Bibir-bibir yang Manis
Rumah dan pelatarannya yang besar menjadi tempat pemberhentian Sri.
Tidak ada yang lebih manis daripada bibir seorang perempuan bernama Sri. Wanita Jawa tulen yang jadi kebanggaan keluarganya. Bibirnya yang tipis terlihat enak jika dilumat. Sayangnya ia berasal dari keluarga petani getah karet. Bapak dan ibunya merupakan jongos Belanda dan kecantikannya tenggelam karena status sosialnya.
”Sayang sekali kamu, Nduk. Bibirmu menggoda, kalau kamu lahir dari keluarga priayi kamu pasti jadi istri kesultanan.”
”Alah, sudahlah Pak. Jadi istri mandor kebun karet pun sudah cukup.”
Sri memang perempuan yang pandai bersyukur. Wajahnya yang ayu dan bibir yang manis tidak membuatnya congkak serta tinggi kepala. Ia masih bisa ramah kepada semua orang, bahkan mandor-mandor kebun karet yang bekerja mengawasi para buruhnya.
Hingga suatu ketika di musim yang cukup panas Sri mengantarkan seceret air minum untuk orangtuanya ke kebun karet. Ia berpapasan dengan orang Belanda yang kebetulan sedang berjaga.
”Permisi Tuan,” sapa Sri dan Sang Belanda hanya tersenyum melihat bibir Sri yang kian merekah. Ia terus memperhatikan Sri walaupun semakin menjauh. Namun, wujud Sri tak hilang dari pandangan Sang Belanda karena ia terus membuntutinya.
”Tadi anakmukah?” tanya mandor Belanda kepada bapaknya Sri ketika Sri telah pulang.
”Benar Tuan.”
”Hemm.... Boleh juga.”
Sorenya tatkala senja mulai menguasai langit, para buruh beristirahat dari kebun, anak-anak bermain di pelataran, datang sebuah kereta kuda. Ia mencari keberadaan Sri di desa itu.
”Kau bapaknya Sri, ya? Mana Sri?” tanya seseorang Belanda.
”Ia sedang memasak, Tuan. Ada apa dengan putri saya?”
”Putrimu cantik juga. Bibirnya tipis dan manis sehingga membuat Kolonel Wijj tertarik padanya.”
”Ia ingin mempersunting putriku?”
”Mempersunting? Berkacalah terlebih dahulu kalau bicara. Putrimu hanya dijadikan gundik. Cepat, mana Sri? Akan kuberi lima puluh keping emas kalau kalian berkenan.”
Bapaknya Sri terpaksa memberikan Sri kepada Sang Belanda. Walaupun lima puluh keping emas tidak setimpal dengan kehilangan putri jelitanya, nyatanya masih lebih baik daripada sebuah timah panas masuk kepalanya.
Sri sempat menolak. Umurnya yang belum terlalu matang masih ingin bersenang-senang. Rayuan menjadi istri seorang yang bermatabat terus dilancarkan dari berbagai pihak. Bapaknya pun ikut merayu penuh iba dan akhirnya Sri terpikat dengan rayuan mereka.
”Tenang saja. Kau minta apa pun kepadanya pasti terpenuhi,” rayu orang Belanda suruhan Kolonel Wijj saat perjalanan menunggangi kereta kuda.
Rumah dan pelatarannya yang besar menjadi tempat pemberhentian Sri. Mereka turun dijemput oleh dua orang perempuan paruh baya pribumi. Dari keduanya, Sri diarahkan menuju ruangan besar, lorong lalu sebuah kamar.
”Tuan sudah menunggu di dalam. Jeng dipersilakan masuk,” ucap salah satunya.
”Loh, tidak ada ijab dulu?”
”Tidak Jeng.”
Sri masuk ke dalam kamar. Perlahan, tidak banyak mengeluarkan suara. Baru satu langkah masuk ke kamar, seorang Belanda dengan hanya bercelana pendek duduk di bibir ranjang tidur.
”Kemarilah. Kau masih ingat wajahku saat di kebun karet, bukan?"
Sri mengingat-ingat sejenak. Memorinya tentu masih kuat dan anggukan kepala ringan menjadi jawaban atas pertanyaan Sang Kolonel.
”Kemarilah.” Kolonel Wijj berdiri dan menghampiri Sri.
Perempuan Jawa itu sempat ketakutan. Ia mundur dan mencoba membuka kamar. Sayang, pintu telah dikunci dari luar.
Sri kebingungan dan sayangnya lagi tubuh kecilnya telah dibopong Sang Kolonel. Walaupun Sri sempat melawan, nyatanya tenaga lemah Sri tidak seberapa untuk mengalahkan lelaki di hadapan Sri. Tidak ada yang bisa dilakukan lebih oleh Sri dan akhirnya Sri kalah oleh Sang Kolonel.
***
Tidak ada yang lebih manis dari pada bibir seorang perempuan bernama Asri. Dari bibirnya, memancarkan hasrat untuk dimiliki. Banyak lelaki teperdaya oleh bibirnya yang tebal. Dari petani hingga anak lurah ingin meminangnya. Namun, mereka tak sanggup mendapatkan Asri beserta bibirnya. Idealisme yang tinggi membuat Asri menjadi mahal dan tidak satu orang pun sanggup ”membelinya”.
”Kamu kapan nikah?”
”Ingat! Umurmu sudah dua puluh lebih loh!”
