Lamale (70) mendedikasikan hidupnya untuk merawat hutan mangrove di kampungnya di desa kecil di Kaltim. Sebelumnya, ia adalah pembabat pohon bakau yang memanfaatkan batang bakau untuk arang.
Oleh
SUCIPTO
·5 menit baca
KOMPAS/SUCIPTO
Lamale berpose di dermaga wisata hutan mangrove Desa Mentawir, Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Minggu (18/9/2022). Ia adalah sosok pelestari lingkungan di desanya.
Berbulan-bulan setelah ia tak lagi membabat batang bakau, Lamale melintas di sebuah kawasan mangrove dengan perahu dayung. Terbesit dalam pikiran Lamale akan ”penebusan dosa” yang mungkin ia lakukan atas kerusakan yang pernah ia timbulkan.
Lelaki 70 tahun itu, seperti kebanyakan tetangganya, semula menggantungkan hidup dari membabat batang bakau mulai sekitar tahun 1998. Batang bakau yang melimpah di kampungnya itu dikumpulkan, dipotong-potong, kemudian dibakar sampai menjadi arang.
Saat itu, Desa Mentawir, Kecamatan Sepaku, Kalimantan Timur, tempat Lamale tinggal, menjadi salah satu pemasok arang bakau ke restoran-restoran di Kaltim. Kampung Lamale ini berjarak sekitar 40 kilometer dari Titik Nol Ibu Kota Nusantara.
Pria berkumis tipis itu tak ingat sudah berapa hektar hutan mangrove ia babat. Sebab, produksi arang bakau tak pernah berhenti di kampungnya. Setiap hari, ia dan warga lainnya memotong dan membakar batang bakau. Pesanan arang bakau pun selalu ada setiap harinya.
"Dulu laku sekali arang bakau ini. Orang suka arang bakau karena abunya sedikit dan panasnya awet," kata Lamale, di antara hutan mangrove, Minggu (18/9/2022).
Aktivitas membuat arang dari batang bakau berhenti pada 2001 di Desa Mentawir. Saat itu, pemerintah menyatakan bahwa hutan mangrove dilindungi dan tak boleh ditebang tanpa izin lingkungan. Pemerintah desa memberi sosialisasi bahwa ada sanksi hukum bagi siapa saja yang membabat mangrove.
Lamale akhirnya meninggalkan pekerjaan itu. Ia kemudian melakukan pekerjaan apapun agar bisa bertahan hidup. Di sisi lain, ia jadi penasaran kenapa mangrove dilindungi.
Kebetulan Desa Mentawir berbatasan dengan wilayah kelola PT Inhutani I, badan usaha milik negara yang bergerak di sektor kehutanan, dengan bisnis utama pengolahan kayu, pengelolaan hutan alam, dan pengelolaan hutan tanaman. Lamale kerap berbincang dengan sejumlah ilmuwan dan pekerja di perusahaan tersebut, termasuk mempertanyakan apa pentingnya mangrove.
Dari sana, Lamale jadi paham ternyata mangrove memiliki kemampuan 10 kali lebih baik menyerap karbon dibanding tumbuhan lain. Selain itu, mangrove yang baik akan membuat satwa-satwa khas berkembang biak dengan baik, seperti kepiting dan berbagai jenis ikan. Satwa air itu yang dimanfaatkan sejumlah warga di Desa Mentawir untuk ditangkap, dikonsumsi, dan dijual.
KOMPAS/SUCIPTO
Seorang pemandu wisata mendayung perahu di dermaga wisata hutan mangrove Desa Mentawir, Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Minggu (18/9/2022).
Obrolan Lamale semakin dalam setiap harinya. Ia kemudian jadi mengerti ternyata tutupan mangrove yang baik di desanya turut menjadi benteng alami rumah-rumah warga yang hidup di daerah pesisir.
"Mangrove ini bisa menyaring angin kencang sehingga angin yang sampai ke rumah-rumah lebih lambat. Mangrove juga mencegah perembesan air laut ke darat sehingga air di darat masih bisa dikonsumsi," ujar Lamale tersenyum.
Mimpi Lamale
Suatu hari, saat Lamale mendayung perahu ketinting, ia melewati tutupan hutan mangrove. Di tengah lamunan, ia bertanya-tanya pada diri sendiri, apa yang bisa dimanfaatkan dari mangrove agar warga juga bisa mengambil manfaat ekonomi darinya.
