Pembangunan Perkotaan Menyimpang Gara-gara Korupsi
Praktik korupsi menggerus 5-20 persen total anggaran dan meningkatkan kebutuhan belanja 30-50 persen. Waktu mewujudkan program kian panjang, sedangkan kualitas dan masa pakainya kian singkat. Rakyatlah yang rugi besar.
Penangkapan Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi disusul Bupati Penajam Paser Utara Abdul Gafur Mas'ud pada bulan pertama tahun 2022 tidaklah terlalu mengejutkan. Penangkapan kedua kepala daerah itu karena dugaan korupsi seperti meneruskan tradisi tak elok di Nusantara ini.
Tahun 2010, Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) mencatat, ada 17 dari total 33 gubernur di Indonesia menjadi tersangka korupsi. Melengkapi data itu, 138 wali kota/bupati terjerat kasus serupa oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Nyaris setiap tahun sebelum dan setelah laporan dari KPPOD tersebut, selalu ada saja kepala daerah yang dibekuk karena menyelewengkan uang negara.
Saat ini, ketika pandemi Covid-19 menerjang dan dampaknya dalam berbagai aspek dirasakan langsung masyarakat, kepala daerah tetap tidak kapok menyalahgunakan wewenangnya. Catatan Kompas, sepanjang 2020 sampai awal 2022, sedikitnya 12 kepala daerah ditangkap karena korupsi, termasuk Rahmat Effendi dan Abdul Gafur Mas’ud.
Meskipun diekspos besar-besaran oleh media massa, tidak semua masyarakat menganggap ulah para pejabat itu salah. Dukungan tetap saja diberikan.
Kala Rahmat Effendi resmi mengenakan rompi jingga tahanan KPK, anggota keluarganya bersikeras menyatakan penangkapan itu pembunuhan karakter tokoh tersangka korupsi infrastruktur banjir hingga pencucian uang tersebut. Di antara hujatan, ada dukungan publik bagi keluarga yang membela tersangka. Dalam salah satu video yang beredar, ada yang sempat menyalami Rahmat ketika ia digelandang petugas KPK.
Sebagian orang memang seperti masih memaklumi perbuatan keji pemimpin yang memakan uang rakyat. Apakah itu imbas kebiasaan rakyat ditindas? Entahlah. Usai dijajah ratusan tahun, sejak kemerdekaan sampai masa orde baru, korupsi dan penyalahgunaan wewenang oleh pemimpin publik selalu terjadi di negeri ini. Saking terbiasanya, masih ada warga yang belum juga sadar bahwa korupsi membuat hak-haknya tidak terpenuhi.
Korupsi di perkotaan akan membuat isu ketidaksetaraan makin sulit dipecahkan, pengelolaan lingkungan urban akan melemah yang berkorelasi dengan kota makin rentan terdampak bencana, kesenjangan dan ketimpangan akan sulit diatasi yang menyuburkan berkembangnya berbagai kejahatan terorganisasi.
Mengutip hasil riset Gulati dan Rao (2006), KPPOD menyatakan bahwa korupsi akan mengurangi biaya proyek konstruksi 5-20 persen dari total anggaran. Jika berkurang lima persen saja untuk tiap program konstruksi, diprediksi keuangan negara berkembang akan dibebani tambahan anggaran 18 miliar dollar Amerika Serikat atau setara Rp 257 triliun per tahun.
KPPOD turut memaparkan perhitungan Rose-Ackermann (1996) yang menunjukkan biaya ilegal dapat mengurangi kualitas proyek pemerintah dan meningkatkan anggaran belanja 30-50 persen. Di negara berkembang, uang yang dikorupsi biasanya dinikmati pejabat sipil dan militer atau aparat penegak hukum.
Penambahan beban anggaran bagi negara berkembang juga berarti waktu yang lebih lama untuk menuntaskan setiap proyek pembangunan atau bahkan proyek tertentu tidak jalan sama sekali. Artinya, semakin lama pula publik menunggu menikmati pembangunan yang dijanjikan sungguh-sungguh meningkatkan kesejahteraan mereka.
Coba perhatikan keberadaan instansi pemerintah daerah tempat kita tinggal. Hampir selalu ada badan usaha milik daerah yang bertugas mengelola air bersih. Di BUMD itu pasti ada penyertaan modal dari pemerintah daerah. Namun, berpuluh tahun, cakupan air perpipaan di kota-kota utama di Indonesia masih mengenaskan. Di Jakarta yang terbilang paling maju saja, baru sekitar 50-60 persen kawasannya terjamah air perpipaan.
Baca juga : Tren Kota Baru, Produk Komersial yang Melawan Urbanisasi
Contoh lain, aliran dana dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) dipastikan selalu ada untuk dinas kependudukan dan catatan sipil. Namun, sampai 2022, belum semua daerah mampu memberikan layanan kependudukan satu pintu tanpa pungutan dan transparan. Seberapa susah membangun sistem layanan berbasis teknologi di era serba internet seperti sekarang?
Sudah menjadi rahasia umum, jalanan kampung atau lingkungan kelurahan hingga RT/RW dapat tiba-tiba diaspal atau tersentuh program betonisasi tak lama usai pemilihan kepala daerah. Penyebabnya, tak lain karena kampung atau kelurahan itu kantong pendukung pemenang pilkada. Di lokasi berbeda, jalan rusak dan gorong-gorong tak berfungsi akan menjadi masalah menahun yang tak tersentuh program pemerintah. Ironis.
