Kisah Lebaran Rasdullah Si Tukang Becak Calon Gubernur
Lebaran dan mudik mengingatkan Jakarta adalah kota para pendatang. Hal ini mengingatkan pada Rasdullah, tukang becak yang mencalonkan diri sebagai gubernur DKI. Ia bermimpi sosok pemimpin yang mewujudkan kota inklusif.
Lebaran tahun ini, tradisi mudik hidup lagi. Kepadatan Jakarta terurai seiring aliran deras jutaan warganya kembali ke kampung halaman masing-masing atau melancong setelah dua tahun terkunci pandemi Covid-19. Mereka telah menjadi bagian lebih dari separuh nyawa Ibu Kota. Nyatanya, tradisi ini selalu berhasil melengangkan dan meredupkan gemerlap Jakarta.
Dari sejumlah daerah, para pendatang mencoba peruntungan nasib di Jakarta. Jika merunut sejarah, migrasi orang dari daerah lain—bahkan negara lain itu—telah berlangsung sejak ratusan tahun silam. Setidaknya ketika Belanda menguasai Nusantara. Pasca-kemerdekaan Republik Indonesia, gelombang besar pendatang ke Jakarta terus terjadi hingga kini.
Selama beratus tahun hingga sekarang, migrasi tak henti membuahkan hasil serupa. Komposisi masyarakat pendukung kota terbesar di Indonesia ini begitu beragam. Jurus adu nasib mereka ada yang membuahkan sukses alias mapan hingga supermapan secara pengaruh dan finansial. Namun, ada pula yang sekadar bertahan dengan segala keterbatasannya. Bahkan, ada pula yang berujung menggelandang.
Menurut Badan Pusat Statistik seperti dikutip Kompaspedia, penduduk Jakarta sangat beragam. Hampir semua suku di Indonesia ”terwakilkan” di Jakarta dan tidak ada yang mendominasi hingga mendekati 50 persen dari seluruh jumlah penduduk. Suku Betawi yang disebut warga asli pun hanya 27,65 persen dari total penghuni Jakarta.
Dari sisi ekonomi, rata-rata pendapatan pekerja Ibu Kota memang tergolong paling tinggi se-Indonesia. Lebih dari 40 persennya disebut bisa mengantongi di atas Rp 10 juta per bulan. Meskipun demikian, Jakarta tak pernah lepas dari kemiskinan dan ketimpangan, berikut masalah yang menyertainya.
Susan Blackburn dalam Jakarta, Sejarah 400 Tahun memaparkan, pada 1950-an saja masyarakat yang sulit mengakses tempat tinggal layak dan pendapatan memadai sudah terlihat di tengah maraknya penataan di poros Sudirman-Thamrin dan proyek kota baru di Kebayoran Baru. Terbatasnya air bersih sampai transportasi publik layak menjadi isu urban yang melekati Jakarta sejak saat itu juga.
Pada masa kini, data Kementerian Keuangan menunjukkan, pada September 2020, dari total 10,56 juta penduduk DKI Jakarta, tercatat ada penambahan warga miskin 17.980 orang menjadi 496.840 orang. Tingkat ketimpangan yang ditunjukkan dengan rasio gini juga naik dari 0,391 pada September 2019 menjadi 0,40 pada September 2020. Jumlah pengangguran di Jakarta periode Agustus 2020 sebanyak 572.780 orang dengan tingkat pengangguran terbuka 10,95 persen.
Hingga Agustus 2022, menurut BPS Provinsi DKI Jakarta, pekerja pada sektor formal 61,74 persen, sedangkan sektor informal 38,26 persen. Angka ini menjelaskan bahwa dua dari lima pekerja di Jakarta adalah pekerja informal. Pekerja informal dekat dengan kegiatan ekonomi di luar aturan atau tatanan formal, seperti pedagang kaki lima, asisten rumah tangga, tukang becak, kuli bangunan, hingga tukang ojek.
