Wanita Bertato Ular
Langkah kaki mendekat, pemiliknya berhenti di ambang pintu. Kemunculan Angga menyela sekaligus mengakhiri percakapan. Aku menggeram kesal dalam hati. Lelaki itu selalu tahu kapan waktunya ikut campur.
Sambil meneguk air es di gelas, ketika melintas dekat jendela, sebelah tanganku menyibak gorden. Semburat merah di ufuk barat. Lalu lalang kendaraan tak lagi sepadat siang tadi, tapi wanita itu masih di sana. Sosok bergaun biru bagai manequin di keremangan senja. Topi bertepi lebar dan kacamata hitam membuat wajahnya sulit dikenali. Aku merasa ia sedang menatapku meski tak bisa kulihat matanya.
”Ada apa?” tanya Senna. Ia menjenguk dari balik bahuku. ”Apa yang kau lihat?”
”Wanita itu. Dia mengawasiku.”
Senna mengamati perempuan yang duduk di halte seberang jalan.
”Kenapa?”
”Entah. Itu menggangguku.”
”Laporkan saja pada polisi.”
”Apa yang dilaporkan? Dia tak melakukan apa pun selain duduk di sana sepanjang hari.”
Langkah kaki mendekat, pemiliknya berhenti di ambang pintu. Kemunculan Angga menyela sekaligus mengakhiri percakapan. Aku menggeram kesal dalam hati. Lelaki itu selalu tahu kapan waktunya ikut campur.
”Waktunya pulang, Senna,” ucapnya disertai tatapan menegur.
”Tentu. Tunggulah di mobil. Aku segera datang.”
Seketika laki-laki tersebut berbalik pergi tanpa sekali pun memandangku. Terdengar pintu depan dibuka dan ditutup kembali.
”Aku pergi sekarang.”
Kutandaskan sisa air dalam gelas lalu menaruh wadah yang telah kosong ke meja.
”Dia tidak menyukaiku. Kenapa?”
”Abaikan. Dia tak bisa mencegahku bertemu denganmu.”
Kuantar Senna keluar rumah. Dapat aku rasakan mata yang mengawasi lewat kaca spion. Kendaraan yang terparkir tersebut dinyalakan, Angga duduk di belakang kemudi. Deru mesin mobil menggambarkan dengan jelas perasaan si lelaki kepadaku.
”Dia pergi,” gumam Senna.
”Siapa?”
”Wanita itu.”
Mataku mengikuti arah pandang Senna. Tidak ada lagi sosok bergaun biru yang duduk di halte seberang jalan. Senja berganti malam. Gelap yang datang sedikit terusir oleh nyala lampu. Senna menatapku. Kecemasan membayang di matanya.
”Perasaanku tak enak. Menginaplah di rumah kami beberapa hari.”
Dengan tegas kutolak sarannya. Berjam-jam menerima sorotan mata penuh curiga Angga. Membayangkannya saja aku jengkel.
”Senna!”
Angga mulai hilang sabar. Tak lagi sekedar memainkan gas, pria tersebut menurunkan jendela mobil dan memanggil si gadis dengan nada memerintah. Senna menatapnya sekilas.
”Sampai nanti,” ucapnya padaku.
”Jangan biarkan dia mengatur hidupmu.”
Gadis di hadapanku tersenyum kecil.
”Tidak akan.”
Aku masuk ke rumah bersamaan dengan mobil yang meluncur pergi. Pintu kukunci lalu membuka wadah plastik yang dibawa Senna. Aku makan malam sambil melamun. Tiga minggu berlalu sejak aku membuka mata di rumah sakit tanpa memori. Benarkah aku kenal Senna? Aku ragu meski si gadis menyakinkanku tentang hal itu. Bagaimana dengan Angga? Dia jelas-jelas tak menyukaiku dan mengekor Senna seperti bayangan.
Kubuang sisa makanan ke tempat sampah setelah lelah berpikir lalu mencuci tempatnya. Besok, paling lambat lusa Senna pasti datang lagi. Aku pastikan semua pintu dan jendela telah terkunci sebelum tidur, kebiasaan yang baru dilakukan dua hari belakangan. Keberadaan wanita bergaun biru membuatku waspada. Aku yakin ia masih mengawasi meski tak lagi duduk di halte seberang jalan.
***
Bukan Senna yang mengetuk pintu rumah dua hari kemudian, tapi Angga. Lelaki tersebut tak tampil serapi biasa. Bulu-bulu halus tumbuh di dagu dan pipinya tanda belum bercukur. Dengan malas kuhadapi dia di ambang pintu, sama sekali tak berniat menyilakan masuk.
”Senna tidak ada di sini.”
”Aku tahu.”
Alisku terangkat.
”Untuk apa ke sini? Kusangka kau asisten pribadi yang membuntutinya 24 jam.”
Lelaki itu tak menggubris sindiranku.
”Ayo ikut.”
Melihatku bergeming, dipegangnya sikuku dan berbisik.
”Jangan kira aku tak akan bersikap kasar hanya karena kau perempuan.”
Mata kami bertemu. Aku bergidik, dingin merambat di tulang belakang. Meski tahu Angga tak menyukaiku baru kali ini aku lihat kebencian meluap-luap di matanya. Kuikuti dia ke mobil tanpa sepatah kata. Sesaat berselang kendaraan tersebut melaju dengan aku yang duduk beku di samping sopir. Angga mengabaikan aku saat mengemudi melintasi jalan-jalan yang tak kukenal.
