Kenaikan UMP pada 2022 dengan rata-rata nasional hanya 1,09 persen dinilai tidak mampu menutup kenaikan harga minyak goreng. Belum lagi masih ada kenaikan bahan pangan lain, bahan bakar minyak, gas, dan PPN.
Oleh
Hendriyo Widi, AGNES THEODORA WOLKH WAGUNU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Harga sejumlah komoditas pangan, terutama minyak goreng, terus merangkak naik. Harga itu dikhawatirkan kian tinggi pada Ramadhan-Lebaran sehingga bakal menggerus daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih dari imbas pandemi Covid-19.
Oleh karena itu, serikat buruh dan petani meminta pemerintah menurunkan harga pangan pokok, termasuk minyak goreng, serta mengatasi kelangkaan minyak goreng dan memberlakukan kembali harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng kemasan. Mereka juga meminta peredaran minyak goreng curah dihentikan demi kesehatan dan minta Menteri Perdagangan diganti. Tuntutan itu disampaikan saat berunjuk rasa di depan Kantor Kementerian Perdagangan, di Jakarta, Selasa (22/3/2022).
”Harga minyak goreng Rp 23.900 per liter sangat memberatkan buruh, petani, nelayan, pedagang kaki lima, orang miskin desa, orang miskin kota, dan pengangguran. Bahkan, tidak hanya mahal, tetapi juga langka. Rakyat harus mengantre seperti pengemis,” kata Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal.
Harga minyak goreng Rp 23.900 per liter sangat memberatkan buruh, petani, nelayan, pedagang kaki lima, orang miskin di desa/kota, dan pengangguran.
Said menyatakan, buruh dan petani memberi waktu sepekan kepada pemerintah untuk merealiasikan tuntutan itu. Jika tidak, organisasi buruh dan petani akan kembali berunjuk rasa dengan jumlah massa yang lebih besar.
Selepas Kementerian Perdagangan mengubah HET minyak goreng curah, masyarakat tak lagi bisa memperoleh minyak itu seharga Rp 11.500 per liter. Alih-alih mendapatkan minyak goreng curah sesuai HET baru Rp 14.000 per liter, masyarakat justru dihadapkan pada terbatasnya stok dan lonjakan harga minyak goreng tersebut.
Begitu juga setelah pemerintah melepas harga minyak goreng kemasan sederhana dan premium ke mekanisme pasar. Harga kedua jenis minyak goreng itu semakin melambung tinggi dan stok ”mendadak” banyak tersedia di jaringan ritel modern dan pasar tradisional.
Berdasarkan data Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kementerian Perdagangan, per Senin (21/3/2022), harga rata-rata nasional minyak goreng curah Rp 17.700 per liter. Harga tersebut naik sebesar 11,32 persen secara bulanan dan 39,37 persen secara tahunan.
Adapun harga rata-rata nasional minyak goreng kemasan sederhana Rp 21.400 per liter. Harga salah satu barang kebutuhan pokok itu naik 31,29 persen secara bulanan dan 58,52 persen secara tahunan.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad berpendapat, kenaikan harga kebutuhan pokok pada awal tahun ini akan menggerus daya beli masyarakat yang belum pulih betul dari dampak pandemi. Per Februari 2022, tingkat inflasi tahunan tercatat sebesar 2,06 persen.
Tekanan terbesar sejauh ini adalah harga minyak goreng (curah, kemasan sederhana, dan premium) yang kenaikannya secara tahunan melejit hingga 39 persen hingga 63 persen. Kenaikan upah minimum provinsi (UMP) 2022 dengan rata-rata nasional hanya 1,09 persen dinilai tidak mampu menutup kenaikan harga kebutuhan pokok setinggi itu.
”Tekanannya pada masyarakat cukup berat, khususnya yang berpendapatan menengah bawah. Bukan hanya satu atau dua komoditas yang harganya naik, tapi banyak. Minyak goreng ini baru satu contoh, belum lagi harga bahan bakar minyak pertalite, gas, dan komoditas pangan lainnya,” kata Tauhid.
Kenaikan UMP 2022 dengan rata-rata nasional hanya 1,09 persen dinilai tidak mampu menutup kenaikan harga kebutuhan pokok setinggi itu. Minyak goreng ini baru satu contoh, belum lagi harga bahan bakar minyak pertalite, gas, dan komoditas pangan lainnya.
Menurut Tauhid, anggaran perlindungan sosial perlu diperkuat untuk menutup selisih antara inflasi dengan kenaikan upah yang minim. Pandemi memang mulai mereda, tetapi sebagai gantinya krisis ekonomi akibat tren inflasi muncul.