Dalam "Corruption and the City", tantangan pemerintah kota terutama di negara berkembang dan miskin selalu terkait praktik korupsi di sana. Sebagai contoh, sistem pengelolaan limbah yang tidak efektif di kota-kota di Bangladesh, bisnis pengembangan real estate salah sasaran di sebagian China, dan langgengnya praktik kriminalitas bersenjata api di Johannesberg, Afrika Selatan. Semua kekacauan itu disokong korupsi yang mengakar di tubuh pemerintahan negara maupun kota-kotanya.
Pendapat Schenker (2016) seperti dikutip dalam "Corruption and the City" menunjukkan, kebiasaan menerima suap untuk memuluskan tujuan pemberi uang dengan menyalahgunakan kewenangan pejabat publik menyebabkan suatu program pembangunan diterapkan secara berbeda dari tujuan awal.
Baca juga: Gelak Tawa ”Don’t Look Up” Membangunkan Akal Sehat
Jika mengacu Schenker, ketika penataan ruang urban dinodai perilaku korup para pejabat publik sehingga dijalankan tebang pilih, maka tujuan penanggulangan isu perkotaan seperti banjir, kemacetan, juga penanggulangan pandemi dipastikan meleset. Yang merugi tentu saja seluruh kota.
Singkatnya, korupsi di perkotaan akan membuat ketidaksetaraan semakin sulit dipecahkan, pengelolaan lingkungan urban akan melemah yang berkorelasi dengan kota kian rentan terdampak bencana, serta kesenjangan dan ketimpangan sulit diatasi yang menyuburkan berkembangnya berbagai kejahatan terorganisasi.
Tentukan fokus
Korupsi di daerah memang tidak lepas dari "budaya" korupsi yang membelit suatu negara. Meskipun demikian, korupsi dapat ditangkal dari bawah, tidak melulu harus dimulai dari pusat.
Schenker menyatakan, kasus di Kota Medellín di Kolombia dapat menjadi contoh. Tak tahan terus menerus menjadi penanggung risiko terbesar saat kota dikuasai para pejabat korup yang bersekongkol dengan kartel narkoba, masyarakat dan tokoh warga setempat mengambil kesempatan bertindak saat gembong narkoba Pablo Escobar dilumpuhkan pada tahun 1993.
Di awal tahun 2000an, Medellín memilih fokus bangkit yang dimulai dengan merintis membangun transportasi massal murah dan menjangkau banyak sudut kota perbukitan tersebut. Jaringan kereta gantung atau Metro Cable dan bus berjalur khusus pun saling terkoneksi.
Baca juga: Menengok Banjir Jakarta dan Mimpi Aman Berenang di Ciliwung
Meskipun berjalan tak secepat yang diharapkan, kehadiran layanan transportasi publik perlahan turut mengubah tata ruang, termasuk bertambahnya ruang terbuka di kawasan padat juga kian mudahnya akses warga ke pusat layanan kesehatan, keamanan, dan ekonomi. Medellín kini menjadi salah satu kota tujuan wisata dunia. Kesejahteraan masyarakat meningkat meski korupsi dan narkoba masih ditemukan di sana-sini dalam skala tak lagi semasif sebelumnya.
Setiap pemerintah daerah bisa berkaca dari Medellín, tetapi tidak harus dimulai dari angkutan umum. Menentukan dari mana pembenahan dimulai dapat menjadi awal yang bagus. Tidak ada jalan pintas, membangun butuh waktu dan konsistensi agar tujuan tercapai.
Semua itu perlu dibarengi penegakan aturan dan memastikan siapa saja yang bersalah mendapat hukuman maksimal dan diperberat sederet sanksi sosial lain. Penangkapan Wali Kota Bukares, Ibu Kota Rumania, adalah salah satu contoh. Kanal daring BBC ikut melaporkan penangkapan wali kota yang disebut salah satu dari sederet orang kuat dan terkenal korup di Rumania itu. Usai penangkapan tahun 2015 itu, bersemi era baru Bukares yang berjuang mengenyahkan praktik pemerintahan buruk.
Jika adakepastian penegakan hukum, transparansi, dan fokus pembangunan yang jelas, maka investor maupun lembaga asing akan berpeluang tertarik mengambil bagian membangun kota. Bantuan mereka sekaligus jadi instrumen penguat mengurangi praktik korupsi dan mengedepankan transparansi.
Baca juga : Kinerja Perempuan Senilai 10 Triliun Dollar AS
Hal ini karena donor dari negara maju atau badan internasional biasanya dibarengi sederet aturan dan mekanisme pengawasan ketat. Jika terjadi penyalahgunaan, pemberi bantuan tak segan membatalkan program dan menarik semua uang disertai sanksi yang tentu memberatkan penerima donor.
Tahun 2050, diperkirakan 70 persen populasi global menghuni kota-kota di berbagai penjuru dunia. Kawasan urban baru maupun perluasan kota eksisting pasti akan terjadi. Di Asia dan Afrika, UNDESA memprediksi 90 persen populasi akan tinggal di perkotaan. Jika kota tidak dikelola dengan baik, berbagai bencana akibat buruknya layanan publik dan rusaknya lingkungan bakal terus mendera.
Oleh karena itu, tata kelola kawasan urban yang bersih dan transparan di kota-kota negara berkembang perlu menjadi elemen utama. Tak lain demi mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB, termasuk Tujuan ke-11 untuk menjadikan kota-kota inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan.
Baca juga: Catatan Urban