Menengok Banjir Jakarta dan Mimpi Aman Berenang di Ciliwung
Di musim hujan ini, sungai-sungai sarat polusi tak sabar meluapkan isinya. Masih ingin bermain berenang di sungai? Percaya atau tidak, mimpi gila ini bisa jadi tujuan baru yang menyatukan semua program pembenahan Jakarta
Setiap kali musim hujan tiba, Jakarta kedatangan tamu spesial. Tamu itu tak lain genangan dan banjir. Setiap kali pula itu memunculkan gugatan, kapan metropolitan terbesar di Indonesia ini bebas banjir.
Desertasi Restu Gunawan berjudul Gagalnya Sistem Kanal menjadi penguat fakta banjir tidak akan bisa enyah dari Jakarta dan sekitarnya. Secara alami, sebagian Jabodetabek sejak dulu adalah rumah air, berupa rawa dan situ. Mengalir pula belasan sungai dan anak sungai di kawasan ini.
Sungai-sungai berhulu di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, berjarak kurang dari 100 kilometer ke arah hilir di tepian Teluk Jakarta. Daerah hulu rata-rata pada ketinggian 700-1.800 meter di atas permukaan laut. Hilir yang mencakup Bekasi Raya di Jawa Barat, Jakarta, hingga Tangerang Raya di pesisir berada 0-2 meter di bawah permukaan laut. Jarak pendek dan beda ketinggian yang menukik ini membuat air sungai mengalir deras dan cepat ke hilir setiap kali hulu diguyur hujan lebat.
Robert J Kodoatie dalam Rekayasa dan Manajemen Banjir Kota menyatakan, pada 2009 masih terdata 1.326 situ di Jabodetabek. Namun, jika didatangi atau peta diperbesar, tampak banyak situ yang hanya menyisakan nama, berganti hamparan hunian. Bahkan, di lokasi langganan banjir pun, situ atau daerah tangkapan air di sana bisa berubah menjadi hunian dan habis terjual.
Pada awal 2007, sekitar 70 persen wilayah Jakarta tergenang dan dinobatkan sebagai banjir terparah sejak era kemerdekaan.
Saat rawa dan situ serta sungai di Jabodetabek masih alami, tambahan volume air akibat curah hujan tinggi dan limpahan air dari hulu tidak menjadi soal. Barulah ketika semua ”tempat parkir” air ditimbun dan dialihfungsikan atas nama perkembangan perkotaan, banjir yang dulu rutinitas normal tiba-tiba dicap sebagai bencana oleh manusia-manusia yang mengintervensi sistem alam ini.
Manusia penghuni dataran Jabodetabek cenderung memilih infrastruktur fisik atau pendekatan teknik sipil sebagai cara menghalau banjir. Betonisasi sungai, pengurukan situ dan rawa, menimbun area tertentu agar lebih tinggi dari daerah sekitarnya, membelokkan aliran kali, hingga menerapkan sistem polder di banyak lokasi. Sistem polder mencakup sistem drainase kawasan, kolam retensi, tanggul keliling kawasan, pompa dan pintu air. Manajemen sistem tata air dengan cara mengendalikan volume, debit, muka air, tata guna lahan, dan lanskap.
Pola itu diterapkan sejak masa penjajahan Belanda sampai sekarang dengan realisasi proyek yang selalu tertinggal dari rencana awal. Padahal, infrastruktur fisik tak selamanya bisa menahan banjir, apalagi jika tidak diperbaiki, dirawat, ditingkatkan kapasitasnya secara berkala, dan ditambah fasilitas-fasilitas baru.
Apalagi, ketika perilaku buruk membuang sampah, kotoran manusia, dan limbah rumah tangga sampai industri ke selokan dan sungai tetap langgeng. Juga ketika kota dibiarkan berkembang tidak terkendali hingga nyaris setiap jengkal tanah tertutup aspal dan bangunan. Tata ruang dan wilayah tak beraturan dan tidak dijaga dengan disiplin.
Baca juga: Omicron, Oh, Omicron
Bencana lantas benar-benar terjadi. Harian Kompas mencatat, pada awal 2007, sekitar 70 persen wilayah Jakarta tergenang dan dinobatkan sebagai banjir terparah sejak era kemerdekaan.
