PKL, antara Cinta dan Benci
Pedagang kaki lima telah menjadi bagian integral kota, dibutuhkan tapi juga sumber masalah. PKL perlu dikelola dengan mengayomi sesuai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, khususnya kota inklusif dan mengakhiri kemiskinan.
Gerobak beroda penjual martabak menempati sudut perjumpaan gang kecil dan jalan besar atau di depan gerai toko serba ada. Sembari menunggu pesanan diolah, pembelinya menunggu pesanan duduk di jok sepeda motornya. Pada saat yang sama, arus kendaraan di lokasi itu tersendat. Apalagi, gerobak martabak itu bukan satu-satunya penjaja di tepi jalan, sebut saja warung tenda pecel lele, ayam goreng tepung, tempe mendoan, aneka gorengan, dan lainnya.
Nyaris di banyak daerah di Indonesia, pemandangan serupa mudah ditemukan. Variasi dagangannya yang berbeda. Di ruas-ruas premium tiap kota saja pedagang kaki lima atau PKL nyaris tak ditemukan. Namun, tak perlu usaha keras untuk menemukan PKL di sekitar kawasan utama perkotaan.
Di Jakarta dan kota-kota sekitarnya, tengoklah di ujung jalan-jalan kecil di samping perkantoran swasta dan gedung-gedung pemerintah, usaha kecil yang lekat dengan keberadaan trotoar atau tepi jalan itu pasti eksis. Di luar itu, di sekitar pusat keramaian, seperti tempat wisata, sekolah, kampus, rumah sakit, stasiun, terminal, bahkan halte, menjadi favorit PKL.
Keberadaan para pedagang kecil tersebut bisa begitu menyatu dengan suatu kawasan sampai sulit membayangkan area itu tanpa mereka. Malioboro di Daerah Istimewa Yogyakarta, misalnya, identik dengan deretan PKL penjual aneka cendera mata di sepanjang trotoar dan emperan toko di sana. Ya, setidaknya itu memori tentang masa lalu Malioboro. Kini, dengan penataan PKL, citra Malioboro seperti sedang direkonstruksi.
Baca juga : Jurnalisme Urban untuk 7,9 Miliar Penduduk Bumi
Penataan PKL menjadi isu di hampir semua negara global selatan. Global selatan mewakili negara-negara yang hingga dua-tiga dekade lalu rata-rata termasuk negara miskin dan berkembang. Selain masalah kemiskinan, sebagian besar bekas jajahan negara Eropa itu dibelit masalah korupsi, pemerintahan yang kurang transparan, serta pemimpin dan kepemimpinan yang buruk.
Kini, negara global selatan tengah gencar membangun dan memoles semua kawasannya. Pusat pertumbuhan ekonomi dunia dan kota-kota baru saat ini ada di global selatan.
Bertambahnya masyarakat kelas ekonomi menengah ke atas serta berpendidikan tinggi turut memengaruhi pola pikir dalam pengelolaan kota. Hal-hal yang dulu dianggap biasa ada di kehidupan sehari-hari lambat laun makin dianggap isu serius yang harus diatasi. Kesemrawutan karena ”ledakan” PKL termasuk pekerjaan rumah yang sejauh ini belum dapat benar-benar diatasi di semua negara global selatan yang mencakup Asia, Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Latin tersebut.
Ada yang cenderung pro untuk mempertahankan PKL di lokasi-lokasi yang mudah diakses publik. Akan tetapi, banyak juga warga kota yang menginginkan pedagang jalanan itu enyah agar trotoar lebar lengang dan akses menuju stasiun, kantor, dan lainnya menyenangkan. Mereka yang tidak mendukung PKL terutama yang sehari-hari merasa tak membutuhkannya lagi. Apalagi, banyak minimarket waralaba pemodal besar kini beroperasi di mana-mana. Dalam imaji mereka, mungkin dunia modern memang seperti itu.
Pada akhirnya hubungan kaum urban dengan sesama mereka yang kebetulan adalah PKL laksana benci dan cinta.
Informalitas adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan usaha, pekerja, dan aktivitas yang beroperasi di luar kerangka hukum dan peraturan berlaku atau di luar standar ekonomi modern. (Hernando De Soto)
Bahkan, Krung Thep Maha Nakhon atau Bangkok, Thailand, yang selama bertahun-tahun disebut surga bagi usaha mikro, kecil, dan menengah, sejak 2014 ternyata sudah berniat mengurangi okupasi PKL di sebagian kawasannya.
Laporan “Advocacy for Inclusive Street Vendors Policy” oleh HomeNet Thailand yang diluncurkan pada Maret 2019 menyebutkan, sejak 2014 atau dalam lima tahun, 488 dari 683 kawasan PKL sudah ditiadakan. Ikon tujuan wisata belanja murah meriah seperti Pratunam dan Pasar Klongthom termasuk sasaran pembersihan PKL. Lebih dari 12.000 PKL dicabut izinnya oleh pemerintah setempat dan hanya menyisakan lisensi bagi ratusan pedagang saja.