”Kenapa kembali?” tanya Angga tanpa mengalihkan pandangan.
Tercengang, kutatap ia lekat. Aku kembali? Kembali dari mana?
”Aku tak mengerti maksudmu,” jawabku.
Angga mendengus. Kakinya menginjak gas. Jarum speedometer bergerak cepat ke kanan. Lelaki itu mengemudikan mobil seperti kesetanan. Aku panik dan ketakutan. Kesepuluh jari tangan mencengkeram pinggiran tempat duduk. Tubuhku basah oleh keringat dingin. Berbagai pikiran buruk melintas.
”Hentikan!” jeritku.
Mobil berhenti mendadak. Diriku, yang tidak memakai sabuk pengaman, terdorong maju. Kepala nyaris terantuk ke kaca depan. Angga mendahului bicara sebelum aku bereaksi. Suaranya tajam mengiris.
”Ini peringatan pertama dan terakhir. Senna adikku, jangan coba-coba melakukan sesuatu padanya seperti yang kau lakukan padaku.”
”Tunggu dulu!” tukasku marah, ”Aku benar-benar tak tahu yang kau bicarakan. Apa yang sudah kulakukan?”
Ekspresinya ganjil saat memandangku. Detik berikutnya Angga terbahak. Tawanya keras membahana, tubuhnya sampai terguncang-guncang. Aku terkejut, bingung, dan waspada. Pria ini tidak waras rupanya.
”Siapa yang hendak kau tipu, eh?” ucapnya di sela gelak.
Mataku berkilat marah. Kutatap laki-laki tersebut tanpa bicara. Dari sikap Angga, percuma saja menjelaskan aku tak ingat peristiwa sebelum tiga minggu lalu. Lawan bicaraku menyeringai.
”Kau menikmati ini? Baiklah. Anggap saja begitu. Ingat baik-baik satu hal, aku tahu siapa sebenarnya dirimu.”
Raut jijik terbayang jelas di wajahnya saat menatapku.
”Keluar,” perintahnya.
”Apa?”
”Keluar!” bentak Angga.
”Kau gila,” umpatku sambil bergegas turun.
Roda-roda mobil berputar menggilas jalan, meninggalkan aku yang kembali mengumpat. Kesulitan mencari taksi karena tempat turun bukan jalan raya, aku baru menemukannya lima menit kemudian. Diriku duduk melamun di kursi belakang selama perjalanan pulang. Kemarahan Angga membuktikan satu hal: aku memang kenal Senna.
***
Selama beberapa hari aku lupa tentang si wanita bergaun biru, insiden dengan Angga mengalihkan pikiranku darinya. Baru teringat lagi ketika melihat dirinya suatu sore. Melihatku keluar rumah dan menyeberang jalan, perempuan yang semula duduk itu bangkit. Aku percepat langkah melihat gelagat hendak pergi. Kecurigaanku terbukti, ia memang mengawasiku.
”Tunggu!”
Seruanku tak diacuhkan. Wanita itu berusaha lari, tapi kalah cepat. Pergelangan tangannya berhasil kucekal yang seketika kulepaskan. Rasa panas menjalar dari kulitnya yang bersentuhan dengan kulitku. Aku terpana melihat rajah berbentuk ular di pergelangan tangannya. Melingkar seperti gelang, tato itu membara dalam cahaya senja. Sekilas tampak lidah bercabang ular yang menjulur mengancam sebelum perempuan bertato tersebut lari.
Tak banyak orang yang berpapasan denganku sore itu. Satu dua pejalan kaki yang melintas dan seorang penjaga toko menatap heran melihatku mengejar wanita bergaun biru. Yang kuikuti lari tanpa kesulitan, kebalikan denganku. Napas mulai memburu, titik-titik peluh bermunculan di dahi. Sesaat kemudian perempuan tersebut berbelok dan lenyap dari pandangan.
Jalan itu diampit deretan bangunan di kanan kiri, sebagian berpagar besi kokoh. Mataku menangkap kelebat gaun biru sebelum menghilang di balik pintu. Sosok yang kukejar masuk ke bangunan paling ujung. Kemungkinan besar perangkap tapi tak ada jalan lain mencari tahu. Dengan dugaan itu, aku tidak terkejut saat pintu menutup dengan bunyi keras di belakangku.
Baca juga: Kisah Sepasang Mata
Diriku bermandikan cahaya lampu yang dinyalakan tiba-tiba. Aku ada di tempat yang dindingnya kusam, retak dan berjamur. Di sudut ruangan terdapat tangga spiral menuju balkon. Aku mendongak, memandang si wanita yang berdiri di sana. Tanpa kacamata hitam, terlihat bentuk matanya serupa mata kucing dengan pupil kecil.
”Siapa kau?” tanyaku, ”Mengapa mengawasiku?”
Hening.
Jari wanita tersebut menekan sebuah tombol dan keempat sisi dinding lenyap digantikan puluhan cermin yang mengurung diriku. Pergelangan tanganku terasa terbakar dalam waktu yang sama. Aku meringis kesakitan dan jatuh terduduk, terbelalak ketika rajah berbentuk ular perlahan muncul di pergelangan tangan. Pantulan di cermin merupakan kejutan kedua. Rambut pendekku berubah putih panjang. Wajah tua yang sama sekali asing, bentuk mata mirip mata kucing….
Kata-kata Angga terngiang di telinga, aku tahu siapa sebenarnya dirimu….
***
Daisy Rahmi kelahiran Manado. Karya-karyanya dimuat di berbagai media massa. Kini tinggal di Jakarta.