Kisah Sepasang Mata
Dan baiklah, aku akan bercerita padamu. Ah, aku sudah tak peduli apakah kau akan tahan mendengar atau tidak. Bosan, lalu diam-diam meninggalkanku yang terus bergumam. Terserah.
Baiklah, baik! Aku akan bercerita padamu. Kali ini bukan tentang Khima, gadis yang ditemukan mati tergeletak kaku di tepi telaga dengan leher koyak*. Ya, aku tahu kau begitu menyukai kisah itu. Tetapi aku capek dan malas tiap kali mengulang cerita yang sama berkali-kali.
Dan baiklah, aku akan bercerita padamu. Ah, aku sudah tak peduli apakah kau akan tahan mendengar atau tidak. Bosan, lalu diam-diam meninggalkanku yang terus bergumam. Terserah.
Lupakan saja kalau kau mulai bosan.
Dia tidak bernama Khima. Tetapi oleh satu hal kedua bola matanya telah buta dan menjadikan ia serupa Khima. Tentu ini sedikit menyedihkan, karena ia keburu pernah melihat langit, matahari, bunga, laut, dan awan. Ia terlanjur mengingat bentuk dan warna sebelum akhirnya, saat bangun pagi-pagi sekali, ia benar-benar tak bisa melihat apa-apa lagi. Buta. Tentu bukan begitu saja.
Sebenarnya, ya. Entah karena apa, ketika malam –rentetan dari sore yang jahanam itu–dia demam dan suhu tubuhnya meninggi. Panas dingin. Sepanjang siang dia hanya melamun di bawah pohon beringin besar–yang akarnya menjuntai menyentuh tanah. Banyak orang tentu sepakat, di antara akar yang menggantung, batangnya yang rimbun, tentu dihuni makhluk-makhluk asing yang tak terlihat mata telanjang. Dan malam itu ia menggigau. Tubuhnya basah oleh keringat dan ketakutan.
Dia menduga hanya sedikit lelah atau barangkali memang tersapa. Dia sadar, berlindung di bawah bayang-bayang pohon yang tegak lurus saat matahari tepat di atas kepala, adalah waktu yang paling celaka. Begitu nasihat orang-orang tua. Itu termasuk seburuk-buruknya waktu, selain hujan panas dan saat petang yang pulang kandang. Di tempatnya tinggal ada keharusan-keharusan yang tak boleh dilanggar. Tetapi, ah... tidakkah orang yang dilamun rindu-dendam bisa lupa apa saja, bahkan isyarat dan bertanda?
Lalu pagi itu dia menemukan tubuhnya terkapar di tempat tidur. Ia sama sekali tidak bisa melihat apa-apa. ”Barangkali masih mengantuk,” pikirnya. Tetapi tidak. Ketika berdiri dan mulai berjalan, tanpa sadar telah menjatuhkan meja kecil di sisi ranjangnya dan menyenggol sebuah lukisan sebelum membentur dinding kamar. Tersungkur di lantai, telapak kakinya berdarah oleh pecahan gelas, kepala dan keningnya terasa sakit bercampur nyeri luka.
Dia telah menjadi buta seketika. Lalu menangislah ia sejadi-jadinya.
Air mata memang tak membantumu menyelesaikan soal dan mengembalikan apa yang hilang. Tetapi selalu saja orang perlu menangis untuk hal-hal baru dan semacam perayaan atas kehilangan. Dan dia, telah kehilangan penglihatannya di sebuah pagi dengan begitu saja.
Siapa yang tidak berduka melihat sepasang mata indah itu tak mampu lagi melihat. Kedua kantong mata itu membengkak dan menjadi hitam, lebam dan legam. Orang-orang ikut menangis, ikut kehilangan. Gadis itu dan sepasang matanya adalah matahari sekaligus bulan, malam sekaligus siang. Mata itu embun dan sekaligus daun. Mata itu pagi dan juga petang. Sepasang indah yang menyejukan. Dua kesempurnaan sekaligus, tubuh dan kecantikannya. Dan nyaris tidak ada orang yang tak menyukai dua hal yang dimilikinya itu.
