Badan Pangan Nasional Perkuat Cadangan Pangan Selain Beras
Badan Pangan Nasional akan memperkuat cadangan pangan nasional selain beras. Sementara terkait dengan minyak goreng, gonta-ganti kebijakan dinilai telah menyebabkan perubahan harga menjadi liar dan kelangkaan stok.
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pangan Nasional akan memperkuat cadangan pangan nasional di Perum Bulog, baik melalui serapan pangan di dalam negeri maupun impor. Selain beras, cadangan pangan yang akan diperkuat adalah kedelai, jagung, gula, dan daging kerbau atau sapi.
Langkah itu diambil guna memperkuat stok pangan nasional. Badan Pangan Nasional akan menggunakan stok itu untuk mengintervensi pasar jika sewaktu-waktu terjadi kekurangan stok dan kenaikan harga pangan.
Pelaksana Tugas Deputi Bidang Ketersediaan dan Stabilitas Pangan Badan Pangan Nasional Risfaheri mengatakan hal itu dalam Forum Diskusi Salembe ke-79 bertajuk ”Strategi Pemerintah dalam Memenuhi Aspek kebutuhan Pangan Pokok”, di Jakarta, Rabu (23/3/2022). Diskusi virtual tersebut digelar oleh Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Iluni UI).
Menurut Risfaheri, Badan Pangan Nasional telah membuat prognosa Neraca Pangan Nasional periode Januari-Desember 2022. Dari 12 bahan pangan pokok dalam neraca tersebut, empat komoditas pangan, yaitu kedelai, daging sapi, gula, dan bawang putih, masih bergantung impor.
Kedelai, misalnya. Produksi komoditas itu pada 2022 diperkirakan hanya sebanyak 200.315 ton. Padahal, total kebutuhan kedelai tahunan secara nasional sebanyak 2,98 juta ton sehingga masih ada defisit sebesar 2,58 juta ton.
Bapanas telah membuat prognosa Neraca Pangan Nasional periode Januari-Desember 2022. Dari 12 bahan pangan pokok dalam neraca tersebut, empat komoditas pangan, yaitu kedelai, daging sapi, gula, dan bawang putih, masih bergantung impor.
Jika harga pangan internasional naik seperti saat ini, lanjut Risfaheri, harga komoditas-komoditas impor tersebut juga turut naik. Oleh karena itu, cadangan pangan Bulog sebagai operator utama Badan Pangan Nasional dalam stabilisasi stok dan harga pangan akan diperkuat.
”Selain beras, kami akan memperkuat cadangan kedelai, jagung, dan daging sapi atau kerbau. Cadangan ketiga komoditas pangan tersebut saat ini ada di pelaku usaha semua. Jadi, saat harganya naik, menjadi susah untuk menstabilkannya,” ujarnya.
Risfaheri menambahkan, selain Bulog, Badan Pangan Nasional akan melibatkan ID Food, Holding BUMN Pangan, sebagai ujung tombak stabilisasi stok dan harga. ID Food juga akan menjadi operator utama Badan Pangan Nasional melalui izin Kementerian BUMN untuk melaksanakan tugas khusus tersebut.
Berdasarkan laporan Perkembangan Stok dan Harga Pangan Kementerian Perdagangan pada 22 Maret 2022, Bulog diminta untuk menyalurkan kedelai sejumlah maksimal 200.000 ton per bulan selama empat bulan ke depan. Pemerintah akan memberikan subsidi kedelai impor itu melalui program Bantuan Penggantian Selisih Harga Pembelian Kedelai di tingkat perajin tahu dan tembe sebesar Rp 1.000 per kg.
Bulog juga diminta untuk mengimpor daging kerbau beku sebanyak 100.000 ton. Selain Bulog, PT Berdikari (Persero), yang merupakan bagian dari ID Food, juga diminta mengimpor daging sapi beku sebanyak 20.000 ton.
Minyak goreng
Badan Pangan Nasional juga diminta untuk membantu Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian untuk menstabilkan stok dan harga minyak goreng. Badan Pangan Nasional telah bersinergi dengan ID Food mendistribusikan minyak goreng curah sesuai dengan harga eceran tertinggi (HET) baru Rp 14.000 per liter.
”Adapun untuk minyak goreng kemasan sederhana dan premium, kami distribusikan di rentang harga pasar saat ini, yaitu Rp 22.000 per liter hingga Rp 25.000 per liter,” kata Kepala Badan Pangan Nasional Arief Prasetyo Adi.
