Mengikuti Jejak Mina Guli Berlari demi Lingkungan yang Lebih Baik
Mina Guli mengajak seluruh dunia berlari atau berjalan kaki demi menyelamatkan sungai yang mengaliri setiap kota, juga seluruh pelosok Bumi, pada 1-5 Juni ini.
Neli Triana
Kerumunan selalu menarik perhatian. Meniupkan pesan positif di sana, aksi baik pun bisa merebak menjangkiti publik dan berdampak luas. Fenomena itu pula yang dimanfaatkan Mina Guli yang mengajak seluruh warga dunia berkerumun secara daring dan luring demi membuka mata publik tentang kondisi sungai di sekitar mereka dan tergerak untuk menyelamatkannya.
”World River Run-Mina Guli. Ramein yuk,” bunyi pesan pendek berantai yang diterima melalui aplikasi percakapan beberapa pekan lalu. Tautan yang menyertai teks singkat itu kemudian mengabarkan ajakan untuk berlari atau berjalan kaki sesuka hati pada 1-5 Juni 2022 ini.
Tanggal 1 Juni yang bertepatan dengan Global Running Day atau Hari Lari Sedunia dipilih sebagai awal mula kegiatan. Tanggal 5 Juni yang juga World Environment Day atau Hari Lingkungan Hidup Sedunia menandai pengujung kegiatan World River Run tersebut.
Setiap peserta diminta menyisihkan waktunya untuk berlari atau berjalan kaki dalam beberapa hari itu dan mendedikasikannya bagi kampanye penyelamatan satu sungai tertentu. Bebas memilih sungai yang didukung pelestariannya. Target jarak lari atau jalan kaki disesuaikan dengan kemampuan masing-masing, pun bisa memilih berkegiatan sendiri atau berkelompok.
Namun, mengapa harus lari atau jalan kaki untuk sungai?
Baca juga: Wajah Gentrifikasi di Seputaran Sarinah
Mina Guli, perempuan asal Australia yang memelopori World River Run, meyakini kegiatan sederhana, sehat, dan bisa dilakukan oleh hampir semua orang di berbagai belahan Bumi dengan mengusung pesan khusus akan mampu menarik perhatian di tingkat global.
Semasa kanak-kanak dan remaja, Mina Guli bukanlah atlet dan tak suka olahraga. Saat menjadi mahasiswa, ia mengalami kecelakaan dan divonis tidak bisa berlari. ”Saya bisa saja terus di sofa dan makan piza. Tetapi, saya melihatnya justru sebagai kesempatan untuk menetapkan ulang hal-hal yang membatasi saya,” katanya seperti dikutip dari situs Mina Guli.
Guli lantas memilih berenang, bersepeda, dan lari setiap ada waktu luang di tengah pekerjaannya. Dari menekuni profesi pengacara, Guli merambah bidang investasi infrastruktur dan privatisasi, kemudian tak sengaja tertarik pada isu perubahan iklim.
Pada 2012, Guli mendirikan lembaga nirlaba Thirst yang fokus pada isu air bersih. Merasa usahanya belum cukup, ia mengawinkan kepeduliannya pada lingkungan dengan hobinya berolahraga. Lahirlah ide kampanye publik terkait krisis air bersih global sembari berlari. Pada 2016, Guli menyelesaikan 40 maraton melintasi tujuh gurun di tujuh benua dalam tujuh minggu. Itu adalah kali pertama terjadi dunia.
Baca juga: Melihat Lebih Dekat Fenomena ”Kota Hantu”
Sejak itu, lari sembari kampanye lingkungan terus digulirkan Mina Guli. Pesan khususnya adalah krisis air bersih dunia akibat penggunaan berlebihan; kerusakan lingkungan akibat ulah manusia yang turut merusak sumber air, termasuk di sungai-sungai; dan dampak perubahan iklim. Perlu tindakan di tingkat lokal dan global secara massal untuk mengatasinya.
Peserta beraktivitas di lokasi masing-masing menjadikan gerakan ini lebih mudah diakses dan murah. Diyakini pula model seperti ini ramah lingkungan karena tidak perlu bepergian jauh dan menambah emisi karbon. Selain itu, mendedikasikan aksi global untuk wilayah lokal berpotensi secara serentak memunculkan kesadaran akan kondisi krisis lingkungan yang dihadapi bersama.
Memang, belum menjadi jawaban atas pertanyaan apakah aksi Mina Guli selama 10 tahun ini sudah membuahkan hasil.
S ikap masyarakat ataupun pemegang kebijakan belum sepenuhnya berubah lebih baik dalam memperlakukan sungai.
Mina Guli telah digandeng Bank Dunia dan World Economic Forum serta masuk dalam komunitas pemimpin muda global (Young Global Leaders/YGL) yang berkomitmen mengubah tempat hidup 7,8 miliar manusia menjadi lebih baik. Meskipun demikian, di tengah peningkatan kesadaran global akan kondisi krisis lingkungan, kerusakan alam termasuk sungai-sungai penuh limbah dan terbatasnya akses air bersih di berbagai wilayah terus terjadi. Bahkan, di sebagian kawasan kondisinya justru kian memburuk.
Hal itu pada akhirnya direspons dengan berbagai jurus kampanye asyik sembari mengabarkan buruknya kondisi lingkungan masih terus dibutuhkan, sekaligus tak putus mendongkrak kesadaran publik agar menjadi peduli pada alam sekitarnya.
