Cara hidup perkotaan menawarkan kebebasan berekspresi dan ruang hidup yang tepat untuk menjadi diri sendiri. Tak heran, meskipun banyak orang tak suka sesak dan kacaunya kota, mereka selalu kembali dan menetap di sana.
Oleh
NELI TRIANA
·4 menit baca
Beberapa hari sebelum Lebaran tiba, seorang teman memastikan akan mudik. Baginya, kampung halaman selalu dirindukan dan ia pasti pulang setidaknya setahun sekali untuk merayakan Idul Fitri di sana. Meskipun demikian, ia menegaskan tidak ingin kembali ke kota asalnya kelak jika sudah pensiun.
Ia telah kerasan tinggal di tetangga ibu kota sembari setiap hari pulang pergi untuk bekerja di Jakarta seperti yang telah dijalaninya belasan tahun terakhir. Kota besar ini memang macet, padat, tak beraturan. Namun, kota yang sama telah membuka peluang bekerja di bidang yang ia suka. Hasratnya terpenuhi di kota itu.
Di lingkungan tempat tinggalnya kini, tetap ada kegiatan bersama, tetapi tidak terlalu merepotkan karena tidak sesering di kampung. Jika sewaktu-waktu ia sedang tak ingin bersosialisasi, tinggal absen dari kegiatan komunitas tanpa ada rasa sungkan.
”Dari jauh begini juga malah bisa jaga hubungan baik dengan keluarga besar. Coba kalo tinggal berdekatan, apalagi serumah dengan keluarga di kampung, potensi konfliknya tinggi. Enggak ikutan arisan atau kegiatan keagamaan bareng saja bisa jadi omongan keluarga dan tetangga,” katanya.
Memuja kebebasan dan menjadi individualis adalah bagian dari sifat masyarakat perkotaan. Filsuf Jerman, Georg Simmel yang juga salah satu pencetus sosiologi sebagai cabang ilmu tersendiri, dikenal dengan salah satu gagasanya yang menyatakan pertukaran dan interaksi masyarakat di kota metropolitan modern meningkatkan kapasitas individu untuk membebaskan dirinya dari kumpulan padat hubungan sosial tradisional.
Lanskap Jakarta saat senja dilihat dari atap Gedung BNI, Jakarta,
Bagi Simmel, kota adalah tempat untuk memanen pengalaman beragam yang menakjubkan. Di kota, setiap insan dihadapkan pada rangsangan berlebihan dari lingkungan sekitarnya. Mulai dari kepenuhsesakan, kebisingan, cahaya terang menerus sepanjang hari hingga malam, selalu berada di tengah orang banyak asing meskipun intensitas keeratannya longgar, juga terbiasa terlibat bekerja dalam durasi panjang hanya dengan mesin atau alat elektronik.
Individu di perkotaan, kata Simmel, tidak bisa hanya mereproduksi perilaku yang diwariskan, tetapi harus beradaptasi untuk menghadapi dan mengatasi stimulasi berlebihan yang menerus menerpanya. Pada akhirnya, setiap orang dipaksa membuat pilihan. Kaum urban pada akhirnya rata-rata dapat beradaptasi dengan cara yang berbeda, salah satunya sukses menjadi individualis.
Namun, bukan berarti orang metropolis selalu antisosial. Insting sebagai makhluk sosial dan jati diri sebagai individualis membuatnya cenderung senang berkelompok dengan orang-orang yang memiliki kesamaan pemikiran, hobi, latar belakang kampung halaman, tempat bekerja, dan banyak lagi. Tidak heran banyak komunitas bermunculan dari komunitas sepeda sampai paguyuban warga Gunung Kidul, pehobi sepatu roda sampai persatuan tukang ojek daring.
Penghuni kota memiliki jaringan hubungan sosial lebih besar, tetapi ikatannya lebih lemah karena dangkalnya pengetahuan atas satu sama lain. Pada akhirnya, orang lain dianggap sebagai sarana untuk pencapaian tujuan kita sendiri. Interaksi didorong oleh kepentingan individu.
