Kota Sepeda Amsterdam Setelah 50 Tahun
Menjadi kota sepeda dan kota masa depan yang berkelanjutan ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Amsterdam menapaki jalan berliku dan ada pengorbanan nyawa tak sedikit untuk mewujudkannya.
Pesepeda berseliweran di jalan-jalan. Banyak pesepeda, tua maupun muda, ringan mengayuh pedal menuju ke kantor, sekolah, pasar, atau restoran di tepi kanal menemui kekasih hati. Lokasi parkir sepeda ada di mana-mana. Sesekali, tram atau angkutan umum lain melaju di jalurnya, tak saling mengganggu dengan para pesepeda dan pejalan kaki. Mobil pribadi tetaplah ada, tetapi hanya di jalur yang diperbolehkan.
Gambaran itu selalu tertanam di memori dan menjadi kenangan menyenangkan atas Amsterdam. Sepeda dan Kota Amsterdam di Belanda ini memang tak terpisahkan.
Ibu kota sepeda di dunia, kota paling ramah pesepeda, kota berkelanjutan dengan dominasi kendaraan tak bermesin, sampai rujukan kota masa depan untuk Bumi yang lebih lestari. Semua julukan itu diberikan dengan rasa hormat kepada Amsterdam. Kota-kota lain berharap dapat menduplikasinya.
Yang tidak semua tahu, menjadi kota sepeda ternyata tidak semudah dibayangkan. Amsterdam menapaki jalan berliku dan ada pengorbanan, termasuk nyawa yang tak sedikit demi mewujudkannya.
Baca juga : Jurnalisme Urban untuk 7,9 Miliar Penduduk Bumi
Untuk memahami transformasi Amsterdam, tiga sekawan Fred Feddes, Marjolein de Lange, dan Marco te Brömmelstroet dalam artikelnya "Hard Work in Paradise: The contested making of Amsterdam as a cycling city" membawa pembaca kembali ke Belanda era tahun 1950an, tak lama setelah Perang Dunia II usai. Artikel Feddes dan dua koleganya itu termasuk salah satu artikel dalam buku The Politics of Cycling Infrastructure: Spaces and (In)Equality (2020).
Di kota besar lain di Eropa, menurut Feddes dkk, tingkat kesejahteraan yang melonjak seiring stabilnya kondisi politik pascaperang diiringi pembenahan area metropolitan dengan merobohkan bangunan, menutup saluran air juga anak-anak sungai demi mendapat ruang untuk memperbesar luas jalan. Tujuan utamanya agar mobilitas warga dan kegiatan ekonomi tak terkendala. Kendaraan bermotor pribadi roda empat melejit naik menjadi favorit sekaligus simbol status sosial masyarakat kala itu.
Entah mengapa, di masa yang sama, pengambil keputusan membiarkan kota lama Amsterdam tetap seperti sediakala dan membangun kawasan di tepiannya untuk memenuhi lonjakan permintaan tempat tinggal. Waktu berjalan, bagian kota Amsterdam yang lebih awal eksis tetap setia dengan jaringan jalannya yang relatif sempit. Masalah muncul ketika "demam" memiliki mobil pribadi turut menjangkiti warganya.
Pada 1971 di Amsterdam terjadi 3.300 kematian akibat kecelakaan lalu lintas. Sebanyak 400 korban tewas dari total jumlah itu adalah anak-anak. (The Guardian)
Wajah Amsterdam selama kurun 1950-awal 1970 itu disebut mengerikan. Di kota lama dan baru, rentetan parkiran mobil di tepi jalan ditambah lalu lalang kendaraan serupa membuat kota penuh sesak. Kota seluas kurang dari 220 kilometer persegi atau sekitar sepertiga luas Jakarta itu terasa tak karuan.
Pada saat bersamaan, banyak kaum muda dari berbagai daerah di Belanda pindah ke Amsterdam untuk melanjutkan pendidikan. Berbeda dengan mereka yang lebih dewasa dan lebih mapan, para pemuda pemudi ini menikmati tinggal di dalam kota dan tidak peduli pada mobil. Mereka bukan pemuja tram atau bus, angkutan alternatif selain mobil yang dipilih sebagian kelas pekerja untuk pergi dan pulang kerja.
Bagi mereka, meloncat ke atas sadel sepeda lalu mengayuhnya ke kampus, kuliah dan bertemu teman-teman, jauh lebih menyenangkan. Mandiri, merdeka, suka-suka dengan sepeda. Bonusnya, tubuh terasa bugar.
Dari sanalah, menurut Feddes dkk, gaya hidup bersepeda di Amsterdam muncul dan tak hanya digemari anak kuliahan, tetapi turut menulari ibu rumah tangga, anak sekolah, dan lambat laun turut menggoda kelas pekerja sampai warga lanjut usia.
Walau telah diterima sebagai gaya hidup yang asyik, tetap saja mobil mendominasi Amsterdam. Pemerintah dan masyarakat luas melihat sepeda sebatas hobi yang bakal tergerus seiring perubahan usia serta kesejahteraan seseorang.
Baca juga : PKL, antara Cinta dan Benci
Akan tetapi, persepsi publik perlahan berubah ketika angka kecelakaan lalu lintas yang melibatkan mobil naik pesat. Laporan The Guardian, pada 1971 di Amsterdam terjadi 3.300 kematian akibat kecelakaan lalu lintas. Sebanyak 400 korban tewas dari total jumlah itu adalah anak-anak.
