Melihat Lebih Dekat Fenomena ”Kota Hantu”
Fenomena ”kota hantu”, kawasan penuh gedung tinggi dan perumahan minim penghuni, tak hanya ada di China, tetapi juga di negara lain. Ini dampak ketika urbanisasi dan konstruksi dimotori utang menjadi katalis pertumbuhan.

Deretan rumah siap huni terhampar di lahan luas. Di kawasan lain, gedung-gedung tinggi bermunculan. Bangunan-bangunan itu bertumbuhan di tanah-tanah kosong, bekas rawa, atau sawah. Di seputar Jakarta dan kota besar lain, seperti Bandung dan Surabaya, fenomena tersebut jamak ditemui. Daerah lain pun sigap mengikutinya, seperti menyalin begitu saja apa yang terjadi di Jakarta.
Selain di media massa dan media sosial, papan-papan iklan raksasa terutama di sepanjang ruas tol mempertontonkan rumah tapak cantik, unit apartemen modern, sampai tempat bisnis nan elegan. Tak melulu ditawarkan sesuai fungsinya, kepemilikan properti itu lebih sering dikaitkan sebagai investasi yang menjanjikan keuntungan berlipat ganda. Berita antrean membeli rumah atau apartemen sudah tak mengherankan lagi.
Hasilnya, sebagian unit properti yang ditawarkan, terutama oleh pengembang-pengembang besar ternama, ludes terjual. Sebagian lagi yang dikelola pengembang lebih kecil masih harus berjuang memasarkan propertinya.
Di sisi lain, proyek properti mangkrak sebenarnya juga cukup banyak ditemui. Banyak pula properti yang laris manis terbeli atas nama investasi dan dibiarkan kosong atau ternyata tak laku untuk disewakan. Akibatnya, muncul kawasan-kawasan perumahan anyar yang melompong kosong bak ”kota hantu”.
Gejala ini mirip yang terjadi di China. Fenomena ”kota hantu” di China yang foto, gambar, dan ulasannya banyak dibicarakan publik dunia hingga menjadi bahan riset serius muncul sejak awal tahun 2000. Sampai memasuki dekade ketiga saat ini, fenomena tersebut terus menjadi perdebatan. Apakah ini kegagalan pembangunan dan pengembangan kawasan urban baru atau justru sebaliknya.
Baca juga: Cara Hidup Perkotaan yang Khas dan Melenakan

Perumahan baru di Kabupaten Lebak, Banten, yang menghampar di lahan seluas lebih dari 1.000 hektar dengan panorama Gunung Karang. Pengembang terus membuka lahan baru untuk membangun kluster baru meskipun tingkat hunian di tiap kluster eksisting masih amat sedikit dalam sepuluh tahun terakhir, April 2022.
Ghost Cities of China, buku hasil riset Wade Shepard (2015), mengulas ”kota hantu” yang disebutnya dibangun dengan tema kawasan urban maju di dunia. Proyek di Huizhou, Provinsi Guangdong, misalnya, menyerupai Hallstatt di Austria. Di Huizhou dikumandangkan rekaman kicauan burung dan lagu latar ”The Sound of Music” semata demi memberi suasana Hallstatt. Namun, di dalam setiap gedungnya gelap karena tidak ada yang tinggal di sana.
Per 2020, tercatat ada sekitar 50 proyek yang berakhir menjadi ”kota hantu” dengan lebih dari 60 juta unit properti di dalamnya. Laporan Nikkei Asia 9 Februari 2022 menyebutkan, kondisi itu membuat gelembung real estat di China terlihat jelas. Nikkei condong melihatnya sebagai kegagalan pembangunan kawasan urban serta pusat pertumbuhan ekonomi baru. Salah satu bukti yang dipaparkan adalah dihentikannya proyek di Kunming, Provinsi Yunnan.
Hal berbeda diulas Bloomberg pada September 2021 tentang distrik baru di Binhai, Zhengdong, yang mulai dihuni setelah bertahun-tahun hampa tanpa manusia menghuninya. Sebelumnya, Distrik Pudong di Shanghai lebih dulu sukses besar. Hal itu disebut Bloomberg sebagai mulai terkikisnya fenomena ”kota hantu” China walaupun masih jauh dari tuntas.
Media tersebut memaparkan ketika ekonomi terus bergeser jauh dari pertanian, urbanisasi, dan konstruksi menjadi katalis kembar dari pertumbuhan China. Pada 1978, hanya 18 persen penduduknya tinggal di kota, tetapi pada 2020 angka itu berubah mencapai 64 persen. Kini, minimal ada 10 kota besar di sana dengan masing-masing dihuni lebih dari 10 juta penduduk.
Saat ini, sepersepuluh populasi dunia tinggal di kota-kota China. China pun berhasil menjadi kaya serta maju, sejajar dengan Amerika Serikat, Rusia, dan sebagian negara Eropa.
Jika bukan langsung dari pertanian atau pertambangan, dari mana sumber-sumber ekonomi untuk memutar hidup di proyek kota baru? Utang adalah jawabannya.
Baca juga: Mudik, Kangen-kangenan sembari Mengakrabi Kota Asal