Begitu saja, kau bayangkan, mata itu tiba-tiba menjadi sesuatu yang mengerikan. Bengkak, hitam di sekelilingnya, mengeluarkan bau menyengat. Orang-orang mencoba mengobati sebisa mungkin dengan segala mantra dan ramuan. Segala kemampuan dan kekuatan dikerahkan untuk menyembuhkan–tentu saja dengan suka rela–tetapi sama sekali tak ada perubahan. Mata itu kian bengkak dan membesar, semakin hitam, semakin lebam, semakin legam. Di hari ketiga ia telah mengeluarkan lendir dan air yang berbau anyir.
Orang-orang mulai menyalahkan pohon beringin itu, tidak sedikit di antara mereka yang merasa khawatir dan dihantui ketakutan.
Dan tentu saja kehilangan.
Lama kemudian orang-orang mulai melupakan gadis buta yang malang itu. Keseharian yang sibuk tak lagi sempat membuat ingatan terasa basah. Ladang-sawah, hutan-rimba harus ditaklukan sepanjang pagi sampai petang. Hidup tak ditakdirkan untuk mengasah kenangan dan kepahitan. Maka, tetaplah gadis malang itu sendirian dengan segudang kesakitan dan kehilangan.
Selain penglihatan ia kehilangan seseorang. Seseorang yang merenggut masa kini dan masa depannya. Seseorang itu tak datang-datang.
Kau tahu, dia adalah gadis dengan sepasang mata yang indah. Tidak hanya mata, segala sempurna itu nyaris dimilikinya. Apa saja. Siapa yang tidak mengenal dan menyukai dia di sepanjang kampung di kaki gunung tempat ia tinggal? Ada saja yang membicarakan kecantikannya. Laki-laki muda berkisah tentang kesempurnaannya dengan decak kagum, diikuti anggukan perempuan dengan iri dan sedikit tidak rela. Tidak hanya di kedai kopi, sepanjang pantai, muara, jalan ke ladang, tetapi juga di tepian. Tak hanya di jenjang rumah tetapi juga di tengah sawah.
Dan gadis itu tetaplah sepasang keindahan yang tanpa celah. Sikapnya yang mana yang tidak disukai orang-orang? Sepasang tumitnya yang putih dan lembut, betisnya yang ramping dibiarkan bermandi lumpur sawah. Suaranya yang merdu melengking dari dalam surau kampung melenakan tidur orang-orang setelah bekerja seharian. Tak ada orang yang tidak mengenal dan tidak dikenalnya. Ah, mengerti benar dia akan rasa dan periksa. Begitu anggun dan tertata. Kau pasti terpesona melihat rambutnya meriap dibelai angin, ketika sore di tengah ladang atau lihatlah kaki rampingnya meniti pematang sawah. Perempuan di tepian akan merasa kagum dengan lekuk tubuh yang sempurna yang membayang di antara kain basahan. Ah, tapi tak sedikit pula yang cemburu dan merasa kalah. Tetapi bukankah itu biasa?
Di balik kelembutan sikapnya, ia tetaplah anak seorang janda yang sudah tua. Tiga kakak lagi-lakinya telah lama meninggalkan kampung dan tenggelam di tanah rantau. ”Kehilangan jalan pulang,” katanya setengah bercanda.
Tetapi dia tetaplah seorang perempuan, dan tentu kesepian. Usia yang terus tumbuh menyajikan kegelisahan yang lain. Uh, tidur yang sendiri di malam yang dingin menawarkan gelisah yang asing. Rasa yang lain.
Tetapi siapa yang berani menyentuh porselin mahal dan berharga itu?
Baca juga: Seekor Anjing yang Kunamai Namamu
Dan inilah, semua orang merasa memilikinya dan diam-diam turut menjaganya. Kurasa kau bisa merasakan bagaimana jika setiap pasang mata selalu mengikutimu diam-diam. Tak satu gerak pun yang luput dari intaian. Gadis itu milik mereka dan perlu dijaga. Jadilah dia sekuntum kembang yang tertawan. Ahai, siapa yang berani mendekati perempuan lembut itu? Seringkali, anak-anak muda membayangkan akan datang seseorang dari luar–dengan bau keringat yang berbeda–menggunggung perempuan itu jauh-jauh ke sebalik bukit yang lain, atau menghanyutkan diri ke muara. Betapa mereka cemburu dan kehilangan.