”Pemerintah perlu menetapkan lagi skala prioritas. Dalam situasi saat ini, untuk membangkitkan permintaan perekonomian, mau tidak mau bantuan sosial harus diperkuat,” ujarnya.
Fleksibilitas upah
Tauhid menambahkan, kondisi saat ini juga bisa menjadi catatan untuk membuat sistem pengupahan yang lebih fleksibel dan bisa disesuaikan dengan kondisi inflasi aktual. Selama ini, penetapan upah minimum selalu merujuk pada tingkat inflasi tahun sebelumnya.
Hal itu mengakibatkan kebijakan kenaikan upah tidak bisa memprediksi seberapa jauh kenaikan inflasi di tahun berikutnya. Di saat inflasi pada tahun berikutnya naik tinggi, upah minimum tersebut tetap berada di bawah tingkat inflasi.
Menurut Tauhid, hal itu sebelumnya bukan masalah besar karena formula pengupahan sebelum Undang-Undang Cipta Kerja menghasilkan kenaikan upah minimum di atas inflasi. Namun, dengan berlakunya UU sapu jagat tersebut, yang merombak formula pengupahan dan menahan kenaikan upah minimum, inflasi berpotensi terus menggerus daya beli, menekan konsumsi masyarakat, dan menghambat pertumbuhan ekonomi.
”Ini kesalahan fatal dari sistem pengupahan kita. Maka, seharusnya ada fleksibilitas. Kenaikan upah seharusnya bisa dikoreksi mengikuti kondisi aktual. Kalau tidak, selamanya kenaikan biaya hidup akan jauh lebih tinggi dibandingkan pendapatan masyarakat,” kata Tauhid.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, rata-rata upah buruh pada Agustus 2021 sebesar Rp 2,74 juta. Besaran upah itu turun 0,72 persen dibandingkan Agustus 2020 yang sebesar Rp 2,75 juta. Penurunan upah itu terjadi di 12 sektor industri atau pekerjaan dari total 17 sektor. Sisanya, sebanyak lima sektor pekerjaan, mengalami kenaikan upah, yaitu real estat; pengadaan air; informasi dan komunikasi; pertanian, kehutanan, dan perikanan; serta industri pengolahan.
Sementara Kementerian Ketenagakerjaan menyebutkan, rata-rata nasional kenaikan upah minimum provinsi pada 2022 sebesar 1,09 persen. Persentase itu jauh di bawah kenaikan upah dalam lima tahun terakhir yang biasanya sebesar 8 persen.
Sejak pemerintah menggulirkan kebijakan minyak goreng curah bersubsidi, pasokan minyak goreng curah di pasar konsumsi tersendat. Hal ini menyebabkan harga minyak goreng curah masih jauh di atas HET yang sebesar Rp 14.000 per liter atau Rp 15.500 per kg.
Semakin lama prosesnya, akan semakin mundur juga pelaksanaan program itu.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono memperkirakan, hal itu terjadi lantaran masih banyak pabrik minyak goreng curah tengah memproses persyaratan administrasi program penyediaan minyak goreng bersubsidi di Kementerian Perindustrian. Selain itu, petunjuk pelaksanaan program tersebut juga belum beres.
Saat ini baru ada Peraturan Menteri Perindustrian tentang tentang minyak goreng curah. Masih diperlukan lagi keputusan tentang penetapan harga acuan keekonomian (HAK) minyak goreng curah dan penunjukan produsen dan alokasi volume yang akan disubsidi dan digulirkan. ”Semakin lama prosesnya, akan semakin mundur juga pelaksanaan program itu,” tutur Joko.
Ia juga mengusulkan, pemerintah dapat melibatkan Perum Bulog dalam program minyak goreng curah bersubsidi. Bulog bisa berperan sebagai off taker atau pembeli minyak goreng curah itu.
”Jika benar-benar dilibatkan, Bulog perlu dimodali agar memiliki aliran kas yang cukup untuk membelinya sesuai harga pasar dan mendistribusikannya ke konsumen. Bulog jugalah yang nantinya akan mengklaim subsidi ke BPDPKS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit),” katanya.
BPDPKS telah menyiapkan anggaran subsidi minyak goreng curah sebesar Rp 7,28 triliun guna mencukupi kebutuhan 1,2 juta kiloliter selama enam bulan. Angka itu didapat dari perkiraan selisih antara HAK dengan HET minyak goreng curah sebesar Rp 6.398 per liter (Kompas, 22/3/2022).