Mereka yang Mati di Malam Pengantin
Si Mata Tajam adalah legenda yang sejauh ini hanya kami ketahui namanya. Dinamakan demikian sebab di masa mudanya, ia terkenal pandai berburu dengan penglihatannya yang lebih baik dari jantan kebanyakan.
Kawin, bagi kami, adalah misi bunuh diri yang berakhir di malam pengantin.
Kematian datang sebagai fase hidup yang alami, tentu saja. Sebagai hukum alam. Sebagai kodrat. Dan itulah yang membuat kematian yang niscaya itu, bagi kami, terasa sial. Sebab kematian memeluk kami di saat kawin.
Entah apa kesalahan leluhur kami di masa lalu hingga kami, penerus-penerusnya, harus menanggungkan siklus hidup yang begini sial. Tak satu pun di antara kami pernah bertemu dengan ayahnya. Kami hanya mengenal ibu. Semua anak hanya mengenal ibunya saja.
Anak-anak tumbuh dengan hanya mengenal para ibu sebagai sosok dewasa, sebagai pihak yang dituakan. Setiap kelahiran disambut dengan sukacita. Namun, kelahiran anak jantan juga berarti mempersiapkan kematian yang datang lebih cepat. Bayi-bayi jantan itu tidak akan dibunuh. Tidak. Kami tidak seperti itu. Akan kuceritakan padamu apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa kukatakan bahwa hidup kami begini terkutuk. Sial, seolah tak ada lagi yang lebih sial.
Awal mula pergolakan batin ini dimulai ketika memasuki usia dewasa. Siklus hidup dan keadaan fisiologis kami telah bersekongkol dan mendesak kami untuk segera mencari betina, lantas kawin. Angan-agan seperti ini seharusnya cukup menggairahkan dan memotivasi kami untuk tumbuh dewasa secepat mungkin. Membayangkan akan kawin dengan betina yang kami sukai, lantas berkembang biak, tentulah meyenangkan.
Itulah masalahnya!
Tidak seekor pejantan yang pernah kawin pun pernah kami temui lagi. Desas-desus mengatakan mereka kabur. Ada juga yang mengatakan mereka mati ketika kawin. Selebihnya meyakini bahwa setelah kawin, para pejantan itu pergi untuk menghalau manusia-manusia yang akan menghancurkan tempat tinggal kami. Sebagai jantan remaja, kami lebih memercayai desas-desus yang terakhir. Sebab terdengar lebih patriotik, tentu saja.
Meski demikian, kami sebenarnya belum juga merasa puas. Alhasil, rasa penasaran kami itu kemudian membawa kami bertanya kepada pengantin betina perihal hilangnya si pejantan. Namun, mereka juga tidak pernah memberikan jawaban-jawaban yang memuaskan mengapa pejantan-pejantan yang telah kawin tidak pernah kami temui lagi. Jika tidak direspons dengan sikap diam, jawaban singkat yang kami terima dari pengantin betina hanya sebatas ”dia pejantan yang bertanggung jawab. Dia tahu apa yang harus dilakukan”.
Tapi, apa sebenarnya ”yang harus dilakukan” itu? Sebagai jantan remaja, kami masih selalu bertanya-tanya.
Bertanya kepada para ibu adalah hal yang tidak mungkin. Jika nasib ayah-ayah kami pun tak pernah secuil pun diungkit, peduli setan dengan nasib jantan-jantan lainnya, tentu saja. Mereka tidak akan peduli.
Ketidakramahan lingkungan seperti ini membuatku berhenti berangan-angan tentang kehidupan masa dewasa. Menjadi dewasa, jatuh cinta, lantas kawin. Imajinasiku berhenti di situ. Sebuah gang buntu. Tak ada jalan ke mana-mana. Tak ada lagi kelanjutannya.
Seolah menemui titik terang, pada suatu hari, datanglah kawan-kawanku, si Tungkai Panjang dan si Tungkai Pendek. Dinamai demikian karena salah satu tungkai mereka memang tidak selaras, lebih panjang dan lebih pendek dibandingkan dengan tungkai-tungkai yang lain.
”Kau harus ikut dengan kami!” sahut si Tungkai Panjang.