Bencana besar itu dapat dicegah jika rencana penanggulangan banjir 2002 dilaksanakan dengan baik. Pada 2002, banjir melumpuhkan sebagian Jakarta dan menyebabkan 35 orang meninggal. Pada tahun itu, pusat dibantu Pemerintah Provinsi DKI-Banten-Jawa Barat sepakat menyediakan Rp 1,2 triliun untuk membangun infrastruktur pengendali banjir, rehabilitasi area tangkapan air di hulu maupun di hilir, dan edukasi agar masyarakat tidak menjadikan sungai sebagai tempat sampah. Sebaliknya, manusia hidup harmonis dengan lingkungan sekitarnya.
Akan tetapi, gaung kesepakatan itu lantas memudar. Pada 2007, alam seakan menagih janji dengan merenggut sedikitnya 48 nyawa warga Ibu Kota serta kerugian materiil senilai lebih dari Rp 4 triliun. Sekitar enam tahun berlalu, bencana yang tak kalah masif kembali menimpa Jakarta. Pada 2013, sedikitnya 20 orang meninggal dan nilai kerugian mencapai Rp 15 triliun.
Baru setelah dua peristiwa kelam itu, pembenahan dilakukan. Sebagian sungai utama seperti Angke, Ciliwung, Pesanggrahan, Krukut, dan Sunter dikeruk, diperdalam, dan diperlebar. Sisi-sisinya dibeton. Hal serupa diterapkan pada jaringan drainase kota. Sejumlah situ dan rawa yang luput dari pengurukan diremajakan serta dikelola lebih baik. Program pendukung berupa sumur resapan di permukiman dan perkantoran tak lupa ikut digulirkan lagi.
Sampai hampir satu setengah dekade kemudian, layaknya lagu lama pembiayaan dan fokus pembangunan mengendur lagi. Isu pembebasan lahan, keterbatasan pendanaan, pergantian kebijakan penanganan banjir yang mengikuti pergantian kepemimpinan, dan hal lainnya berkelindan menahan laju pembangunan. Terakhir, Covid-19 melanda dan hampir semua pos anggaran dialihkan untuk penanggulangan pandemi.
Sampai hampir satu setengah dekade kemudian, layaknya lagu lama pembiayaan dan fokus pembangunan mengendur kembali.
Hasilnya, meskipun di sana-sini telah muncul infrastruktur baru pengendali banjir, ruang terbuka hijau dan biru bertambah, tetapi sampah masih menyesaki sungai dan selokan. Rehabilitas kawasan hulu mandek, walau proyek dua waduk di Puncak masih berjalan. Di pesisir, tanggul penahan kenaikan muka air laut masih jauh dari selesai.
Memang, usai 2013, belum terjadi banjir besar lagi di Ibu Kota. Hanya saja, bencana terus berulang dalam skala lebih kecil. Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta memaparkan, banjir pada awal 2020 lalu menelan sembilan korban jiwa.
Di ujung tahun ini, beberapa lokasi seperti di Kemang dan Ulujami di Jakarta Selatan kembali tergenang. Luapan air turut muncul di belasan hingga puluhan titik lainnya. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengingatkan cuaca buruk masih akan terjadi hingga di awal tahun 2022.
Multifaktor pemicu bencana
Laporan Green Campus Universitas Indonesia menyebutkan, pada awal 2020 curah hujan tertinggi dalam 154 tahun menimpa Nusantara, termasuk Jakarta. Menurut BMKG, curah hujan ekstrem ini karena pengaruh dua siklon tropis, yaitu Esther dan Ferdinand, di antara Indonesia dan Australia.
Namun, curah hujan ekstrem itu bukan satu-satunya pihak yang ”bersalah” memicu tragedi 2020. Green Campus UI menggarisbawahi ada multifaktor pemicu meningkatnya ancaman bencana di masa depan. Faktor mendasar ialah topografi atau karakteristik fisik Jabodetabek yang tetap sama. Sementara jumlah penduduk terus bertambah sekitar 0,92 persen per tahun. Saat ini saja ada 10,56 juta jiwa penduduk Jakarta.