Arief juga mengakui, proses pendistribusian minyak goreng curah bersubsidi masih belum optimal atau belum seperti yang diharapkan masyarakat. Hal ini terjadi lantaran para produsen minyak goreng yang terlibat tengah merampungkan proses registrasi.
Hingga 21 Maret 2022, sebanyak 13,89 juta liter minyak goreng telah didistribusikan ke 617 titik di 22 provinsi. Dari jumlah tersebut, sebanyak 10,62 juta liter berupa minyak goreng curah, 3,23 juta liter minyak goreng kemasan, dan 34.600 liter minyak goreng jeriken.
Baca juga: Pengusaha Wajib Sediakan Minyak Goreng Curah Bersubsidi
Dalam forum diskusi itu, ekonom Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hadtiadi, menilai, pemerintah terlambat mengantisipasi kenaikan harga minyak goreng sejak awal. Hal itu terjadi lantaran pemerintah terjebak pada euforia siklus super (supercycle) komoditas, terutama minyak kelapa sawit mentah (CPO).
Ekspor komoditas tersebut digenjot terus secara agresif, tetapi ketersediaan CPO untuk bahan baku minyak goreng di dalam negeri kurang diperhatikan. Di sisi lain, pemerintah bukanlah penguasa stok dan distribusi CPO beserta produk turunannya sehingga kesulitan mengendalikan kenaikan harga dan kelangkaan stok minyak goreng.
Kondisi tersebut, kata Fithra, diperparah dengan terbitnya sejumlah kebijakan, mulai dari menyubsidi dan menetapkan HET minyak goreng hingga menerapkan kewajiban memasok kebutuhan pasar dalam negeri (DMO) CPO dan olein. Hingga pada akhirnya melepas harga minyak goreng kemasan ke mekanisme pasar dan kembali ke subsidi minyak goreng curah.
”Gonta-ganti kebijakan ini menyebabkan ketidakpastian atau inkonsistensi pasar, kelangkaan stok minyak goreng, dan perubahan harga menjadi liar,” ujarnya.
Gonta-ganti kebijakan ini menyebabkan ketidakpastian atau inkonsistensi pasar, kelangkaan stok minyak goreng, dan perubahan harga menjadi liar.
Baca juga: Soal Minyak Goreng, Pemerintah Dinilai Kalah
Menurut Fithra, penetapan HET minyak goreng di bawah harga pokok produksi itu menyebabkan pengusaha menjual rugi produknya. Lantaran tak mau merugi, wajar jika mereka tidak mengeluarkan stok atau menunda produksi minyak goreng.
Dengan kebijakan subsidi dan mematok HET minyak goreng curah Rp 14.000 per liter, persoalan kelangkaan minyak goreng curah kembali terjadi. Sementara dengan menyerahkan minyak goreng kemasan ke mekanisme pasar, harga minyak goreng kembali melambung tinggi.
Oleh karena itu, Fithra mengusulkan sejumlah solusi untuk mengurai persoalan minyak goreng itu dan perlindungan konsumen yang dirugikan atas kenaikan harga komoditas tersebut. Pertama, gulirkan minyak goreng bersubsidi melalui mekanisme bantuan sosial karena yang paling terdampak oleh mahalnya harga minyak goreng adalah masyarakat rentan.
Baca juga: Daya Beli Rakyat Kian Tergerogoti
Kedua, pemerintah dapat melibatkan Bulog dalam penyediaan minyak goreng curah bersubsidi. Ketiga, integrasikan pabrik-pabrik minyak goreng yang belum terkoneksi dengan pabrik CPO atau olein. Tidak terintegrasinya pabrik-pabrik tersebut dengan sumber bahan baku menyebabkan pengelolanya membeli CPO berdasarkan harga lelang yang mengacu pada harga internasional.
Keempat, manfaatkan sistem resi gudang sawit yang juga memiliki instrumen lindung nilai (hedging), perlindungan petani, dan stabilisasi harga. Integrasikan sistem resi gudang itu dengan Bulog.
”Kelima, ciptakan buffer stock (CPO atau minyak goreng) dengan mengimpornya dari Malaysia yang harganya lebih murah ketimbang Indonesia. Harganya bisa ditentukan secara bilateral sehingga dapat dijual murah di dalam negeri hingga harga minyak goreng kembali normal. Dengan begitu, pemerintah memiliki kuasa suplai,” kata Fithra.
Baca juga: Berakhirnya Era Minyak Goreng Murah