Lanskap Jakarta dilihat dari ketinggian salah satu kompleks mal dan apartemen di Jakarta Selatan. Tren pembangunan gedung tinggi untuk hunian dan perkantoran kian menjamur di Ibu Kota.
Di China, sudah menjadi kebijakan umum negara memulai skema pembangunan raksasa. Pemerintah daerah ikut serta dengan tujuan meningkatkan keuangan lokal melalui penjualan tanah kepada pengembang dan kelak jika berhasil ada potensi banyak pembayar pajak baru.
Kekuatan negara memberi dorongan awal kehidupan di kota-kota baru China. Biasanya, kantor pemerintah dan perusahaan milik negara yang pertama pindah ke kawasan urban baru. Pusat konferensi, stadion olahraga, dan museum mengikuti, kadang bersamaan dengan pembangunan perumahan, sekolah, dan simpul transportasi publik, termasuk stasiun kereta api berkecepatan tinggi. Baru setelahnya, pemerintah daerah menarik investasi swasta.
Sejak awal disadari kawasan pengembangan baru memang akan kosong selama beberapa waktu. Namun, seiring cepatnya derap perkembangan di China, ditargetkan kekosongan itu tidak akan terlalu lama terjadi.
Untuk memulai proyek-proyek ini berarti mengambil utang. Ledakan konstruksi berbahan bakar properti yang menopang pemulihan pandemi China pada 2020, seperti ditulis Bloomberg, dibiayai 3,75 triliun yuan atau sekitar 580 miliar dollar AS dari pinjaman pemerintah daerah. Bank pemerintah dan swasta tentu berandil besar di sini.
Jutaan warga yang berhasil ditarik sebagai konsumen pun rata-rata meminjam ke bank untuk membeli properti, baik yang akan digunakan maupun sebagai investasi. Pinjam meminjam beserta bunga berbunganya dan aneka komisi untuk pembiayaan jual beli properti diharapkan terus berputar dan menjadi sumber ekonomi, baik di tingkat individu, pemerintah daerah, maupun negara.

Proyek pembangunan perumahan baru di kawasan Serpong, Tangerang Selatan, Banten, Rabu (22/4/2015).
Michael Batty dalam jurnalnya menyatakan, ada kekuatan besar yang melatari kebijakan China. Sejak awal disadari, kawasan pengembangan baru memang akan kosong selama beberapa waktu. Namun, seiring cepatnya derap perkembangan di China, ditargetkan kekosongan itu tidak akan terlalu lama terjadi. Ibaratnya, berhemat dengan sengaja membeli pakaian anak yang berukuran lebih besar. Seiring pesatnya pertumbuhan anak, baju longgar itu segera pas di badan.
Hanya saja tak semua seindah yang direncanakan. Permintaan pasar yang diharapkan akan tumbuh cepat terkadang tidak terjadi. Ada pula rencana besar, seperti upaya menciptakan magnet ekonomi di suatu lokasi baru berupa pusat teknologi informasi, pusat jasa, pusat perdagangan internasional, dan lainnya, yang meleset karena tiba-tiba target itu bergeser ke tempat lain.
Akibatnya, area pengembangan pendamping, seperti hunian, fasilitas publik, sampai simpul transportasi, pun mandek tak jadi dilirik publik. Kota-kota hantulah yang muncul kemudian.
Namun, beberapa keberhasilan kota baru di China telah didengungkan ke seluruh penjuru dunia. Silau oleh klaim itu, negara lain latah menirunya. Indonesia tak ketinggalan. Bermitra dengan pelaku bisnis serupa di dalam negeri, pengembang dan bank asing mulai banyak turun gunung meramaikan berbagai proyek pembangunan kawasan baru di berbagai lokasi di seputar Jakarta juga di daerah lain.
Kondisi tersebut dimungkinkan terjadi di tengah derasnya arus informasi di era kemajuan teknologi diiringi arus kapital dari satu kawasan ke kawasan lain dan kerja sama antarpemegang kebijakan di dalam negeri maupun antarnegara.
Baca juga: Kisah Lebaran Rasdullah Si Tukang Becak Calon Gubernur