Ia teringat pernah berkunjung ke objek wisata mangrove di Kota Balikpapan. Di sana, warga bisa berwisata menaiki perahu dan berjalan di atas jembatan kayu ulin untuk menikmati kesejukan hutan mangrove. Warga juga bisa belajar langsung mengenai jenis dan manfaat mangrove dari poster hingga berbincang dengan warga.
Dari sanalah Lamale punya mimpi untuk menjadikan hutan mangrove di kampungnya menjadi destinasi wisata. "Itu seperti mimpi sebelum tidur," katanya terkekeh-kekeh.
Ia kemudian mengutarakan mimpinya itu ke pemerintah desa hingga PT Inhutani I. Akhirnya, Lamale mendapat sokongan dana dari pemerintah dan PT Inhutani I untuk studi banding ke wisata mangrove yang dikelola warga di Semarang, Jawa Tengah.
Pengetahuan dan keterampilan baru Lamale dapat berkat berkunjung serta belajar ke berbagai tempat. Beberapa jenis pohon bakau ternyata bisa dimanfaatkan buahnya untuk dijadikan sirup, pupur, atau campuran kopi. Itu bisa menjadi cinderamata dan bernilai ekonomi bagi warga di sekitarnya.
Lamale jadi paham bahwa pohon mangrove bisa diambil beberapa bagiannya untuk dimanfaatkan secara ekonomi tanpa perlu menebangnya.
Sepulang dari Semarang, Lamale membentuk Kelompok Sadar Wisata Tiram Tambun di desanya. Sejumlah warga ia ajak untuk sama-sama belajar mengelola wisata mangrove. Semula, Lamale membuat jembatan di antara tutupan hutan mangrove yang rapat dengan biaya pribadi. Panjang jembatan sekitar 200 meter.
KOMPAS/SUCIPTO
Pengunjung berdiri di atas jembatan yang dikelilingi pohon bakau di wisata hutan mangrove Desa Mentawir, Kecamatan Sepaku, Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Minggu (18/9/2022).
Pada 2016, Wisata Hutan Mangrove Desa Mentawir resmi dibuka. Biaya masuk kawasan itu Rp 10.000 per orang untuk ongkos menyeberang dengan perahu ke jembatan. Dalam seminggu, pengunjung wisata mangrove ini mencapai 1.600 orang sebelum pandemi Covid-19.
Lantaran wisata itu mulai dikenal warga, Pokdarwis yang diketuai Lamale akhirnya mendapat bantuan dana dari PT Inhutani I. Itu digunakan untuk pembangunan jembatan dan menambah armada perahu. Saat ini, jembatan kayu di sekitar mangrove sudah semakin panjang menjadi 500 meter. Di beberapa titik juga dibangun balai kecil dari kayu agar para pengunjung bisa beristirahat.
Bersama Lamale, warga juga belajar membuat berbagai jenis olahan buah mangrove. Lamale mengajarkan warga membuat sirup dari buah mangrove yang mereka sebut pidada. Beberapa buah bakau juga diolah menjadi pupur dingin, semacam bedak untuk melindungi wajah dari sinar matahari.
"Kami juga mengolah buah bakau itu jadi tepung yang bisa dibuat menjadi bolu. Dengan mengambil buahnya, kita bisa memanfaatkan bakau tanpa harus menebangnya," kata Lamale.
Lamale juga membuat tempat pembenihan mangrove. Benih mangrove di sana bisa digunakan untuk menghijaukan kembali lahan rawa yang sudah rusak. Berkat dedikasinya itu, Lamale mendapat penghargaan Penyelamat Lingkungan dari Bupati Penajam Paser Utara pada 2020. Pada 2021, Lamale mendapat penghargaan serupa dari Provinsi Kaltim.
Kini sudah terdapat dua rumah singgah di Desa Mentawir untuk para turis dari luar daerah yang ingin menginap. Mimpi Lamale perlahan terwujud. Pemanfaatan mangrove yang berkelanjutan di desanya sudah mulai terlihat. Di usia yang tak lagi muda, mantan pembabat bakau itu kini justru melindungi hutan mangrove.
Lamale
Lahir : Sulawesi Tenggara, 1952
Penghargaan :
Penyelamat Lingkungan dari Pemerintah Kabupaten Penajam Paser Utara (2020)