Pandemi Menggerus Upah Pekerja
Penurunan pendapatan akibat pandemi selama dua tahun terakhir menyebabkan besaran upah kembali seperti kondisi lima tahun lalu. Apakah upah sekarang mencukupi kebutuhan hidup di tengah harga sejumlah barang yang naik?

Pandemi telah menggerus upah pekerja hampir di semua sektor ekonomi. Penurunan rata-rata tingkat upah selama dua tahun terakhir menyebabkan besaran upah saat ini kembali seperti kondisi lima tahun yang lalu. Bukti nyata pandemi menurunkan kesejahteraan masyarakat.
Pendapatan yang mencukupi kebutuhan hidup merupakan indikator kesejahteraan yang bertujuan untuk mengurangi angka kemiskinan. Pendapatan yang mencukupi ini menjadi komponen utama suatu pekerjaan disebut layak.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, terjadi penurunan rata-rata upah yang diterima buruh/karyawan/pegawai selama pandemi.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, terjadi penurunan rata-rata upah yang diterima buruh/karyawan/pegawai selama pandemi. Di tahun 2019, sebelum pandemi, rata-rata upah buruh/karyawan/pegawai adalah sebesar Rp 2,91 juta per bulan. Setahun kemudian, besaran upah pekerja turun menjadi Rp 2,76 juta per bulan.
Penurunan upah terus berlanjut pada tahun 2021 menjadi Rp 2,74 per bulan. Pada tingkat upah sebesar itu, berarti upah yang diterima pekerja pada tahun 2021 sama dengan tingkat upah yang diterima pada tahun 2017.

BPS mencatat, upah buruh/karyawan/pegawai tahun 2017 juga sebesar Rp 2,74 juta per bulan. Sementara pada tahun 2018, upah buruh/karyawan/pegawai naik menjadi Rp 2,83 juta per bulan dan terus naik pada tahun 2019.
Dalam pendefinisian BPS, yang termasuk dalam kategori buruh/karyawan/pegawai ini adalah pekerja bebas di pertanian dan non-pertanian, juga pekerja keluarga yang tidak dibayar atau pendapatannya dikonversikan.
Jika dilihat berdasarkan jenis kelamin, upah yang diterima buruh/karyawan/pegawai laki-laki mengalami penurunan yang lebih besar dibandingkan dengan upah buruh/karyawan/pegawai perempuan.
Pada tahun 2020, upah pekerja laki-laki turun sekitar 6 persen dari Rp 3,16 juta per bulan menjadi Rp 2,98 juta per bulan. Sementara penurunan upah pada pekerja perempuan lebih kecil, yakni 4 persen atau dari Rp 2,45 juta per bulan menjadi Rp 2,35 juta per bulan.

Pekerja meninggalkan lokasi proyek properti saat jam istirahat di kawasan Kuningan, Jakarta, Sabtu (23/3/2019).
Pada tahun 2021, upah pekerja laki-laki masih turun menjadi Rp 2,96 juta per bulan. Sementara pada pekerja perempuan, upah yang diterima masih tetap sama. Meski demikian, kesenjangan upah antara pekerja laki-laki dan pekerja perempuan masih terlihat, perbedaannya berkisar Rp 600.000 hingga Rp 700.000.
Baca juga : Prioritaskan Menjaga Pangan dan Daya Beli
Tingkat pendidikan
Secara umum, upah yang diterima pekerja dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Semakin tinggi pendidikan dan keahlian yang dimiliki, semakin tinggi upah yang diterima. Begitu pula sebaliknya.
Upah yang diterima pekerja yang merupakan lulusan perguruan tinggi bisa dua kali lipat dari yang diterima pekerja yang hanya lulusan SD. Masih dari data BPS, upah pada tahun 2019 merupakan upah tertinggi yang diterima untuk semua kelompok tingkat pendidikan.
Lulusan perguruan tinggi mendapat upah Rp 4,4 juta per bulan, sedangkan pekerja yang merupakan lulusan SD ke bawah sebesar Rp 1,8 juta per bulan. Adapun pekerja yang merupakan lulusan SMA/SMK menerima upah yang berkisar Rp 2,84 juta-Rp 2,87 juta per bulan.

Akibat pandemi, penurunan upah terbesar pada tahun 2020 dialami oleh pekerja yang berpendidikan rendah (SD ke bawah), yakni sebesar 8,3 persen atau dari Rp 1,8 juta per bulan menjadi Rp 1,65 juta per bulan.
Sementara pada pekerja yang lulusan perguruan tinggi, upah turun sebesar 6,8 persen menjadi Rp 4,1 juta per bulan. Penurunan upah pada kelompok ini berlanjut pada tahun 2021 menjadi Rp 3,99 juta per bulan.
Penurunan upah terjadi sebagai dampak dari lesunya perekonomian yang didera pandemi. Pembatasan pergerakan masyarakat telah menurunkan konsumsi dan permintaan terhadap barang dan jasa.
Akibatnya, perusahaan menurunkan kegiatan produksi. Hal ini berpengaruh terhadap kondisi finansial perusahaan sehingga berimbas terhadap karyawan. Banyak karyawan yang harus dirumahkan dengan status pemutusan hubungan kerja (PHK) atau dirumahkan sementara.