Tidak. Tak satupun yang sudi melepaskan keindahan milik mereka itu. Mereka harus menjaga lebih teliti, jangan sampai ada orang-orang asing yang tiba-tiba datang meminang. Apakah dia akan bisa menjaga, seperti yang orang-orang kampung lakukan?
Benar kata seorang kawan, kecantikan kadang begitu menyiksa. Ia bisa jadi semacam hukuman jika tidak bisa disebut kutukan. Di sebuah kampung kecil, di tempat orang-orang bergumul dengan amis ikan dan lumpur sawah, perempuan itu adalah mata air yang melenakan.
Tetapi itu dulu, sebelum sepasang matanya buta dan orang-orang mulai melupakan. ** Ah, bagaimana aku hendak menceritakan pertemuan yang diam-diam? Kurasa kau bisa bayangkan, atau barangkali kau pernah rasakan.
Dan ia, gadis itu–aduh, betapa enggannya aku untuk sekedar menyebut nama–memulai pertemuan diam-diam. Bagaimana bisa laki-laki asing–kata pemuda kampungnya–itu nyaman duduk di beranda rumah di ujung minggu jika di halaman orang-orang berkerumunan? Bagaimana mereka bisa melihat bulan di antara semak kecil jika puluhan pasang mata terus mengintai? Terlalu sulit memulai sesuatu yang wajar. Tidak hanya buat lelaki nekat itu, tapi juga buat perempuan. Ah, sedikit kesalahan tak urung mendatangkan gunjingan.
Maka satu-satunya jalan adalah pertemuan yang diam-diam. Jika sore datang–pada waktu yang dijanjikan–perempuan itu sudah duduk di bawah pohon beringin besar di pinggir hutan. Lalu laki-laki itu datang, menjelang senja pertemuan itu selesailah. Menyisakan ciuman dan sedikit rabaan untuk mereka bawa pulang, pemanis tidur malam-malam.
Tidak biasanya–pada hari celaka itu–perempuan itu merasa tidak sabar ingin bertemu lelakinya. Ia menunggu sejak siang. Siapa tahu sang kekasih merasakan degup yang sama dan telah pula menunggu di sana. Bukankah orang-orang yang jatuh cinta bersikap sedikit bodoh dan kekanakan?
Dan inilah sumber celaka itu. Peristiwa itu terjadi di tengah kemarau panjang di kampung itu. Tiap sebentar gadis itu menatap ke jalan. Berputar dari beringin ke tepi jalan setapak, melongkok kalau-kalau pujaannya segera memberi kejutan. Laki-laki itu tak juga datang.
Baca juga: Akhir Malam Pelukis Tayuh
Hal yang luput dari perhatian orang-orang. Sebuah rahasia yang tidak akan pernah dia katakan. Bahwa sesungguhnya saat menunggu itu ia sempat terjatuh, kepalanya menghantam akar beringin yang menonjol di permukaan. Tak sampai di situ. Debu-debu yang berterbangan–ah, kau bisa membayangkan suasana kemarau panjang di kaki gunung–masuk ke matanya.
Aku tak perlu mengatakan ketika kerinduan itu mencapai puncak, orang tak lagi merasakan apapun. Begitu juga dengan dia. Debu-debu itu, akar beringin itu telah membuat kedua matanya menjadi perih dan buta. Sepanjang penantiannya, ia sibuk menggosok biji matanya yang perih atau barangkali memang pohon beringin itu ditunggui makhluk halus dan berniat mencelakainya. Segalanya menjadi begitu mungkin.
