Bunga Raksasa di Tengah Kota
Aku menoleh ke kanan. Seorang perempuan sudah berdiri di dekatku. Dalam sekali pandang, aku tahu, rumah telah memengaruhi penampilannya.
Tujuh bulan sejak wabah menyerang kota, aku tidak pernah keluar gedung seperti sekarang ini. Apa yang kulakukan saat ini, berdiri di pinggir jalan, sebenarnya terlambat. Warga kota telah melakukannya dua belas jam sebelumnya, saat bunga itu baru muncul. Atau tepatnya, ketika warga kota menyadari secara serempak, ada yang berbeda di luar jendela mereka.
”Kau baru melihatnya?” seseorang tiba-tiba berkata.
Aku menoleh ke kanan. Seorang perempuan sudah berdiri di dekatku. Dalam sekali pandang, aku tahu, rumah telah memengaruhi penampilannya. Ia mengenakan baju tidur motif kartun, dengan penutup mata yang masih menempel di dahinya. Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai berantakan.
Hal yang sama mungkin terjadi kepada seluruh penduduk kota, andai aku keluar dari dalam gedung dua belas jam yang lalu. Menyaksikan orang-orang berpenampilan seperti di dalam kamar.
”Ya, aku baru menyadarinya,” jawabku seraya menenggak kopi di dalam cangkir yang kubawa keluar. ”Apa kau juga?”
”Tidak. Aku menyadari keberadaan bunga itu bersamaan dengan warga kota lainnya.” Ia berjalan di belakang punggungku, melewatiku. ”Mau jalan-jalan?”
Aku ragu, apakah harus menerimanya atau tidak. Risiko terkena wabah begitu besar.
”Kau takut?”
”Di mana rumahmu? Sudah berapa jauh kau berjalan?” Aku menoleh kepadanya, yang sekarang ada di sisi kiriku.
”Aku tinggal di lantai dua minimarket di ujung jalan sana,” jawabnya dengan santai.
Aku tidak menangkap kesan ia berbohong. Kejujuran adalah keselamatan bersama di tengah keadaan saat ini.
”Kau sendiri? Kenapa kau berpakaian seperti itu? Rumahmu pasti lumayan jauh?” Ia bertanya balik.
”Tidak,” jawabku. Dari bawah, aku mengenakan sepatu olahraga, celana jins, dan flanel motif kotak-kotak. Ia pasti berpikir, pakaian yang kukenakan aneh pada saat seperti ini. ”Aku tinggal di lantai tiga gedung ini.” Aku menunjuk bangunan di belakangku.
Perempuan itu diam, tidak membalas perkataanku. Ia melangkahkan kakinya ke depan. Membiarkanku mematung di belakangnya.
Kau sendiri? Kenapa kau berpakaian seperti itu? Rumahmu pasti lumayan jauh?
Aku mendongak, menatap langit. Awan gemawan begitu tipis. Bulan sabit tidak tampak seluruhnya. Hanya ujungnya saja yang kelihatan mencolok. Sementara di bawahnya, ada bulatan berwarna merah tua yang memancarkan hal aneh. Tiba-tiba aku ingin mengamatinya dari sisi yang lain. Aku menyusul perempuan itu dengan sedikit berlari. Kopi di tangan kiriku sedikit tumpah karena goyangan. Perempuan itu belum pergi terlalu jauh. Aku mengimbangi langkahnya.
”Kenapa kau di luar?” tanyaku.
”Kenapa kau berpakaian seperti itu?”
Aku mengamati pakaianku dari bawah. Tidak ada yang aneh.
”Aku suka bergaya seperti ini.”
”Aku yakin, kalau sekarang warga kota keluar dan menyaksikan penampilanmu ini, kau akan dianggap tidak tahu apa-apa. Kau dianggap tidak tahu kalau sedang terjadi wabah. Semua orang berada di dalam rumah selama tujuh bulan.”
”Aku tahu maksudmu,” kataku. ”Aku ingin memperjelas apa yang kau ucapkan. Maksudmu, berada di dalam rumah, mengubah cara berpakaian dan cara bersikap semua orang.”
”Begitulah.” Perempuan itu menjawab sambil merebut cangkir di tanganku. Ia berhenti dan menyeruputnya pelan.
