pagi sekali atau bahkan di tengah malam ketika Apin akhirnya menyerah pada tangan-tangan lelah yang membekapnya di kolong ranjang. Ibunya mungkin masih di kamar, tidak menangis tetapi juga tidak akan mau bicara baik pada Apin atau siapa pun. Persis seperti petapa.
Ketiga kakak Apin jelas lebih besar darinya. Kakak yang paling dekat saja umurnya terpaut empat tahun dari Apin. Kakak sulung sepuluh tahun lebih tua dan kakak tengah enam tahun selisihnya dari Apin. Di pagi yang sebeku ini, Apin tidak perlu mencari mereka. Tak akan ketemu bahkan bila Apin mampu memutar kepalanya sampai tampak olehnya tengkuk, punggung, dan pantatnya. Barangkali mereka bersembunyi di sana, kan?
Ketiganya dengan curang telah menyelinap ke luar begitu air dalam kuali hampir mendidih. Si sulung sudah punya pacar, gadis desa sebelah. Setelah berjalan-jalan bersamanya sampai mau tak mau memulangkannya atau dia bakal disembur orang tua si gadis, abangnya itu pasti tidur di sembarang tempat. Bisa di gubuk tengah sawah, musala, pos ronda, bahkan mungkin tengah jalan asal tak ada kendaraan lewat.
Kakak kedua perempuan. Dia punya sekelompok teman kental yang bakal siap memberinya tumpangan tidur secara bergantian. Jumlah temannya enam orang dan di sekolah mereka semua ditakuti. Jadi setiap pertengkaran meledak di rumah, kakak kedua Apin baru akan pulang tepat seminggu kemudian. Tanpa raut bersalah, malah siap pergi lagi jika dari depan pintu saja telah terdengar lagi teriakan-teriakan dan hantaman-hantaman pada dinding atau meja. Tak perlu pamit, toh tak akan ada yang mencarinya juga.
Kakak ketiga sebenarnya kasihan. Seperti Apin, dia pemalu dan lebih senang sendirian. Akan tetapi ketika rumah tak mampu menjadi tempat persembunyian yang nyaman untuknya, dengan terpaksa dia jadi harus berkelana tak tentu arah di dunia yang kurang ramah pada orang-orang sepertinya. Dia nyaris tak punya teman. Segelintir anak sebaya yang disebutnya teman pun seperti tidak menganggapnya benar-benar ada.
Oleh karena itu, keberaniannya untuk ikut menyelinap ke luar di malam-malam penuh pertengkaran adalah tindakan yang sangat berani. Dari semua kakaknya, hanya dialah yang Apin tak tahu pasti ke mana ia pergi dan menghabiskan malam. Biasanya, dia pulang lebih cepat dari yang lain.
Sama seperti ketika dia pergi, Apin juga tak tahu kapan dia kembali. Tahu-tahu saja Apin akan melihatnya ada di dapur atau halaman belakang, mengorek-ngorek tanah dengan patahan ranting untuk membangunkan cacing-cacing. Apakah kakaknya sedang mencari lubang persembunyian yang tepat untuk dirinya sendiri?
Tidak ada yang sempat atau ingin mengajak Apin menyelinap. Mungkin karena Apin dianggap terlalu kecil. Jika Apin ikut kakak sulungnya, sudah pasti kakak sulungnya jadi tak leluasa pacaran. Bila dia mengekor kakak perempuannya, sekelompok anak perempuan kadang bisa sangat kejam pada satu-satunya bocah lelaki di antara mereka. Apin tak mau menjadi bubur basi seminggu kemudian.
Sedang untuk berkata pada kakaknya yang jago membangunkan cacing, “Besok-besok ajak aku pergi bersamamu,” Apin tak yakin dia ingin pergi bersamanya. Bukan apa-apa, tapi dua orang berkarakter serupa tak akan cocok bersama-sama dalam waktu lama. Seumpama kakaknya pergi ke utara, Apin akan pergi ke selatan. Demikian pula sebaliknya. Sudah seharusnya seperti itu.
Sekarang Apin bukan lagi bocah laki-laki. Dia sudah menjadi pemuda dua puluh tiga tahun yang terus berusaha membuat lengan, dada, dan perutnya berotot. Kedua orang tuanya yang selalu saling lempar serapah juga telah tiada. Ayah Apin menjadi yang pertama pergi. Ayahnya cukup kaya tetapi entah mengapa ia diteriaki maling pada suatu hari. Mungkin karena ia meniru ulah ketiga anaknya yang suka menyelinap meninggalkan rumah.