Di masa pandemi yang sangat berdampak pada ekonomi warga karena lesunya pariwisata, pembatasan PKL sedikit dilonggarkan. Wakil Gubernur Bangkok Sakontee Pattiyakul di kanal Thai PBS World, 17 Juni 2021, menyatakan PKL sekarang dapat melanjutkan bisnis mereka di tempat-tempat yang ditentukan setelah kantor Administrasi Metropolitan Bangkok (BMA) memperpanjang izin pedagang mikro dan kecil ini dari satu tahun menjadi dua tahun.
Keputusan itu sedikit melegakan bagi PKL Bangkok. Meskipun demikian, rasa ketar-ketir tetap bercokol di pikiran mereka karena masa depan usahanya masih tertutup awan kelabu. Mungkin tak jauh beda dengan perasaan PKL eks trotoar Malioboro di DIY yang kini telah dipindahkan ke tempat relokasi baru.
Informalitas urban
Hesam Kamalipour dan Nastaran Peimani, peneliti dari Cardiff University, Inggris, dalam “Negotiating Space and Visibility: Forms of Informality in Public Space” (2019) menyatakan bahwa perdagangan jalanan adalah bentuk informalitas perkotaan yang dapat ditelusuri kembali ke konsep sektor informal yang diciptakan oleh Keith Hart pada 1970-an.
Lebih jelasnya, merujuk pada pendapat Hernando De Soto, informalitas adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan usaha, pekerja, dan aktivitas yang beroperasi di luar kerangka hukum dan peraturan berlaku atau di luar standar ekonomi modern. Ada yang berpendapat sektor informal dipaksa keluar dari sektor formal untuk menyediakan tenaga kerja murah. Pandangan lain menganggap pasar informal adalah respons atas berbagai hambatan birokrasi.
Berdasar bukti dari kota-kota di Indonesia, Yandi Andri Yatmo (Universitas Indonesia, 2008) mengidentifikasi enam jenis perdagangan jalanan dengan dua perbedaan penting. Perbedaan pertama adalah struktur tidak permanen berupa kios yang mudah dibongkar pasang dan struktur amat sederhana seperti menggelar tikar. Perbedaan kedua adalah pedagang bergerak. Model kedua ini bisa berjalan kaki alias pengasong, dengan gerobak dorong, sepeda, bahkan sepeda motor dan menjadikan mobil sebagai lapak berjalan.
Baca juga : Era Baru Membangun Infrastruktur Perkotaan
Sheri Lynn Gibbings dalam jurnalnya, “Street Vending as Ethical Citizenship in Urban Indonesia” (2016), menyebutkan beberapa pedagang kaki lima yang menjadi narasumber penelitiannya menyatakan bahwa mereka adalah rakyat kecil miskin. Keberadaan mereka hasil pemerintahan yang korup. Dalam hal ini bisa diartikan para PKL merasa tidak berdaya mengakses penghidupan yang formal karena pemerintah juga tidak dapat menyediakan akses merata serta setara bagi mereka untuk fasilitas pendidikan, modal, dan lapangan pekerjaan.
Dari beberapa riset lain terkait PKL di kota-kota di Indonesia, baik dari peneliti dalam maupun luar negeri, juga diketahui adanya praktik umum pungutan liar yang disebut dilakukan aparat pemerintah ataupun preman terhadap para PKL. Praktik ini berlangsung bertahun-tahun dan menjadi semacam jaminan tak resmi bagi PKL untuk membuka lapaknya. Pengadaan lokasi bagi PKL di tempat publik pun tak lepas dari ”permainan” izin oleh pamong setempat.
PKL menjelma menjadi saluran warga untuk mencari rezeki dan menyediakan barang konsumsi murah serta mudah diakses warga urban kelas bawah hingga kelas menengah ke atas. Di sisi lain, keberadaan PKL sekaligus salah satu bukti praktik busuk pengelolaan perkotaan sejak berpuluh tahun silam.
Di luar sisi kelamnya itu, PKL selama ini menawarkan opsi kehidupan kota dinamis, ramai, interaksi akrab antara pedagang dan masyarakat umum juga antarsesama warga, dan semua jauh dari membosankan. Hal ini karena bagi negara global selatan, PKL adalah bagian integral perwujudan relasi erat antarwarganya yang sulit atau bahkan mustahil dihapuskan.