Faktor selanjutnya adalah laju penurunan muka tanah. Secara umum, variasi laju penurunan tanah di DKI Jakarta sekitar 1-15 cm per tahun. Penyebabnya ialah pengambilan air tanah berlebihan, beban bangunan, penurunan akibat pemadatan alamiah lapisan tanah, juga penurunan karena gaya-gaya tektonik.
Baca Juga: Kinerja Perempuan Senilai 10 Triliun Dollar AS
Faktor ketiga, ruang terbuka hijau (RTH) kota berusia 494 tahun ini sekarang masih di bawah 10 persen dari total 661,5 kilometer persegi luas kawasannya. Padahal, target RTH adalah 30 persen seperti diamanatkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Faktor keempat, masyarakat dan pemerintah belum mampu mengubah kebiasaan menjadi hidup lebih ramah lingkungan dimulai dari tidak membuang sampah sembarangan serta mengolah sampah maupun limbah dengan baik.
Terakhir, faktor kelima, menyangkut kondisi di Jakarta yang turut memengaruhi dan terpengaruh pula dengan kondisi dunia. Kerusakan alam yang memicu pemanasan global menyebabkan perubahan iklim. Naiknya muka air laut sebagai salah satu dampak dari kondisi global memperparah potensi banjir di kawasan pesisir di seluruh dunia, termasuk di Jakarta. Dampak lainnya adalah curah hujan ekstrem makin sering terjadi.
Adaptasi
Infrastruktur fisik berdasarkan perhitungan detail dan dibangun dalam skala adiluhung yang mahal memang dapat menghalau bencana. Akan tetapi, tetap memiliki kapasitas maksimalnya. Sementara dampak dari tidak diatasinya multifaktor pemicu bencana bisa memunculkan tragedi jauh di atas kapasitas bangunan buatan manusia.
Walakin, infrastruktur fisik bukan berarti tidak penting. Justru wajib memangkas ketertinggalan dalam penanggulangan banjir Ibu Kota. Seiring dengan itu, perlu ada terobosan perubahan kebijakan tata ruang Jakarta dan sekitarnya. Perlu pula orientasi atau target baru yang dapat memadukan semua program pengendalian banjir dan penataan kota. Ini akan menyuntikkan semangat dan optimisme bagi pihak yang berkepentingan dengan kota tersebut.
Beijing di China, misalnya, melakukan terobosan dengan merangkul konsultan lokal bertaraf internasional dan bertarif selangit demi mewujudkan konsep kota spons. Kota spons merangkul air dan menjadikan banjir bukan lagi petaka di kawasan kota baru Beijing. Konsep ini juga membuka peluang pengembangan kawasan dan pusat perekonomian baru di sana.
Paris di Perancis memilih memupuk mimpi warga kotanya untuk dapat berenang aman, tetap sehat, dan legal di Seine sejak 1988. Kini, mimpi dikemas menjadi tujuan baru untuk mendukung peremajaan Paris yang akan menjadi tuan rumah Olimpiade 2024.
Paris sekarang sedang membangun tangki air berkapasitas 2 juta meter kubik di bawah taman di sisi kiri kawasan Gare D’Austerlitz untuk menampung air hujan dan mencegah air kotor dari sistem drainase kota tumpah ke Seine. Dalam dua tahun ke depan, proyek itu ditargetkan selesai dan warga kota diajak bersenang-senang bermain di aliran Seine. Keseruan ”Parisian”, sebutan bagi penduduk Paris, akan mendunia kala sorotan publik internasional terpaku padanya selama Olimpiade nanti.
Langkah itu bakal turut memperkuat program Paris kota hijau berkelanjutan surga bagi pesepeda, pejalan kaki, dan pengguna angkutan umum. Di jalan utama di kota ini, jalur hijaunya mulai diperluas, jalur pesepeda dan jalur pedestrian ditambah, bersamaan dengan ruang bagi kendaraan bermotor pribadi dipersempit. Angkutan massal urban berbasis jalan dan rel diperbanyak jumlahnya dan diperluas cakupan layanannya.
Baca juga: Revolusi Toilet
Di Jakarta maupun kota-kota lain di Indonesia yang tergolong berkantong pas-pasan, prinsip kota spons dan kota hijau bisa diterapkan dengan penyesuaian.