Kawasan perumahan Serpong Natura yang sedang dibangun dan dikembangkan di Gunung Sindur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (3/4). Gunung Sindur menjadi salah satu daerah yang kini mulai banyak diserbu pembangunan perumahan.
Dalam The Rise of the Network Society, jilid pertama dalam trilogi buku Manuel Castells, dinyatakan globalisasi dan revolusi teknologi telah bergabung membentuk masyarakat jaringan yang kekuatan transformasinya sangat kolosal. Ini bentuk kapitalisme baru yang menghasilkan kota jenis berbeda, yaitu berkembangnya bentuk spasial baru megakota dalam berbagai konteks sosial dan geografis yang tak terbayangkan sebelumnya. Kota baru dapat tumbuh di padang pasir gersang, menggusur perkebunan dan sawah, atau mereklamasi laut.
Kota-kota itu adalah simpul-simpul ekonomi global, yang memusatkan fungsi-fungsi terarah, produktif, dan manajerial di seluruh planet. Termasuk di dalamnya turut mengontrol media, politik kekuasaan turut bermain, serta kapasitas menciptakan dan menyebarkan pesan yang diinginkan pemegang modal ataupun penguasa.
Perekonomian global yang muncul dari produksi dan persaingan berbasis penguasaan informasi dan modal ini dicirikan adanya saling ketergantungan, regionalisasi, meningkatnya diversifikasi di setiap wilayah, ada inklusivitas tetapi selektif, pun ada segmentasi eksklusif.
Kisah kelam
Walakin, didukung uang dan kuasa, tak selamanya tren global itu tumbuh dan bertahan. Iming-iming kota baru berkorelasi dengan harga properti yang terus naik juga tidak tepat. Kasus Evergrande di China contohnya. Pada September tahun lalu, terkuak perusahaan itu gagal bayar utang 308 millar dollar AS. Proyek propertinya mangkrak, nasib banyak pembeli, investor kecil, dan pemasok barang yang terkait dengan Evergrande tak jelas.
Baca juga: Jurnalisme Urban untuk 7,9 Miliar Penduduk Bumi

Foto udara lautan proyek properti di Pulau D atau kawasan Pantai Maju, pulau hasil reklamasi di utara daratan Jakarta, Jumat (13/3/2020). Ada tiga pulau yang telah berubah nama menjadi pantai itu adalah Pantai Kita (Pulau C), Pantai Maju (Pulau D), dan Pantai Bersama (Pulau G). Sementara Pulau N belum bernama.
Investor asing ketar-ketir dan kasus ini pun dinilai berdampak secara internasional. Padahal, sebelumnya Evergrande yang dapat membangun 600.000 rumah per tahun ini jadi incaran investor. Sampai Mei 2022, seperti berbagai laporan di South China Morning Post, kasus Evergrande masih berdampak buruk di sana.
Kebijakan pembangunan properti yang tak melulu demi memenuhi kebutuhan hunian, tetapi sebagai ”peternak” uang pernah memicu krisis di AS pada 2008. Akibatnya, ratusan ribu hingga jutaan warga AS terdepak dari rumahnya karena tidak sanggup membayar kredit atau hipotek.
Di Indonesia, proyek kota baru ala China kian masif muncul dalam 10-15 tahun terakhir. Sebagian berhasil baik dan terus menarik minat konsumen sampai saat ini.
Namun, skandal terkait properti juga jamak terjadi walau skalanya jauh lebih kecil dibandingkan di China atau AS. Pada 2017-2018, Komisi Pemberantasan Korupsi membongkar korupsi dan kejahatan korporasi melibatkan jajaran pimpinan daerah Kabupaten Bekasi hingga Provinsi Jawa Barat serta pihak pengusaha pengembang kawasan properti di Cikarang. Iklan pemasaran yang sangat masif menarik minat berbagai kalangan lintaskelas sosial.
Baca juga: Sejarah Ibu Kota Negara: Simbol Representasi Bangsa yang Cenderung Elitis

Foto udara pembangunan proyek Meikarta milik Lippo Group di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, Sabtu (13/5/2017). Proyek Meikarta dirancang sebagai kota baru yang akan dibangun 100 gedung sebagai kawasan hunian, perkantoran, hotel, pusat belanja, dan area komersial.
Di luar itu, di Jakarta dan sekitarnya, sudah ada proyek apartemen yang arus keuangannya terganggu sampai terbelit sengketa tanah. Pembelinya kelabakan setelah proyek terhenti, tetapi uang sulit diminta kembali. Ada pula kawasan-kawasan perumahan ditinggalkan hingga rusak ditumbuhi tanaman liar karena pembeli tak kunjung datang dan bank tak jadi mengucurkan modalnya.
Meskipun demikian, Batty melihat kebijakan urbanisasi di China yang ditiru negara lain sekarang disejajarkan sebagai eksperimen urbanisasi yang dinamis.
Kebijakan kota baru diiringi fenomena ”kota hantu” yang menapaki dekade ketiganya diyakini membuka kemungkinan munculnya strategi lain terkait urbanisasi. Hal ini karena proses menjadi kota telah menjalar ganas ke seluruh bumi dan tak terhentikan. Telah terlihat ada efek besar positif maupun negatif dari proses tersebut dan perlu banyak riset serta belajar dari pengalaman untuk antisipasi potensi dampak terburuk.
Baca juga: Catatan Urban