”Kita akan menemui si Mata Tajam,” lanjutnya.
Aku menyambut ajakannya dengan semangat. Si Mata Tajam adalah legenda yang sejauh ini hanya kami ketahui namanya. Dinamakan demikian sebab di masa mudanya, ia terkenal pandai berburu dengan penglihatannya yang lebih baik dari jantan kebanyakan. Setidaknya, begitulah desas-desus yang sampai kepada kami.
Jika tidak salah, usia si Mata Tajam mungkin telah memasuki empat belas purnama. Jauh lebih tua dibandingkan dengan aku dan kawan-kawanku yang baru berusia tiga purnama.
Akhirnya, kami bertiga berangkat untuk menemui si Mata Tajam. Aku tidak sabar untuk mendapatkan jawaban dari semua pertanyaan-pertanyaanku selama ini. Setelah terbang ke sana kemari, menghindari perdu tinggi dan ranting-ranting, tibalah kami di sebuah pohon jambu tempat si Mata Tajam, menurut kabarnya, bermukim.
Benar! Dialah legenda yang kami cari. Si Mata Tajam yang usianya ternyata telah memasuki enam belas purnama, dan bukannya empat belas purnama. Setidaknya, begitulah penuturannya sendiri langsung dari mulutnya.
Si Mata Tajam menyambut kami dengan baik, dan entah apakah karena menyadari ajalnya sudah dekat, setidaknya, ia sendiri meyakini umurnya tidak lama pagi, sehingga ia sungguh begitu bijaksananya kepada kami. Dihujaninya kami dengan taktik-taktik pertahanan diri agar kelak kami bertiga tidak cepat mati dalam kehidupan soliter kami masing-masing nanti.
Aku gugup. Semua petuah beliau kurasa penting. Namun, ada yang lebih penting. Lebih mendesak untuk kuketahui kebenarannya, batinku.
”Apa yang sebenarnya terjadi pada para pejantan dewasa ketika mereka kawin?” Aku tak bisa lagi menahan diri untuk tidak bertanya. Tungkai Panjang dan Tungkai Pendek mengangguk padaku bersamaan, menyatakan kesepahaman.
”Mereka mati,” jawab si Mata Tajam datar.
”Hah?!”
Kami bertiga terkejut dan kembali berpandangan satu sama lain. Apakah itu artinya bahwa ketika mereka kawin, mereka akan mati pada saat itu juga? Bagaimana sebenarnya mereka mati? Apakah kami hanya akan bisa kawin sekali dalam seumur hidup? Itu pun tak ubahnya menggali kuburan sendiri. Pikiranku semakin tak karuan.
Spesies kita adalah makhluk hidup yang diciptakan dengan siklus hidup yang seperti itu. Entah apa kesalahan leluhur-leluhur kita sebelumnya, namun demikianlah adanya, tutur si Mata Tajam.
”Kematian memeluk kita di saat kawin,” lanjutnya.
”Tapi, tidak semua pejantan benar-benar mati di saat kawin, bukan?! Kau sendiri pun tidak mati,” sahut si Tungkai Pendek.
”Benar. Sebagian dari mereka mati, sebab memang sulit untuk melawan betina lapar yang ukuran tubuhnya bisa dua hingga tiga kali lebih besar dari ukuran kita, pejantan. Sedangkan yang lainnya bisa lolos dari maut dengan taktik tertentu. Itulah mengapa aku belum mati juga sehingga bisa bertemu kalian.”
Kami bertiga kembali berpandangan. Kenyataan bahwa ukuran tubuh kami jauh lebih kecil dari para spesies betina membuat penjelasan si Mata Tajam masuk akal bagi kami. Ada kemungkinan para pejantan memang mati saat kawin sebab tak mampu melawan betina lapar hingga berujung menjadi santapan.
Fase hidup kami sebagai pejantan kurasa begitu sial, sungguh sial, seolah tak ada lagi yang lebih sial. Kami harus kawin dalam bayangan kematian dan menjadi korban kanibalisme betina. Inikah yang para betina maksudkan sebagai ”apa yang harus dilakukan” itu? Mengorbankan nyawa kami demi cinta pada betina yang kami kawini? Benar-benar wujud nyata dari cinta mati. Dalam artian, kami, pejantan, benar-benar akan mati.