Sejak dua dekade silam, ahli tata kota dan tata air negeri ini tak henti menggaungkan penataan sempadan sungai yang wajib dibebaskan dari intervensi berbagai macam kegiatan dan bangunan. Jika 50 persen saja dari sempadan 13 sungai utama di Jakarta menjadi kawasan hijau, resapan air, sekaligus taman kota, ketersediaan RTH bakal naik pesat. Belum lagi jika ditambah dengan pembangunan waduk-waduk kecil di sana.
Selain itu, perlu pula dimulai penataan kawasan hunian yang lebih kompak, tetap terjangkau kaum ekonomi menengah ke bawah Ibu Kota, tetapi sehat sekaligus menarik dilihat sebagai pendukung estetika urban. Caranya, bisa diawali dengan peremajaan salah satu hunian padat tetapi langganan banjir seperti di kawasan Kemang. Sebagai proyek awal, kiranya dapat dimulai di lahan dengan status hukum jelas agar di masa depan tidak memantik isu baru.
Tanpa perlu memindahkan warga, kompleks hunian tapak yang padat dapat ditata menjadi hunian vertikal sederhana. Dihitung detail kebutuhan ruang memadai per keluarga.
Jika satu keluarga dengan empat anggota memerlukan 72 meter persegi, 100 keluarga berarti butuh 7.200 meter per segi. Mereka dapat dipindahkan dalam bangunan 4 lantai hunian dan 1 lantai dasar untuk berbagai kebutuhan parkir kendaraan maupun tempat usaha. Total lima lantai itu hanya butuh 1.800 meter persegi. Berarti 5.400 meter persegi tersisa dapat menjadi taman multifungsi, tempat warga bersosialisasi sampai tempat air saat sungai meluap.
Singapura telah merintis hal serupa. Revolusi penataan perumahan meninggalkan hunian tapak ke vertikal sejak 1970an. Sekarang, negara dengan luas sekitar 720 km persegi dan berpenduduk 5,5 juta jiwa itu mampu memenuhi kebutuhan rumah publik terjangkau untuk 90 persen lebih warganya.
Negara kota tersebut juga memaksimalkan pembangunan ekonomi dari penataan ruang dan fungsi lahan dengan tetap menyisakan 50 persen lebih kawasannya sebagai ruang terbuka. Banjir masih sesekali melanda, tetapi ruang untuk air tersedia melimpah pula. Mereka kini merintis pemenuhan air bersih dan air konsumsi dari daur ulang pemakaian air sehari-hari, pengolahan air laut, revitalisasi sungai-sungainya. Warga bermain air dan berlatih olahraga air di waduk dan sungai sudah menjadi kebiasaan di sana.
Baca juga: Era Baru Membangun Infrastruktur Perkotaan
Jakarta tidak harus mengikuti Singapura dengan tren menara pencakar langit untuk semua hunian dan bangunan lain. Jika penataan kawasan menjadi kompleks kompak vertikal sederhana 4-5 tingkat yang tidak memerlukan lift dan berupa bangunan yang mengadopsi iklim tropis, dapat bertahap diwujudkan, maka dalam 20 tahun saja tata ruang ramah air dan ramah warga bakal tercipta. Masyarakat dibukakan akses untuk berinteraksi semaksimal mungkin dengan sungai, membuka peluang merajut hubungan harmonis antara keduanya. Sungai menjadi halaman depan kota yang dirawat baik, tempat publik memanen kesenangan, dan bermanfaat bagi siapa saja.
Tetapkan target permukiman mana saja sebagai start awal. Anggaran dapat dibicarakan dan dikerjasamakan antara pemerintah daerah, pusat, masyarakat, serta pihak swasta yang paling terkait dengan lokasi sasaran penataan. Semakin bisa menekan potensi bencana, perekonomian kota lancar berputar yang turut menguntungkan pelaku usaha dan investor.
Setiap keberhasilan berarti mempertinggi peluang menduplikasi program. Jika ada kegagalan, selalu ada celah untuk memperbaikinya. Selangkah demi selangkah, sungai dan lingkungan kota yang bersih bukan sekedar utopia. Impian warga kota, siapa pun dia, untuk bermain-main dan berenang aman lagi nyaman di Ciliwung suatu saat bisa terwujud. Bukan tidak mungkin.
Baca Juga: Catatan Urban