”Emang tidak malu jadi perawan tua?”
Berbagai sindiran terus diterima Asri saban harinya. Entah dari tetangga rumah, tetangga desa, bahkan orang yang tidak Asri kenal sekalipun sering menyindir perihal keinginannya yang tinggi.
”Aku tidak ingin menikah dulu sebelum jadi model di kota,” jelas Asri.
Baca juga : Bunga Raksasa di Tengah Kota
Asri memang pantas jadi model di kota. Wajahnya yang ayu, kulit putih ditambah bibir tebal menggoda membuatnya tidak diragukan lagi untuk jadi model. Sayangnya, ia tinggal di desa terpencil, informasi tentang pekerjaan di sebuah perusahaan saja sangat sulit diperoleh oleh orang-orang desa. Apalagi informasi lowongan pekerjaan sebagai model. Mungkin informasi itu akan datang seabad sekali ke desa itu.
Dewi fortuna berpihak kepada Asri. Ketika ia sedang menjemur pakaiannya di depan rumah, sebuah mobil mewah melintas. Tidak ada yang tahu siapa yang berada di balik mobil itu. Yang jelas ia bukan orang sembarangan.
”Asri?” sapa seseorang yang berada dalam mobil. Sontak Asri langsung menengok ke dalam mobil dengan jendela yang sudah terbuka. Asri memahami sambil mengingat-ingat, siapa lelaki di dalam mobil itu.
”Masih ingat aku enggak?” tanyanya lagi.
”Siapa ya?”
”Arjuna, teman SMA kamu.”
Asri tertawa senang. Ia kembali ke dalam memorinya terdahulu. Asri larut dalam nostalgia yang indah dan Arjuna dibawa masuk ke dalam rumahnya. Mereka berbincang panjang tentang kehidupan. Arjuna terus membanggakan diri atas kesuksesannya dan Asri terus mengeluh atas nasib malangnya.
”Aku ingin sekali jadi model di kota,” keluh Asri.
”Kebetulan sekali aku sedang cari orang untuk dijadikan model. Bibirmu manis, pasti banyak orang suka dengan bibirmu,” rayu Arjuna.
”Ah kamu bisa saja,” Asri tersipu.
”Ya sudah, aku besok ke sini lagi. Kamu siap-siap. Akan aku antar kamu ke kota agar menjadi model dan artis terkenal.”
Keesokan harinya, Asri menyiapkan beberapa setel baju dan mantelnya. Selain itu, ia juga menyiapkan lipstik agar bibirnya terus terlihat manis.
”Kamu begitu menawan. Apalagi bibir kamu, sangat manis dilihat,” puji Arjuna.
Mereka berangkat dengan mobil mewah Arjuna. Perjalanan cukup jauh, namun hati Asri tidak bisa tenang. Ia selalu membayangkan kenikmatan menjadi model dan artis di kota. Ia selalu memandang ke luar kaca mobil sambil tersenyum.
”Tak percaya, sebentar lagi aku akan jadi model,” gumamnya.
Setelah melewati beberapa jam, mereka berhenti di sebuah hotel bintang lima. Seperti sudah terbiasa, Arjuna masuk ke dalam hotel sambil menuntun Asri. Mereka masuk ke dalam lift menuju lantai atas.
”Pasti dia suka,” celetuk Arjuna lirih.
”Dia siapa?” tanya Asri.
”Klien kita dong. Kan, kata kamu mau jadi model.”
Baca juga : Lelaki yang Menabur Rempah
Asri tersenyum mendengar perkataan Arjuna sambil terus berjalan melewati lorong hotel. Mereka berjalan cukup pelan hingga berhenti di depan pintu salah satu kamar.
”Kamu masuk dulu saja. Aku tunggu di luar. Di dalam ada seorang lelaki, nah itu klienmu,” jelas Arjuna.
Asri menuruti perkataan Arjuna. Ia masuk ke dalam kamar dan langsung menutup pintu tersebut. Setelah di dalam, Asri melihat seseorang lelaki dengan celana pendek duduk di sebuah sofa.
”Wah, sudah datang ternyata. Benar kata Arjuna, bibirmu terlihat begitu manis. Akan aku lumat bulat-bulat bibir itu,” ucap lelaki itu.
Asri ketakutan dan hendak keluar dari ruangan. Sayang, pintu terkunci dari luar sehingga Asri terjebak dengan lelaki tersebut.
***
Bagus Sulistio, lahir di Banjarnegara, 16 Agustus 2000. Berdomisili di Pondok Pesantren Al-Hidayah, Karangsuci, Purwokerto. Saat ini ia masih berstatus sebagai mahasiswa jurusan pendidikan bahasa Arab dan mentor kepenulisan cerpen di Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban (SKSP) IAIN Purwokerto. Ia juga menjadi Wakil Ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Ranting Banjarnegara dan anggota di KPBJ. Karyanya pernah menjadi nomine sayembara esai Balai Bahasa Jawa Tengah, pemenang II esai bahasa Arab FAC FEBI IAIN Purwokerto, pemenang II Lomba Cerpen Nasional FAH UIN Jakarta, terdokumentasikan dalam beberapa antologi cerpen, serta tersiar pada beberapa media, seperti Suara Merdeka, Kompas.id, Islami.co, Minggu Pagi, Solopos, Banjarmasin Post, dan Harian Sultra.