”Apa taktiknya, Pak Tua? Tolong beri tahu kami.” Suara si Tungkai Panjang memecah lamunanku.
Si Mata Tajam memberikan kepada kami semua taktik bertahan hidup yang harus kami ketahui sebelum memasuki fase hidup dewasa kami pada purnama selanjutnya. Juga agar kami bisa berumur panjang seperti dirinya. Bisa hidup hingga enam belas purnama adalah sebuah usia hidup yang sungguh panjang dalam spesies kami.
Aku dan kedua kawanku mendengarkan dengan penuh takzim. Jika fase hidup kami sebagai pejantan memanglah begini sialnya, setidaknya kami bertekad untuk hidup selama mungkin.
”Lalu, apa yang terjadi pada para pejantan yang berhasil lolos dari maut ketika mereka kawin itu?” tanyaku.
”Mereka hidup lebih lama, tentu saja. Seperti aku. Beberapa akhirnya mati ketika mereka kawin lagi untuk kedua atau ketiga kali, atau kesekian kali. Ada juga yang menjadi mangsa spesies lain. Dan tak jarang yang mati oleh racun semprot manusia, juga kebakaran ladang di Utara pada fase bulan mati yang lalu.”
Ladang di Utara yang dimaksud Pak Tua si Mata Tajam adalah tanah yang dikeramatkan oleh sekelompok manusia yang bermukim di tepi hutan. Ladang itu disengketakan oleh kelompok manusia lainnya yang datang dengan membawa benda-benda keras raksasa yang bunyinya meraung memekakkan telinga.
Mereka bertengkar dan tidak kunjung sepaham. Kelompok manusia yang sebelumnya bermukim dekat ladang itu diusir paksa dan ladang itu dibakar dengan sengaja. Alhasil, pejantan-pejantan dari spesies kami yang bermukim di situ banyak yang kemudian mati. Sungguh sebuah jalan hidup yang tak dapat dihindari. Kemudian benda-benda keras dan bising itu mengeruk tanah sebanyak-banyaknya dan mengangkutnya entah ke mana. Seperti itulah kami kehilangan spesies dan habitat kami bersamaan.
Bukan hanya kami, kelompok manusia yang sebelumnya bermukim di sana pun kehilangan hidup dan penghidupan mereka. Jika kanibalisme dalam spesies kami adalah kodrat, rupanya manusia tidak harus menjadi kanibal untuk mematikan manusia lainnya.
Mati dalam kawin, ataukah bertahan hidup lebih lama untuk kemudian menjadi makanan spesies lain, mati terkena racun semprot manusia atau menjadi korban kebakaran, ujung siklus hidup kami tetap saja sama, yaitu mati. Sekarang kau mengerti mengapa kukatakan bahwa siklus hidup kami begitu sialnya?!
Kami bertiga berpamitan pulang. Si Mata Tajam melepas kami dengan hangat. Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku masih menekuri fase hidup kami yang begini sial. Bagaimanapun jalannya, bagaimanapun kami berkilah, tetap akan mati juga. Meski begitu, bisa hidup hingga sepuluh purnama saja akan kurasai sebagai keajaiban.
Usiaku kini tiga purnama. Satu atau dua purnama lagi aku akan dewasa. Dan akan selalu kuingat taktik yang dinasihatkan si Mata Tajam agar bisa lolos dari maut perkawinan. Aku tak ingin menjadi pejantan belalang sembah yang mati di malam pengantin.
Polewali Mandar, Agustus 2021
Salehati, menyelesaikan pendidikan jurusan ilmu hubungan internasional di FISIP Universitas Hasanuddin. Menggemari sastra, filsafat, dan politik. Dia aktif menulis puisi, opini, dan ulasan buku untuk diri sendiri.
Yuswantoro Adi, lahir di Semarang, 11 November 1966. Pelukis pemenang Grand Prize Winner Philip Morris ASEAN Art Award 1997 di Manila, Filipina. Selain melukis juga menulis, mengajar, dan memberi pelatihan serta sesekali jadi narasumber seni rupa.