Hal terpenting yang akan saya perbaiki adalah kehidupan rakyat miskin kota. Saya juga akan mengubah wajah Jakarta yang angker menjadi tempat yang aman, tenteram, dan adem ayem bagi penduduknya.
Warisan Rasdullah
Duapuluh tahun silam, tak lama usai krisis ekonomi diikuti reformasi di tubuh pemerintahan negeri ini, semangat demokrasi menyala terang. Salah satu di antaranya tampak dalam ajang pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2002-2007. Tukang becak Rasdullah ikut melihat peluang tersebut.
Rasdullah, pria kelahiran Cirebon, Jawa Barat, itu maju dalam bursa calon Gubernur DKI Jakarta. Ajang politik tersebut menjadi saluran menyuarakan kejengkelannya karena pekerja informal dengan rezeki seret seperti dirinya sering kali tak dihiraukan kebutuhan dan aspirasinya di Ibu Kota.
Kala itu, tercatat ada lebih dari 70 orang dengan berbagai latar belakang dan keahlian bertekad menjadi calon pemimpin Ibu Kota, karena ingin membawa perubahan bagi Jakarta. Rasdullah menjadi salah satu dari puluhan orang tersebut. Tahun 2002 itu, ia masih 38 tahun, sehari-hari narik becak dan masih hidup mengontrak bersama istrinya di tengah sesaknya Kampung Muara Baru di Jakarta Utara.
”Begitu saya terpilih, hal terpenting yang akan saya perbaiki adalah kehidupan rakyat miskin kota. Saya juga akan mengubah wajah Jakarta yang angker menjadi tempat yang aman, tenteram, dan adem ayem bagi penduduknya,” kata Rasdullah (Kompas, 21 Juni 2002).
Baca juga: Pekerja Perkotaan, antara Paksaan Mundur dan Revolusi ”Kerah Baru”
Motivasi terbesar Rasdullah mencalonkan diri menjadi gubernur karena ia kecewa pada kebijakan pemimpin DKI kala itu, yang melarang becak beroperasi di Ibu Kota. Pada masa itu, Jakarta tengah mempersiapkan revolusi sistem transportasi publik dengan menghadirkan bus rapid transit bernama Transjakarta yang akan diikuti penataan angkutan umum eksisting sebagai moda pendukung atau pengumpan.
Transjakarta kini telah berkembang pesat dan menjadi tulang punggung angkutan publik perkotaan di Jakarta yang diadopsi banyak kota lain di Indonesia. Namun, apakah angkutan tradisional atau nonmesin seperti becak memang harus lenyap dari kota modern?
Di kota-kota maju di dunia, angkutan nonmesin mendapat tempat tersendiri, baik berupa sepeda untuk dikayuh setiap individu maupun berbasis sepeda untuk bisnis pengantaran surat, orang, ataupun barang. Tentunya, moda bersumber energi si pengayuhnya ini memang tidak beroperasi sembarangan.
Pemerintah kota biasanya menyediakan jalur khusus sepeda. Untuk operasi jasa layanan angkutan kendaraan tak bermesin mirip becak, seperti rickshaw sampai sepeda dengan tambahan bak atau kontainer di bagian depan atau belakang, biasanya diatur hanya beroperasi di kawasan-kawasan tertentu atau melaju di jalur khusus sepeda.
Di sinilah pentingnya rencana tata ruang dan pengelolaan penggunaan ruang bersama perkotaan. Tidak ada yang boleh ada atau beroperasi di ruang yang tidak diperuntukkan baginya. Hal ini berlaku pula untuk usaha kecil di jalanan alias pedagang kaki lima, taman kota, sampai berdirinya bangunan pencakar langit.
Kenyataannya, dalam kacamata Rasdullah, nasib rakyat kecil, warga miskin, dan pekerja informal lebih sering dikorbankan dengan alasan penataan kota. Pada saat bersamaan, rakyat kecil dielu-elukan dan diiming-imingi janji manis jika suaranya diperlukan untuk mendulang dukungan dalam pemilihan pemimpin dan legislator di daerah maupun tingkat nasional.
