Globalisasi dan ”informationalization” adalah kunci tren global yang menentukan nasib kota-kota global di abad ke-21. Ibu kota negara, walau tidak identik sebagai kota besar metropolitan, turut dipengaruhi dua hal itu.
Oleh
NELI TRIANA
·4 menit baca
Kompas
Ilustrasi Ibu Kota Baru
Dunia digital yang kini berkembang pesat sudah sulit dipisahkan dari kehidupan nyata. Ruang pun dapat dikonstruksi ulang dan tak selalu membutuhkan tempat fisik. Manuel Castells dalam Space of Flows, Space of Place: Materials for Theory of Urbanism in the Information Age (1996) menyebutkan, manusia kini hidup dalam dua jenis ruang, yaitu ”ruang tempat” atau dunia fisik tradisional lingkungan dan simpul bisnis lokal tempat orang menjalani kehidupan sehari-hari serta ”ruang arus” atau jaringan arus telekomunikasi elektronik yang terkomputerisasi.
Kantor pusat dan cabang perusahaan multinasional bertukar informasi dalam jumlah besar secara global hanya dalam hitungan nanodetik. Arus barang, jasa, modal, dan khususnya informasi di antara kota-kota dalam jaringan kota dunia menjadi sama, bahkan lebih penting bagi perekonomian dan masyarakat seperti yang terjadi di dalam ruang tempat.
Kota-kota global mengokohkan diri dalam persaingan antar-sesamanya dengan berlomba makin maju dan adaptif menjadi pemain utama di ruang arus informasi. Identitas lokal juga nasional sering kali terkaburkan di ruang bermain baru tersebut.
Kini, perusahaan dan organisasi nonpemerintah dapat menjadi lebih powerful karena menguasai informasi dan teknologi informasi. Kota-kota global tempat para penguasa informasi ini bercokol pun sering disebut jauh lebih berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat dunia daripada pemerintahan resmi sebuah negara. Realitas baru yang terus menguat.
KOMPAS/SOVI ISNI ARDILA
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa tahun 2022-2024 menjadi awal langkah pemindahan ibu kota negara ke Penajam Paser, Kalimantan Timur.
Oleh karena itu, sempat muncul pemikiran, apakah ibu kota negara secara fisik dan monumental masih benar-benar diperlukan?
Sejarah mencatat, ibu kota negara memiliki multiwajah, peran, dan latar belakang kemunculan yang beragam. Ia juga memiliki fungsi pembeda dari kota lain di masa modern ini, yaitu meliputi administrasi, integrasi, performatif atau simbolisasi, serta pelestarian monumen budaya, sejarah, dan nilai budaya bangsa.
Namun, Scott Campbell dalam artikel ”The Enduring Importance of National Capital Cities in the Global Era” (2003) menyatakan, teori globalisasi menunjukkan kebangkitan jaringan transnasional kota-kota ekonomi global menantang sentralitas ibu kota negara tersebut. Tiga ancaman masa depan terhadap dominasi ibu kota nasional di masa lalu, meliputi kemunduran negara-bangsa sebagai penyedia kekayaan dan otoritas ibu kota nasional, naiknya kota-kota global sebagai alternatif ibu kota, dan pergeseran dari ibu kota fisik ke jaringan ibu kota virtual.
Pemikiran Peter Hall lebih dari satu dekade kemudian yang tertuang dalam artikel ”What is the Future of Capital Cities?” (2016) menyatakan, ada dua kunci utama tren global yang independen tetapi terkait erat, yaitu globalisasi ekonomi dunia dan informasionalisasi. Informasionalisasi ini, menurut Hall, kata yang buruk tetapi ia menggambarkan pergeseran ekonomi maju yang menjauh dari manufaktur menuju produksi jasa layanan pengelolaan informasi. Puncak hierarki kota-kota tidak lagi ibu kota negara, tetapi kota global yang memegang kedua kunci tersebut.
Pendapat Hall seperti meneguhkan pendapat Campbell bahwa orang bisa membayangkan geografi politik baru di luar ruang fisik yang terkonsentrasi di satu pusat kota. Era baru ini menggemakan kebangkitan kantor virtual dan perusahaan virtual, pemerintah pun seharusnya dapat mempertahankan sentralisasi kelembagaannya, tetapi secara spasial ada di mana-mana.