”Sayangnya, aku tidak ingin ada yang berubah dari diriku. Sebelum wabah ini merebak, setiap kali keluar rumah, aku berpakaian seperti ini. Dan sekarang, seperti yang kau lihat, setelah tujuh bulan di dalam kamar, aku tetap bisa mempertahankannya. Aku tidak mudah berganti kebiasaan.”
”Ya, kau bisa mengatakannya sesuka hatimu.” Perempuan itu mengembalikan cangkir padaku. Kami berjalan lagi.
Aku melihat ke atas, meski sudah berpindah tempat, bulatan merah itu terlihat sama. Berbeda dengan kelopaknya, tangkai bunga itu terlihat berbeda. Terlihat ada tonjolan-tonjolan yang kuat seperti serat. Bunga itu berbeda sekali, antara ketika dilihat dari dalam kamar dan dari luar.
”Apa kau keluar untuk melihat bunga itu lebih dekat?” tanyaku pada orang di sampingku.
”Kurang lebih seperti itu. Kemunculan bunga raksasa di tengah lapangan kota, bukankah itu sedikit aneh? Seperti awal dari kehancuran dunia?”
”Lalu, wabah ini kau anggap apa, kalau bunga itu sebagai awal kehancuran dunia?”
Perempuan itu berpikir sesaat. Semilir angin menerbangkan rambutnya yang acak-acakan. ”Kau benar,” jawabnya.
”Tidak ada yang aneh dari kemunculan bunga raksasa itu. Wabah saja bisa terjadi saat dunia sedang lancar-lancarnya, dan membuat seisi kota seakan mati, apalagi hanya bunga. Tidak ada dampak apa-apa. Tidak terlalu menjadi perhatian juga. Warga kota hanya keluar sesaat dan kembali ke dalam rumah.”
Aku tidak menanggapi. Tidak ada percakapan lagi. Selama beberapa saat, kami berjalan menyusuri trotoar tak tentu arah. Namun, karena sedari tadi aku mengamati kelopak bunga raksasa itu, aku jadi menyadari sesuatu. Kami, maksudku aku dan perempuan itu, berjalan ke tempat bunga raksasa itu tumbuh. Bulatan warna merah polos tanpa motif itu semakin dekat. Apa mungkin perempuan itu yang ingin ke sana?"
”Hampir tengah malam.”
Aku berhenti dan menoleh kepadanya. Perempuan itu tertinggal dua langkah di belakangku. Tanyaku, ”Dari mana kau tahu?”
Perempuan itu menunjuk ke arah minimarket yang sedang tutup. Bagian depan minimarket itu gelap gulita. Sedangkan di dalamnya, beberapa lampu menyala dengan tegang. Maksudku, lampu-lampu itu menyala, tapi berkedip-kedip. Terang lalu sedikit redup, lalu terang lagi. Mungkin karena terlalu lama dibiarkan hidup, tanpa sekalipun diistirahatkan.
Aku berdiri di depan pintu minimarket. Di bagian dalam sebelah kiri, tergantung jam dinding. Jarum pendeknya berada di angka sebelas, sementara jarum panjangnya di angka sembilan.
”Waktu terus berjalan, walau kehidupan seakan mati di dalam ruang yang kita tempati.” Sekonyong-konyong, perempuan itu sudah berdiri di sampingku.
”Apa kau haus? Mau minuman dingin?”
”Di tangan kirimu ada cangkir kopi.”
”Ya, kau benar.” Aku berjalan mundur lima langkah. Dengan tangan kiri, aku memberi isyarat kepada perempuan itu untuk menjauhi pintu. Setelah ia menjauh, aku memindahkan cangkir ke tangan kanan dan melemparkannya ke arah gagang pintu. Seketika, cangkir pecah. Potongan-potongannya berhamburan di lantai. Bercak hitam kopi menempel di lantai dan pintu kaca. Sementara gagang pintu yang terkena hantaman lepas dari daun pintu.
”Kau gila!” Perempuan itu sedikit berteriak.
”Pemiliknya saja tidak peduli terhadap tokonya sendiri.”
Aku berjalan ke arah pintu. Dari jarak satu meter, aku menendang pintu dan langsung terbuka.
”Ambil sendiri yang kau butuhkan.” Aku masuk ke dalam minimarket. Aku menuju pojokan ruangan, tempat minuman dingin. Mengambil satu botol bir tanpa alkohol.