Masalahnya, ayahnya menyelinap meninggalkan rumahnya sendiri untuk ganti menyelinap ke rumah seorang gadis. Usianya tak sampai satu setengah kali dari umur anak sulungnya sendiri dan barangkali ini bukan kali pertama terjadi. Apin melihat ayahnya pulang tidak dengan berjalan kaki atau mengendarai sepeda motornya, melainkan diangkat kedua tangan dan kakinya seperti seekor babi buruan.
Wajahnya bengkak-bengkak dan ayahnya seperti muntah sirup merah yang iklannya selalu menyemarakkan televisi menjelang Ramadan. Napasnya tersengal-sengal. Kedua matanya sebesar bohlam putus filamen. Ayahnya tidak pernah membuka mata lagi sejak saat itu. Dia bertahan tak lebih dari setengah hari setelah dibaringkan di teras. Ayahnya tetap di sana sampai ibunya yang mengurung diri di kamar dan menolak bicara pada siapa pun terpaksa keluar.
Tentu setelah Apin mengetuk-ngetuk pintu kamar yang tak kunjung terbuka itu dan berkata, ”Bu, sepertinya Ayah sudah mati.”
Pintu kamar itu terbuka tiga jam kemudian, diiringi perintah ibunya, ”Sana ke warung, beli sabun dan bilang ayahmu harus segera dikuburkan atau baunya akan memenuhi hidung orang sekampung.”
Apin menerima uang yang diulurkan ibunya dan segera berlari sampai ia lupa mengenakan sandal. Tentu saja, sampai di warung ia hanya membeli sabun batang dan berkata, ”Sepertinya ayahku mati. Kami harus segera menguburkannya.”
Meski ingin, Apin tak sampai hati menambahkan, ” …. khawatir keburu bau bangkai.”
Tiga tahun lalu, ibunya akhirnya juga meninggal. Jelas belum terlalu tua, tetapi sepertinya ibunya juga sudah bosan hidup. Banyak orang mengira ia akan segera menikah lagi setelah ayah Apin meninggal dunia. Namun ternyata itu tak pernah terjadi.
Ibunya menghabiskan setiap waktu yang dimilikinya bersama Apin dan anak-anaknya yang lain dengan berkata, ”Ayah kalian bukan lelaki yang baik.”
Lagu lama itu terus diputar sampai hari ketika Apin pulang dan ibunya tak lagi dapat menyanyikannya. Bibirnya sudah miring ke kiri, suaranya nyaris tak bisa keluar, dan ketiga kakak Apin bergantian mengurusnya. Seminggu kemudian, ibunya berpulang.
Terhitung semenjak Apin datang sampai tenda duka di halaman dibongkar, ketiga kakaknya gonta-ganti berkata, ”Kenapa kau baru pulang sekarang?”
Oh, kalau saja ia memiliki alasan untuk pulang.
Baca juga: Beruntungnya Pak Joyo
Tiga tahun telah berlalu. Seharusnya sekarang rumah itu tak lagi sedingin maupun sepanas dulu ketika pertengkaran antara kedua orang tuanya meledak. Akan tetapi nyatanya sama saja. Sekarang malah ketiga kakaknya berikut pasangan masing-masing yang berdebat panjang. Enam orang totalnya. Sungguh ngeri. Dari pagar saja, telinga Apin telah berdenging.
”Aku yang memandikannya dua kali dalam sehari!”
”Aku memasak pagi, siang, dan malam untuknya!”
”Cuma aku yang mau mengantarnya ke rumah sakit!”
”Aku mengorek sisa kotoran di duburnya sebelum dikuburkan!”
”Jangan lupa, aku yang menanggung semua ongkos pemakamannya!”
”Aku paling tua di antara kalian, jadi aku tahu yang terbaik!”
”Di mana-mana jatah warisan anak laki-laki lebih banyak daripada anak perempuan!”
”Setan duit kau! Dari rahim siapa kau lahir kalau bukan rahim perempuan?”Apin urung membuka pagar dan memilih berjongkok di bawah pohon palem. Pujaan hatinya berjanji akan memberikan jawaban sekembalinya ia ke rantau. Semula rencananya tiga atau empat hari lagi, setelah ia dan ketiga kakaknya menandatangani dokumen-dokumen penjualan warisan. Namun jika besok pagi ada jadwal bus, kenapa tidak?
Apin yakin akan jawabannya sebab gadis itu tersipu saat mengatakannya. Satu-satunya yang terasa hangat malam itu hanyalah hatinya.
***Marliana Kuswanti tinggal di Surakarta. Dua novel terbarunya, Orang Ketiga (Elex Media, 2021) dan (Tak) Seindah Bunga Lili (Elex Media, 2021)