Pembentukan ibu kota baru harus dirancang sebagai peluang untuk berkembang menjadi ibu kota yang mampu eksis di ruang nyata dan ruang arus informasi demi mewujudkan potensi negara secara lebih maksimal.
Kota-kota global di dunia memiliki ikatan jaringan lebih kuat yang kadang melonggarkan ketergantungan ekonomi dan sosial mereka pada daerah pedalaman tradisional di negara asalnya. Kota-kota global tumbuh nyaris seragam dengan dominasi budaya dan infrastruktur layanan canggih yang terstandardisasi. Lihat saja menara-menara menjulang yang serupa, bandar udara modern di kota dunia saling menduplikasi, serta jaringan bisnis multinasional yang biasa ditemukan di kota-kota global.
Namun, Campbell, perencana kota dari University of Michigan itu, menyatakan, kekuatan politik nasional sangat kompleks dan ibu kota bukan hanya tentang administrasi teknokratis, tetapi juga tentang representasi kekuasaan. Bicara politik, terkadang masih diperlukan kontak tatap muka, pertemuan untuk lobi, proses kerjanya pun tidak berstandar khusus. Selalu ada keuntungan memanipulasi simbol sejarah nasional di ibu kota dan masih ada ketakutan bahwa tanpa fisik geografis pengaruh politik dapat lenyap.
Semua hal itu melemahkan upaya untuk menciptakan ibu kota negara yang murni virtual. Setidaknya, sampai abad ke-21 ini, menurut Campbell, orang lebih bisa menerima kebangkitan pasar virtual, perusahaan virtual, dan universitas virtual daripada pemerintah virtual.
Di sisi lain, selama negara-negara bangsa masih ada yang saling bersitegang bahkan berperang, mengontrol perbatasan, mengatur migrasi dan perdagangan, penerbitan mata uang, dan pemberian kewarganegaraan serta hak dan tanggung jawabnya, mereka tidak akan sepenuhnya menyerahkan kekuasaan mereka ke jaringan kota-kota global. Ibu kota negara secara fisik lengkap dengan simbol-simbol nasional tetap dibutuhkan ada.
Skenario yang lebih mungkin untuk ibu kota abad kedua puluh satu adalah hibrida dari kutub tunggal fungsi terpusat dan jaringan administrasi terdesentralisasi. Ibu kota di abad ini idealnya mampu memastikan hadir dan berpengaruh di ruang fisik dan dalam ruang arus informasi tanpa batas.
Ibu kota negara baru Malaysia, Putrajaya, menjadi contoh awal ibu kota yang dibangun dengan upaya untuk siap menghadapi ruang tempat dan ruang arus Castells yang nyaris tanpa sekat. Putrajaya dirancang menerapkan dokumen birokrasi berbasis internet dan bentuk komunikasi digital antarlembaga pemerintah. Putrajaya dirancang bukan sebagai kota sibuk seperti halnya Kuala Lumpur, tetapi IKN baru itu tetap penuh dengan bangunan monumental yang didirikan khusus untuk menghadirkan identitas bangsa secara fisik.
Berhasil tidaknya hibrida Putrajaya masih akan terus diuji seiring semakin majunya teknologi informasi.
GUNAWAN KARTAPRANATA
Sebaran sektor ekonomi di ibu kota negara baru.
Pesan bagi proyek ibu kota baru yang baru akan dimulai, seperti halnya di Indonesia, Mesir, dan lainnya, pembentukannya harus dirancang sebagai peluang berkembang menjadi ibu kota yang mampu eksis di ruang nyata dan ruang arus informasi demi mewujudkan potensi negara secara lebih maksimal. Di kedua ruang itu, fungsi ibu kota yang meliputi administrasi, integrasi, performatif atau simbolisasi, serta pelestarian monumen budaya, sejarah, dan nilai budaya bangsa harus dapat dioptimalkan. Pada saat yang sama, ibu kota negara yang baru hendaknya mengadopsi semangat dunia, yakni ramah lingkungan dengan menjunjung prinsip-prinsip mengurangi dampak buruk pada iklim.
Pada akhirnya, kesiapan suatu negara ”bermain” di kedua ruang itu menentukan berhasil tidaknya pembangunan di negara tersebut, termasuk kala memastikan ibu kotanya direlokasi. Tujuannya tentu bukan semata menjadi unggul atau mampu bersaing dengan kota-kota global, melainkan memastikan tak satu pun rakyatnya ditinggalkan dalam dunia yang kian dikuasai sektor swasta penguasa teknologi dan informasi.