Kehilangan anak-anak itu memicu warga Amsterdam sedih dan geram bukan kepalang. Mereka serentak turun ke jalan meminta pemerintah mengambil tindakan tegas mengatasi masalah itu. Unjuk rasa tersebut dikenal sebagai gerakan “Stop de Kindermoord” (hentikan pembunuhan anak-anak).
Unjuk rasa banyak diikuti warga dengan bersepeda, menutup lokasi-lokasi tertentu, mendengungkan penutupan jalan dari mobil agar anak-anak aman saat pergi dan pulang sekolah.
Awalnya, tuntutan warga hanya dijawab dengan dibangunnya woonerf atau gundukan di jalan atau di dekat tikungan. Kebijakan “polisi tidur” ini untuk menahan laju kendaraan bermotor. Publik yang tak puas menuntut lebih. Lahirlah desakan Amsterdam Fietst atau Sepeda Amsterdam.
Baca juga : Masa Depan Ibu Kota Negara
Pada 1978, masyarakat semakin tak tahan dengan kebijakan pemerintah yang pro kendaraan bermotor pribadi. Mereka menggelar unjuk rasa besar-besaran seminggu sebelum pemilihan umum dan meminta para politisi membangun negara Belanda berbasis kota ramah sepeda.
Perlu empat tahun sebelum Rencana Jaringan Sepeda ditetapkan. Secara prinsip, rencana ini meliputi dua pertiga dari semua jalan utama untuk jalur sepeda, menghubungkan jalur sepeda di semua ruas jalan utama maupun arteri hingga gang, mewujudkan kawasan-kawasan bebas mobil pribadi dengan menguatkan sistem transportasi publik dan fasilitas pejalan kaki juga pesepeda, serta menjadikan lahan parkir mobil sebagai ruang publik dan tempat untuk sepeda.
Sejak 1982 hingga saat ini, Feddes dkk menyatakan rencana induk menjadikan Amsterdam dan kota-kota lain di Belanda menjadi ramah sepeda sudah 95 persen tercapai. Namun, proses menjadi lebih baik dan berkelanjutan terus dilakukan.
Kanal “I Amsterdam” menyebutkan, penduduk Amsterdam kini bersepeda hingga 2 miliar kilometer per hari di sepanjang 767 kilometer jalur sepeda yang disediakan. Populasi sepeda di Amsterdam 1,5-2 kali lipat jumlah penduduknya. Sampai tahun 2020, ada sekitar 1 juta jiwa warga di kota utama atau sekitar 2 juta jiwa untuk seluruh area metropolitan Amsterdam.
Baca juga : Tren Kota Baru, Produk Komersial yang Melawan Urbanisasi
Belanda sendiri kini menjadi laboratorium untuk berbagai uji coba infrastruktur kota pendukung aktivitas bersepeda yang aman. Aturan serta teknologi baru terus digodok agar pesepeda tidak semena-mena di jalan, karena kian banyak pula kecelakaan maut melibatkan pesepeda yang ngebut. Selain itu, terus diupayakan pencegahan pencurian sepeda dan perilaku membuang sepeda ke ratusan kanal di sana.
Sejak 2020, Amsterdam mulai menerapkan kebijakan "Kota Donat" atau kota ekonomi sirkular (melingkar) dengan kota ramah sepeda menjadi salah satu pilarnya. "Kota donat" Amsterdam mengutamakan penggunaan produk ramah lingkungan, pemanfaatan kembali, daur ulang, dan mengurangi pemakaian produk baru di semua lini kehidupan. Tiga dekade ke depan atau pada 2050, Amsterdam menargetkan menjadi kota yang sepenuhnya sirkular.
Kini, Paris tengah memasuki tahap awal pembangunan menjadi kota ramah sepeda, pejalan kaki, dan angkutan umum dengan program “Kota 15 Menit” alias kemana-mana hanya perlu 15 menit saja. Sebagian kawasan kota pun mulai diubah menjadi taman serta hutan kota.
Program serupa dirintis pula di London dan kabar terakhir Brasilia di Brazil ikut dalam gerbong gerakan menuju kota kelas dunia yang berkelanjutan ini.
Baca juga : Menengok Banjir Jakarta dan Mimpi Aman Berenang di Ciliwung
Jalan panjang Sepeda Amsterdam maupun impian "kota donat" 2050 mengajarkan bahwa memang tidak ada proses kilat menjadi kota berkelanjutan. Program baru Paris maupun London pun disebut baru akan terlihat hasilnya paling cepat di 2030.
Bagaimana dengan Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Makassar, Denpasar, Jayapura?
Kaum urban perlu lebih memiliki andil dalam menentukan arah pembangunan kotanya. Berani berpendapat dan mesti berani memperjuangkan realisasi ide untuk kota yang lebih baik untuk semua warga. Banyak saluran resmi untuk mulai bersuara, ada media sosial, tergabung dalam kelompok untuk dapat melakukan aksi damai bersama, dan banyak pula kanal resmi disediakan oleh pemerintah.
Kota-kota di Indonesia juga butuh punya rencana induk dan peta jalan yang jelas pula untuk menentukan nasibnya di masa depan. Itu semua dapat diawali jika para wali kota dan bupati memiliki visi dan misi membangun kota berkelanjutan.
Baca juga : Catatan Urban