Baca juga: Anak Muda dan Kekerasan, Sebuah Isu Kesehatan Masyarakat Global
Setelah 20 tahun berlalu, pola serupa masih terjadi. Dalam catatan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Koalisi Perjuangan Warga Jakarta (Kopaja), sampai 2022 ini saja ketidakkonsistenan kebijakan di DKI Jakarta masih terjadi. Terkait penataan kampung atau permukiman padat, keduanya mengkritik kebijakan ini kurang partisipatif.
Kritik lainnya terkait penanganan banjir di Jakarta yang disebut belum mengakar menyelesaikan penyebab banjir, seperti penataan sungai-sungai secara menyeluruh. Sampai sekarang, jangkauan air bersih maksimal hanya mencakup 62 persen wilayah Jakarta. Penataan kawasan juga belum berkeadilan. Contohnya, ada PKL yang ditampung di lokasi baru dan ditata rapi, ada pula yang justru kini dibiarkan lagi tumpah ruah di jalanan, trotoar, atau tempat tak semestinya.
Masyarakat awam, terutama kelas ekonomi lemah, disebut menjadi pihak paling dirugikan dengan ketidakkonsistenan tersebut.
Jakarta sekarang berkembang bersama kota-kota di sekitarnya. Aglomerasi Jabodetabek tak lain ekstensi dari Jakarta di masa lalu dan tetap menjadi sentra perputaran ekonomi utama Indonesia saat ini. Arus pendatang yang mengadu nasib kini tak lagi terpusat di Jakarta, tetapi ke wilayah Bodetabek. Namun, kesiapan infrastruktur publik di kota-kota tetangga Ibu Kota itu justru lebih buruk dari kota induknya.
Baca juga: Peperangan Membawa Kota pada Kesengsaraan Baru nan Kejam
Kini di tengah kegembiraan merayakan kembalinya tradisi mudik di Jabodetabek, siap atau tidak, saat arus balik nanti rutinitas ikutan berupa gelombang migrasi ke kawasan megapolitan ini juga berpotensi terjadi lagi.
Siapkah Jakarta, siapkah Jabodetabek, merangkul mereka bukan sekadar memeras tenaga kerja dengan upah rendah dan fasilitas publik seadanya? Siapkah para pemimpin dan pelaksana kebijakan mewujudkan aglomerasi Jabodetabek yang inklusif secara bertahap dalam 5, 10, dan 20 tahun mendatang?
Rasdullah sendiri telah meninggal pada 6 April 2022. Namun, pemikirannya tentang seorang pemimpin menjadi warisan yang layak diuri-uri alias dirawat. Dalam wawancara dengan Kompas yang diterbitkan 4 Juli 2002, ia lugas menjawab pertanyaan butuh sosok seperti apa untuk memimpin Jakarta agar menjadi kota yang mengayomi semua, terutama nyaman dan aman untuk orang-orang seperti dirinya.
”Pintar boleh. Tetapi tidak mutlak, yang penting bermoral. Kalau pemimpin hanya pintar membodohi dan membohongi rakyatnya untuk apa?” katanya. Dalam konteks kekinian, kriteria pemimpin ala Rasdullah turut berlaku untuk Jabodetabek bahkan nasional.
Lebaran kali ini turut digadang-gadang menjadi tonggak kebangkitan dari keterpurukan akibat pandemi. Diharapkan pula momentum ini menandai perubahan kepemimpinan serta kebijakan yang mementingkan kebutuhan rakyat banyak. Terlebih, situasi politik kini mulai menghangat menuju pemilihan kepala daerah dan presiden serentak pada 2024. Semoga semangat kebaikan akan membantu segera terwujudnya kota-kota dan negara yang inklusif.
Bersamaan dengan harapan itu, selamat mudik dan merayakan hari raya!
Baca juga: Catatan Urban