Ia terus menunggu laki-lakinya dan orang-orang mulai melupakan dia dan kesakitannya. Berbulan-bulan ia larut dengan rasa sakit dan kehilangan. Ibunya, satu-satunya yang ia miliki, tak sanggup membawanya ke rumah sakit besar di kota. Tak ada yang bisa dijual, tak ada yang bisa digadai. Pada akhirnya, kesadaran memang terlambat datang. Kampung itu riuh menjelang petang. Orang-orang menyesali diri masing-masing yang telah mengabaikan perawan malang yang kehilangan penglihatan. Mereka menyesali diri yang gampang lupa dan terbiasa. Tetapi gadis malang itu telah pergi, mungkin lantaran kesepian, mungkin penyakit yang tak semestinya dia tanggung dan berbagai kemungkinan lain. Ah, mati tak memiliki banyak alasan.
Sementara laki-laki itu tak datang-datang. Bahkan ketika tubuh itu telah tidur di dalam tanah, melepas semua sakit dan penantiannya. **
Aku ingin menghentikan di sini saja. Tetapi kau terus memaksaku untuk melanjutkannya. Sungguh, aku merasa harusnya berhenti di sini saja. Tapi baiklah, izinkan aku bertanya tanpa perlu kau jawab. Kau percaya pada kebetulan-kebetulan?
Akan kukatakan padamu apa sesungguhnya terjadi. Siang itu–kau masih ingat saat perempuan itu tengah menunggu di bawah pohon beringin?–laki-laki itu sebenarnya telah datang duluan. Tetapi sebuah rencana lain telah disiapkan untuknya. Ia diseret orang-orang, ditarik ke pinggir sungai, dipukul beramai-ramai sampai tubuhnya lebam dan ingat apa-apa. Tubuh yang tak berdaya itu di dibenamkan ke tengah arus.
Aku memahami betul apa yang orang-orang lakukan kepada laki-laki itu. Sudah kukatakan, perempuan itu adalah sekuntum kembang yang tumbuh atas pengawasan orang-orang. Mereka seakan tak rela jika kembang itu dicuri diam-diam. Kekhawatiran yang wajar. Siapa tahu laki-laki itu seorang celaka yang berniat buruk. Kecurigaan yang muncul begitu saja. Tapi tak satu pun dari mereka, orang-orang yang melindungi itu berani mendekati si perempuan. Mereka merasa tidak pantas. Satu-satunya cara adalah menjaganya, hanya itu yang mereka tahu.
Aku tahu kau bisa membaca hal itu. Memiliki si perempuan adalah sebuah kekonyolan yang rasanya tak masuk akal, tetapi membiarkan orang lain datang sama saja membiarkan tubuh mereka ditelanjangi. Kau tahu nasib laki-laki itu selanjutnya?
Ya, ya. Katakanlah ia bajingan. Laki-laki itupun mengutuk dirinya sebagai pecundang yang malang. Suatu ketika, saat ia membuka mata, ia menemukan tubuhnya dipenuhi perban. Ia mengutuk balutan-balutan putih yang telah memenjarakannya sekian lama. Seorang nelayan menemukannnya mengapung di pintu muara. Berbulan-bulan dia tidak bisa berjalan. Lumpuh. Sepasang kakinya diamputasi. Hari-harinya ada pada roda-roda yang menggerakkan tubuhnya. Sampai dia menemukan seorang perempuan lain yang punya derita yang sama dengan gadisnya. Kau. ***
Catatan * Kau tentu menemukan Khima, gadis buta pemain biola itu dalam cerpen Gunawan Maryanto yang sempat kubacakan padamu dari koran-koran minggu. Cerpen-cerpen itu di antaranya berjudul Lubdaka Khima dan Galigi. Cerpen itu juga termuat dalam kumpulan cerpen Bon Suwung. Cerita ini sekaligus sebuah persembahan untuknya yang sudah lebih dulu berpulang.***
Indrian Koto, Lahir 19 Februari 1983 di Kenagarian Lansano, sebuah kampung kecil di pesisir selatan Sumatera Barat. Menyukai sastra dan terus belajar mendalaminya. Tinggal di Yogyakarta dan mengelola jualbukusastra.com dan Penerbit JBS Kontak: 0818-0271-7528