Sosiolog perkotaan Louis Wirth, dalam jurnal terkenalnya ”Urbanism as a Way of Life” yang terbit di American Journal of Sociology (1938), mendefinisikan kota melampaui struktur fisik kota, produktivitas ekonominya, dan karakteristiknya.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Hunian semipermanen berlatar belakang apartemen di Waduk Pluit, Jakarta Utara, Selasa (16/11/2021). Menurunnya kemampuan ekonomi rumah tangga akibat dampak Covid-19 telah menyebabkan perubahan pola konsumsi penduduk, terutama kelompok rentan atau miskin yang kurang beruntung dalam memenuhi kecukupan pangan.
Wirth berpendapat bahwa tiga karakteristik utama kota, yaitu populasi besar, heterogenitas sosial, dan kepadatan penduduk telah berkontribusi pada berkembangnya cara hidup perkotaan yang khas. Hal tersebut melahirkan kepribadian perkotaan serta penanda karakteristik masyarakat modern.
Karakteristik orang kota, menurut Wirth, dianggap lebih toleran secara sosial daripada orang perdesaan. Pada saat yang sama, orang kota lebih interpersonal dan tampaknya kurang ramah. Karakteristik ini buah dari adaptasi hidup di lingkungan perkotaan yang besar, padat, dan beragam secara sosial.
Mengenai variabel pertama, Wirth menunjukkan bagaimana kaum urban bergantung pada lebih banyak orang dalam kehidupan sehari-hari mereka daripada orang perdesaan. Penghuni kota memiliki jaringan hubungan sosial lebih besar, tetapi ikatannya lebih lemah karena dangkalnya pengetahuan atas satu sama lain. Pada akhirnya, orang lain dianggap sebagai sarana untuk pencapaian tujuan kita sendiri. Interaksi didorong oleh kepentingan individu.
Adapun kepadatan, Wirth menyoroti diferensiasi dan spesialisasi kegiatan ketika orang berkonsentrasi dalam ruang terbatas. Kota seberapa pun luasnya tetaplah kawasan terbatas yang dihuni oleh populasi luar biasa padat. Kepadatan menghasilkan perubahan dalam cara kaum urban mengidentifikasi orang lain dan bergerak di sekitar ruang kota.
Interaksi sehari-hari menghasilkan kedekatan secara fungsional, tetapi jauh secara sosial di antara orang-orang yang tidak memiliki ikatan emosional ini menumbuhkan semangat persaingan dan eksploitasi timbal balik. Efeknya, situasi ini juga dapat menghasilkan rasa kesepian, merasa tidak dihiraukan atau sekadar pemain cadangan, frustrasi menumpuk. Dampaknya, dapat sewaktu-waktu terjadi gesekan, iritasi, dan ketegangan antarindividu maupun antarkelompok.
Heterogenitas antara penduduk perkotaan cenderung menekankan perbedaan kelas. Karena tempat tinggal, tempat dan karakter pekerjaan, pendapatan dan fluktuasi kepentingan, kaum urban berkembang dalam kelompok-kelompok berbeda yang membentuk struktur sosial. Setiap kelompok cocok dengan segmen kepribadian dan minatnya. Pembagian kerja berjalan seiring dengan standardisasi proses dan produk serta mengikis preferensi individu.
Bagaimana memenuhi semua tuntutan kebutuhan masyarakat urban yang individualis dan senang berinteraksi hanya dengan kelompok pendukungnya saja? Ruang dan fasilitas publik mulai dari ruang rekreasi, pendidikan, kesehatan, dan budaya butuh disediakan melimpah. Dengan demikian, pemakaian bersama dimungkinkan tanpa harus mengorbankan hak individu atau kelompok-kelompok tertentu.
Kota-kota yang mampu membaca karakteristik gaya hidup urban dan memenuhinya, terbukti menjadi kota-kota yang maju. Ia menjadi lebih inklusif dengan setidaknya bisa menekan potensi gesekan antarkelompok masyarakat. Kota itu pun menjadi mesin ekonomi yang mumpuni dengan masyarakat yang lebih sejahtera.
Cara hidup perkotaan memang beda. Laksana candu, gaya hidup urban melenakan dan menjadi magnet penarik orang-orang untuk terus datang lalu menetap.