Para buruh yang tergabung dalam sejumlah aliansi menggelar aksi di depan Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, menuntut kenaikan upah, Selasa (21/11/2017). Saat itu para buruh menilai pemerintah belum mengakomodasi kepentingan buruh terkait upah dan mereka juga menuntut pencabutan PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang pengupahan.
Tahun 2020, angka pengangguran meningkat menjadi 7,07 persen atau bertambah 2,89 juta orang menjadi 9,77 juta orang. Tingkat pengangguran ini merupakan yang tertinggi selama satu dekade terakhir.
Selain mengurangi jumlah karyawan, perusahaan juga mengurangi jam kerja karyawan. Hal itu berimbas pada pengurangan gaji/upah. Hingga tahun 2021 masih terdapat sekitar 27,67 juta buruh/karyawan/pegawai yang menerima upah rendah, yaitu kurang atau sama dengan Rp 35,5 juta per tahun.
Baca juga : Apresiasi untuk Penguatan Pemulihan Ekonomi
Lapangan usaha
Kondisi upah jika berdasarkan lapangan usaha memperlihatkan terjadinya perubahan struktur upah. Hal ini tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh pandemi karena perubahan sudah terjadi sebelum pandemi.
Hingga tahun 2018, rata-rata upah tertinggi terdapat pada pekerjaan di sektor industri, yaitu sebesar Rp 3,25 juta per bulan. Selanjutnya di sektor jasa, rata-rata upahnya sebesar Rp 3,19 juta per bulan. Pekerja di sektor pertanian menerima upah terendah di kisaran Rp 1,89 juta per bulan.
Akan tetapi, di tahun 2019 terjadi pergeseran besaran upah. Rata-rata upah tertinggi terdapat di sektor jasa sebesar Rp 2,99 juta per bulan. Disusul dengan upah di sektor industri sebesar Rp 2,94 juta per bulan. Tingkat upah di dua sektor ini turun dibandingkan tahun sebelumnya, padahal pandemi belum terjadi.

Namun, di sektor pertanian yang notabene diisi oleh pekerja berpendidikan rendah dan kebanyakan bekerja di kegiatan informal, rata-rata upahnya justru meningkat menjadi Rp 2,03 juta per bulan. Di masa pandemi, meski mengalami penurunan, rata-rata upah di sektor jasa tetap merupakan yang tertinggi dibandingkan dua sektor lain.
Lebih tingginya tingkat upah di sektor jasa akan menyebabkan terjadinya pergeseran preferensi orang bekerja dengan lebih memilih bekerja ke sektor jasa ketimbang dua sektor lain. Hal ini berpotensi menimbulkan persoalan dalam pengembangan pembangunan di industri dan pertanian. Tidak mustahil terjadi kekurangan sumber daya manusia atau tenaga kerja di sektor industri dan pertanian karena tingkat upah tidak sesuai ekspektasi.
Baca juga : Dampak Pandemi, Mulai dari Pemotongan Gaji hingga PHK
Peringatan dini
Lebih jauh, penurunan upah akibat pandemi juga menjadi peringatan betapa kritisnya tingkat kesejahteraan dan daya beli masyarakat. Apalagi jika dihadapkan pada kenaikan harga kebutuhan hidup sehari-hari terutama yang terkait pangan dan energi.
Tingkat upah yang cenderung turun dan kian rendah dapat memicu masalah sosial. Mulai dari meningkatnya angka kemiskinan yang berpotensi menaikkan angka kriminalitas, meluasnya kasus gizi buruk, hingga timbulnya gejolak sosial yang dapat mengganggu stabilitas politik dan keamanan.

Pekerja proyek properti berbelanja makan siang yang ditawarkan penjaja makanan keliling di kawasan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Jumat (16/11/2018).
Butuh kehati-hatian dan kebijaksanaan dalam memutuskan kebijakan yang bertujuan memulihkan perekonomian. Keberpihakan kepada rakyat kecil harus diutamakan.
Pemerintah dihadapkan pada tugas berat, tidak saja dalam hal menyediakan lapangan kerja untuk mengurangi pengangguran, tetapi juga menyediakan pekerjaan layak yang memberikan tingkat upah atau pendapatan yang mencukupi kebutuhan hidup. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Jerat Rentenir Bernama Pinjaman ”Online” di Masa Pandemi