Kenaikan 1 persen PPN akan mendorong kenaikan inflasi sebesar 0,3-0,5 persen. Melihat UMP 2022 yang rerata naik 1,09 persen, kenaikan PPN sebesar 1 persen diperkirakan menggerus upah pekerja sebesar 27,5-45 persen.
Oleh
Hendriyo Widi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Alih-alih menaikkan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN, pemerintah lebih baik fokus menjaga stabilitas stok dan harga pangan serta daya beli. Kenaikan PPN justru akan memperlambat pertumbuhan ekonomi dan menekan daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi Covid-19.
Kenaikan harga sejumlah komoditas pangan dan energi sudah berkontribusi terhadap inflasi. Inflasi tahunan pada Februari 2022 sudah mencapai 2,06 persen. Pengeluaran per kapita per bulan masyarakat untuk kelompok makanan dan bukan makanan pada Maret 2021 sebesar Rp 1,26 juta, naik dari Maret 2020 yang sebesar Rp 1,22 juta.
Berkebalikan dengan hal itu, upah pekerja pada Agustus 2021 dibandingkan dengan Agustus 2020 turun 0,72 persen. Rata-rata upah minimum provinsi (UMP) 2022 secara nasional juga hanya naik tipis 1,09 persen.
Pertumbuhan konsumsi rumah tangga juga belum kembali ke sebelum pandemi yang berada di kisaran 5 persen. Pada 2021 konsumsi rumah tangga baru tumbuh 2,02 persen setelah pada 2020 tumbuh minus 2,63 persen. Ini bukti daya beli masyarakat masih rendah atau tumbuh lambat.
Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute Achmad Nur Hidayat berpendapat, kenaikan PPN dari 10 persen menjadi 11 persen per 1 April 2022 akan berdampak pada inflasi dan UMP 2022. Kenaikan 1 persen PPN akan mendorong kenaikan inflasi sebesar 0,3-05 persen.
”Melihat UMP 2022 rerata naik 1,09 persen, kenaikan PPN sebesar 1 persen diperkirakan menggerus upah pekerja sebesar 27,5-45 persen. Dengan demikian, pekerja hanya sedikit merasakan manfaat kenaikan UMP yang sangat kecil itu,” ujar Achmad, Jumat pekan lalu.
Kenaikan 1 persen PPN akan mendorong kenaikan inflasi sebesar 0,3-0,5 persen. Melihat UMP 2022 rerata naik 1,09 persen, kenaikan PPN sebesar 1 persen diperkirakan menggerus upah pekerja sebesar 27,5-45 persen.
Menurut dia, pemerintah sebaiknya tidak menaikkan PPN tahun ini. Pertimbangannya, APBN 2022 sudah mendapatkan ”durian runtuh” di sektor pajak atau windfall tax, terutama dari kenaikan harga minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan batubara.
Apalagi pemerintah telah menaikkan pungutan ekspor sawit dan produk turunannya pada 17 Maret 2022 melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23/2022. Dengan asumsi harga CPO di atas 1.500 per ton sepanjang 2022, pungutan ekspor bisa mencapai 375 dollar AS per ton.
Selain pungutan ekspor, lanjut Achmad, pemerintah juga masih mendapat pemasukan dari bea keluar dan Pajak Penghasilan atas CPO masing-masing sebesar 200 dollar AS per ton dan 131 dollar AS per ton. Jadi total pemasukan pemerintah atas satu ton komoditas itu sebanyak 706 dollar AS.
Apabila ekspor CPO pada 2022 mencapai 33,21 juta ton, pemerintah mendapatkan penerimaan sawit sekitar 23,4 miliar dollar AS atau sekitar Rp 335 triliun. Dari jumlah itu, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit hanya akan mendapatkan bagian dari pungutan ekspor yang sebesar Rp 177 triliun.
”Pemerintah akan mengantongi Rp 158 triliun dari bea keluar dan PPH. Jumlah tersebut sangat besar untuk mengisi kas negara sehingga PPN tak perlu dinaikkan,” kata Achmad.
Pemerintah bersana Badan Pangan Nasional tengah berupaya menstabilkan stok dan harga pangan. Untuk minyak goreng, meski telah melepas harga minyak goreng kemasan ke mekanisme pasar, pemerintah menggulirkan kebijakan minyak goreng curah bersubsidi dengan harga eceran tertinggi (HET) Rp 14.000 per liter.
Untuk bahan pangan lain, seperti kedelai, daging sapi, dan gula, pemerintah menjamin ketersediaan stok melalui impor. Impor tersebut dilakukan baik oleh perusahaan swasta maupun badan usaha milik negara (BUMN), seperti Perum Bulog dan PT Berdikari (Persero).
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengatakan, Bulog telah diminta mengimpor daging kerbau beku sebanyak 100.000 ton dan sudah merealisasikannya sekitar 33.000 ton. PT Berdikari juga sudah diminta mengimpor 20.000 ton daging sapi beku.
Untuk memenuhi kebutuhan kedelai bagi produsen tahu dan tempe, Bulog telah diminta membeli kedelai dari importir sebanyak 200.000 ton per bulan selama empat bulan berturut-turut. Pemerintah juga sudah menyediakan dana Rp 900 miliar.
”Dana itu akan digunakan untuk menutup selisih harga kedelai yang dibeli Bulog dengan harga kedelai di importir sebesar Rp 1.000 per kg,” ujarnya.
Di samping itu, pemerintah juga telah menerbitkan impor gula mentah. Kuota impor gula mentah juga dinaikkan dari 3,78 juta ton menjadi 4,37 juta ton pada 2022.
Sementara untuk skenario jangka panjang, Badan Pangan Nasional akan memperkuat ketahanan stok Indonesia dengan mendorong produksi dalam negeri dan impor. Hal itu bertujuan untuk memperkuat cadangan pangan selain beras di Bulog, terutama untuk komoditas yang harganya mudah bergejolak, seperti kedelai, daging sapi, cabai, dan bawang.
Badan Pangan Nasional dan ID Food atau Holding BUMN Pangan juga mulai memobilisasi sapi dari sentra-sentra peternakan di sejumlah wilayah di Indonesia ke Jabodetabek.
Badan Pangan Nasional dan ID Food atau Holding BUMN Pangan juga mulai memobilisasi sapi dari sentra-sentra peternakan di sejumlah wilayah di Indonesia ke Jabodetabek. Untuk menjaga ketersediaan daging sapi menjelang Ramadhan-Lebaran 2022, dibutuhkan tambahan sekitar 5.000 ekor sapi hidup siap potong.
Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi mengatakan, mobilisasi sapi itu akan dilakukan secara bertahap. ID Food sudah merealisasikan sekitar 40 sapi dari Jawa Timur, akhir pekan lalu.
”Berikutnya akan menyusul 300 ekor dari Boyolali, Jawa Tengah, dan 600 sapi dari peternak Sumbawa, Nusa Tenggara Barat,” kata Arief.