Kondisi itu mengingatkan pada istilah proksemik yang dikenalkan antropolog Edward T Hall. Jarak sosial (proksemik) masyarakat di global selatan memang lebih intim atau akrab. Jarak sosial berbeda, yang lebih renggang, banyak dianut negara global utara seperti Eropa, Amerika Serikat, Australia, dan Kanada.
Agenda baru perkotaan
Pekerja informal, termasuk PKL, yang tak terpisahkan dari kehidupan negara global selatan nyata terbukti di Indonesia seperti terungkap dari data Badan Pusat Statistik (BPS). BPS mencatat ada 78,14 juta pekerja informal pada Februari 2021 atau 59,62 persen dari jumlah pekerja se-Indonesia, naik 2,64 juta orang dibandingkan Agustus 2020.
Menyadari hal tersebut, perlu mulai bergerak pada pemahaman bersama yang lebih terbuka terhadap dinamika urbanisme informal. Apalagi, saat ini Indonesia yang menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah bersepakat melaksanakan pembangunan dengan kerangka Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Kamalipour dan Peimani menuliskan pula bahwa mengelola perdagangan jalanan butuh menempatkan para pelakunya sebagai pihak yang butuh diayomi dan dijamin agar usahanya tidak tergerus sesuai dengan tujuan ke-11 SDGs, yaitu menjadikan kota yang inklusif dan tangguh. Sikap ini juga relevan dengan Agenda Baru Perkotaan yang diadopsi dari konferensi Habitat III.
Ini cocok dengan argumen bahwa ketika pelanggan gagal untuk mengikuti, vendor memiliki sedikit pilihan selain kembali ke jalan.
Karena turut menyangkut sumber utama rezeki sebagian warga dan keberadaannya bermanfaat bagi masyarakat urban, menjamin keberadaan PKL dengan menatanya lebih manusiawi juga dapat dikaitkan dengan tujuan 1 SDGs (mengakhiri kemiskinan), tujuan 5 (mencapai kesetaraan jender), tujuan 8 (mempromosikan pekerjaan berkelanjutan), dan tujuan 10 (mengurangi ketimpangan).
Di sisi lain, tidak dapat dimungkiri tidak mudah berlaku adil kepada PKL walaupun telah menyepakati SDGs. Selama ini, ruang publik perkotaan menjadi medan negosiasi dan kontestasi di antara berbagai kepentingan. Di Jakarta, misalnya, ketika PKL susah mendapatkan akses ke lokasi legal, ada mal besar dapat beroperasi di sekitar ruang terbuka biru di seberang kompleks Gelora Senayan, Jakarta Pusat.
Baca juga : Pembangunan Perkotaan Menyimpang gara-gara Korupsi
Upaya relokasi PKL sering kali gagal karena keterbatasan daya tampung tempat baru. Selain itu, lokasi baru acap kali tak menarik pelanggan untuk datang. Upaya agar konsumen datang tidak memadai dan kurang dorongan dari pemerintah. Mengharapkan para pedagang ini beriklan ke khalayak ramai sedikit sulit karena keterbatasan anggaran yang mereka miliki.
Ini cocok dengan argumen bahwa ketika pelanggan gagal untuk mengikuti, vendor memiliki sedikit pilihan selain kembali ke jalan,” tulis Kamalipour dan Peimani.
Duo peneliti itu menyatakan, penegakan peraturan resmi yang kaku yang biasa diterapkan untuk pegiat ekonomi formal tentu sulit diterapkan begitu saja bagi pekerja informal. Maka, penting untuk mengeksplorasi berbagai bentuk perdagangan jalanan berjalan baik sebelum melompat ke kesimpulan apa pun, termasuk merelokasi ke tempat baru yang secara sepihak dinilai cocok oleh penegak aturan formal.
Asas keadilan berlandaskan kerangka pembangunan berkelanjutan perlu diwujudkan, bukan sekadar jargon atau macan kertas dalam dokumen rencana penataan kota. Pemetaan pusat PKL dan jumlah pasti pedagang jalanan itu menjadi data wajib yang harus dimiliki pemerintah daerah. Selama ini, jumlah PKL seperti di Jakarta selalu tidak jelas. Dari pemetaan lokasi dan jumlah PKL itu barulah bisa dipetakan serta direncanakan sentra PKL dengan mempertimbangkan kemudahan calon konsumen mengaksesnya.
Kampanye dan sosialisasi bertahap dan menerus tentang penataan ini butuh dilakukan dengan sungguh-sungguh. Masukan dari para pedagang juga warga sebagai konsumennya, termasuk wisatawan, tak boleh ditinggalkan. Jika tahapan proses itu dilewati atau tidak dilaksanakan semestinya, kekacauan kelak akan kembali atau sekadar berpindah tempat.
Memang tidak ada yang instan dalam menata kota, termasuk menata PKL agar menjadi bagian kota yang elok.
Baca juga : Catatan Urban