Indonesia menjadi contoh betapa penanggulangan isu lingkungan masih kedodoran. Hampir semua sungai, misalnya, dalam kondisi mengenaskan, terlebih yang melintasi kawasan perkotaan. Upaya baik yang dimulai dengan membenahi Sungai Citarum pun masih terus diuji konsistensi dan keberlanjutannya,
Pada 2009, penelusuran dari salah satu mata air Ciliwung di Puncak, Bogor, Jawa Barat, sampai ke Teluk Jakarta, tim Ekspedisi Ciliwung Kompas menjumpai kotoran manusia, popok bayi, berbagai sampah rumah tangga, kasur, sofa, bangkai tikus dan kerbau, juga sisa industri, seperti tahu dan tekstil, ”tumpah ruah” di badan sungai. Berbagai limbah itu dialirkan lewat pipa-pipa paralon ataupun parit dari rumah warga dan tempat industri yang bermuara di bibir kali. Ada juga yang langsung melemparkan bungkusan plastik berisi sampah ke sungai.
Setelah 13 tahun berlalu, fenomena jorok itu tidak berubah. Meskipun kini secara fisik sebagian badan Ciliwung terasa lebih lega berkat sentuhan program pengerukan, pelebaran, serta pembetonan badan kali, arti sungai sebagai tempat sampah ternyata masih melekati sebagian masyarakat Ibu Kota dan sekitarnya.
Temuan lapangan dari kegiatan Ekspedisi Sungai Nusantara (ESN) oleh Yayasan Konservasi dan Lahan Basah (Ecoton) tahun ini mempertebal fakta lemahnya perhatian pada sungai. Tak hanya Ciliwung, tetapi juga sungai-sungai lain di Indonesia. ESN berlangsung sejak 26 Maret lalu hingga sekitar setahun ke depan dengan menyasar 68 sungai dari Aceh sampai Papua. Kegiatan ini didukung lembaga riset ataupun pelestari sungai di setiap daerah sasaran.
ESN menemukan mikroplastik di Ciliwung dan diyakini kandungan serupa ada di sungai di daerah lain pula. Temuan mikroplastik menjadi lumrah dan tak terhindarkan lagi sebagai buah bertahun-tahun membiarkan setiap aliran sungai sebagai tempat sampah raksasa.
Baca juga: Cara Hidup Perkotaan yang Khas dan Melenakan
Fakta tersebut menunjukkan sikap masyarakat ataupun pemegang kebijakan belum sepenuhnya berubah lebih baik dalam memperlakukan sungai. Padahal, selain dapat menjadi sumber air bersih sekaligus penjaga keseimbangan lingkungan, sungai yang lestari dapat menyembuhkan kota yang lara karena polusi hingga menekan potensi banjir dan banyak bencana lain.
Namun, pemerintah tidak bisa sepenuhnya menjadi tempat bergantung dalam upaya memulihkan sungai. Perlu andil publik yang bisa ditempuh dengan berbagai cara.
Di perkotaan dengan tingkat penduduk berpendidikan tinggi dan ekonomi menengah ke atas yang cukup mendominasi, paparan informasi dan gaya hidup sehat sebenarnya telah diserap lebih baik. Di sinilah kegiatan olahraga menjadi celah masuknya kampanye hidup sehat sekaligus sadar lingkungan. Sebagian masyarakat kini juga bangga memamerkan gaya hidup sehat dengan mengunggah foto ataupun video saat berolahraga. Komunitas berbasis kegiatan olahraga seperti bersepeda dan lari tumbuh menjamur.
Menunggangi tren gaya hidup urban dan memanfaatan keriuhan di dunia nyata juga dunia maya itu, aksi seperti penyelamatan lingkungan di tingkat global ataupun lokal disisipkan dan digaungkan.
Baca juga: Kisah Lebaran Rasdullah Si Tukang Becak Calon Gubernur
Gerakan global dengan aksi di tingkat lokal ini senada dengan “Panduan bagi Si Pemalas untuk Menyelamatkan Dunia” dari program Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG). Menurut panduan SDG itu, ada empat tingkatan menjadi individu ramah lingkungan. Empat level itu dimulai dari diri sendiri, di rumah atau keluarga inti, di lingkungan rumah, dan di tempat kerja.
Panduan itu mengajak mulai dari mengurangi penggunaan energi berlebihan, naik angkutan umum, berjalan kaki, berbelanja sesuai kebutuhan bukan keinginan, sampai menekan pemakaian kertas. Lari dan jalan kaki selaras dengan panduan tersebut karena keduanya termasuk olahraga yang paling ramah lingkungan.
Selain tidak perlu pakaian khusus, biaya memulai jalan kaki dan lari ini ringan, bahkan bisa tanpa anggaran. Olahraga ini tak butuh lokasi khusus karena bisa dilakukan di dalam rumah dan sekitar rumah. Pakai saja baju dan alas kaki yang ada di rumah, pilih yang paling nyaman untuk bergerak dan berkeringat. Tidak harus juga punya alat treadmill sendiri. Tinggal buka Youtube atau situs resmi panduan lari dan jalan kaki, olahraga di rumah makin asyik sembari menonton film atau mendengarkan musik.
Hanya semangat yang butuh dipupuk agar niat berolahraga sembari ikut berperan menyelamatkan Bumi terwujud. Yuk, jangan kalah dengan Mina Guli.
Baca juga: Catatan Urban