Di depan pintu, aku menenggak bir. Perempuan itu masih berkutat di dalam, entah mencari apa. Bulan sabit di langit terlihat jelas seluruhnya. Selaput tipis awan yang tadi menutupinya hilang. Langit hitam tanpa kotoran. Seperti kelopak bunga raksasa itu. Merah darah, bulat tidak sempurna.
”Aku ambil sebanyak ini untuk stok di kamar.” Kedua tangan perempuan itu menjinjing dua tas plastik besar, penuh dengan makanan.
”Terserah kau saja,” balasku, lalu menenggak bir. ”Sekarang kita pulang?”
”Tidak,” jawab perempuan itu. ”Ayo ke lapangan kota.”
Tidak sampai lima belas menit, kami sampai di lapangan. Bunga raksasa itu memakan hampir seluruh bagian lapangan. Anehnya, tidak ada secuil pun tanah yang berhamburan. Aku membayangkan, bunga raksasa itu muncul bukan dengan cara tiba-tiba meloncat dari dalam tanah. Melainkan, tanah lapangan itu tertelan ke dalam sedikit demi sedikit, dan secara bersamaan bunga itu tumbuh menjadi raksasa. Hasilnya seperti yang sekarang ada di depanku. Batang bunga itu berwarna hijau tua kecoklatan, ukurannya begitu besar dan kokoh.
”Menurutmu, apakah bunga ini akan bertambah besar?” Perempuan itu bertanya.
”Kurasa tidak. Bunga ini sudah tumbuh di dalam tanah. Dia keluar karena sudah mencapai ukurannya yang maksimal.”
Tidak sampai lima belas menit, kami sampai di lapangan. Bunga raksasa itu memakan hampir seluruh bagian lapangan. Anehnya, tidak ada secuil pun tanah yang berhamburan.
”Bagaimana kau bisa tahu?”
Sebelum menjawab pertanyaannya, aku mendudukkan diriku di kursi pinggir lapangan yang masih utuh. Kataku, ”Kalau bukan begitu caranya, harusnya kita sudah menyadari bunga ini sejak awal. Bukan secara tiba-tiba seperti tadi siang.”
”Orang-orang.” Perempuan itu duduk di sebelahku. Menaruh dua plastik bawaannya di dekat kaki kursi. ”Orang-orang, selama ini ada di dalam rumah, tidak ada yang keluar, tidak tahu apa yang terjadi. Mungkin saja, bunga ini tumbuh sedikit demi sedikit, baru saat sudah besar seperti sekarang ini, kita menyadarinya.”
Ia merebut botol bir di tangan kananku. Menenggaknya sampai habis. Kami kemudian diam. Hanya memandangi bunga raksasa itu. Lama-kelamaan, mataku terasa lelah. Aku memejamkan mataku sesaat, lalu membukanya kembali, lalu terpejam lagi, tidak kuat membuka dalam waktu yang lama. Aku menyerah. Aku bilang kepada perempuan di sebelahku, ”Aku akan tidur dulu.”
Baca juga : Riwayat Seekor Babi
Tidak ada jawaban. Aku tak sempat menoleh ke arahnya. Aku jatuh tertidur. Ketika bangun, cahaya matahari jatuh di atas tubuhku. Aku merasakan kehangatan yang damai. Batang bunga raksasa itu masih ada di sana, tidak ada perubahan sedikit pun. Perempuan di sebelahku masih terlelap. Aku membangunkannya dengan menggoyang-goyangkan bahunya. Setelah aku mengguncang dengan agak keras, ia mulai bereaksi. Ia merasakan ketidaknyamanan. Akhirnya, ia terbangun sepenuhnya walau dengan mata yang masih terpejam.
Aku bangkit berdiri dan mendongak ke atas. Silau. Sinar matahari menghalangi penglihatanku memandang kelopak bunga raksasa itu. Selanjutnya, dengan kedua tangan yang kusatukan membentuk payung dan kuletakkan di kening, aku melihat ke atas. Kelopak itu terbuka. Mekar seutuhnya. Lapisan-lapisan kelopak itu tindih-menindih.
”Apa yang akan terjadi dengan bunga sebesar ini?” Perempuan itu sudah berdiri di sampingku.
”Seperti wabah, bunga itu akan tetap akan di sini.”
***
Farras Pradana, mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta. Saat ini sedang mempersiapkan buku kumpulan cerpennya yang pertama.