Apresiasi publik yang tinggi menjadi modal pemerintah mendorong kinerja ekonomi dengan mewujudkan angka pertumbuhan yang tinggi. Menjaga daya tahan ekonomi masyarakat di tengah pandemi menjadi tantangan tersendiri.
Oleh
Gianie
·5 menit baca
Pengendalian pandemi Covid-19 yang lebih baik di paruh terakhir 2021 membuat perekonomian beranjak pulih. Kinerja pemerintah di bidang ekonomi pun diapresiasi sudah jauh lebih baik. Hal ini mendorong kepercayaan dan optimisme pertumbuhan ekonomi pada tahun 2022 akan lebih tinggi. Namun, masih ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.
Sepanjang masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin, baru pada survei periodik Kompas periode Januari 2022 ini kinerja pemerintahan bidang ekonomi mendapat penilaian kepuasan tertinggi, yakni 64,8 persen. Juga yang tertinggi jika ditarik sejak Joko Widodo menjabat presiden pada 2014.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kepuasan yang disampaikan publik ini sejalan dengan tren pertumbuhan ekonomi yang pada triwulan kedua tahun 2021.
Kenaikan apresiasi ini mulai tampak pada survei sebelumnya yang dilakukan pada bulan Oktober 2021. Saat itu, kepuasan terhadap kinerja ekonomi berada di angka 58,7 persen, sedikit meningkat dibandingkan survei sebelumnya yang di angka 57,8 persen.
Kepuasan yang disampaikan publik ini sejalan dengan tren pertumbuhan ekonomi yang pada triwulan kedua tahun 2021 mencatatkan kenaikan tajam ke level 7,07 persen. Indonesia berhasil keluar dari kondisi krisis ekonomi setelah selama empat triwulan berturut-turut mencatat pertumbuhan ekonomi yang negatif.
Di triwulan berikutnya angka pertumbuhan ekonomi tercatat 3,51 persen, tetap positif meski tidak setinggi di triwulan kedua. Pertumbuhan ekonomi di triwulan keempat naik lagi menjadi 5,02 persen.
Secara tahunan, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2021 menjadi 3,69 persen. Angka ini meningkat signifikan dibandingkan tahun 2020 yang akibat pandemi terkontraksi menjadi minus 2,07 persen.
Pencapaian ini tentunya memberi kepuasan kepada publik dan menumbuhkan keyakinan bahwa kita sudah bergerak di jalur yang benar keluar dari keterpurukan akibat pandemi.
Pencapaian ini tentunya memberi kepuasan kepada publik dan menumbuhkan keyakinan bahwa kita sudah bergerak di jalur yang benar keluar dari keterpurukan akibat pandemi. Akan tetapi, bila dibandingkan dengan kepuasan publik di bidang lainnya, angka apresiasi kinerja ekonomi masih merupakan yang terendah.
Sedikit di atas bidang ekonomi, kepuasan publik terhadap kinerja bidang penegakan hukum di angka 65,9 persen. Kepuasan yang tertinggi ditujukan pada kinerja bidang kesejahteraan sosial yang mencapai 78,3 persen. Kepuasan ini juga tertinggi yang dicapai selama pemerintahan Jokowi-Ma’ruf ini. Setelah itu, baru kepuasan terhadap kinerja bidang politik dan keamanan di angka 77,6 persen.
Jika dilihat lebih spesifik, kinerja bidang ekonomi yang dianggap menyumbang terhadap kepuasan publik adalah dalam hal memeratakan pembangunan antarwilayah. Apresiasi disampaikan oleh 73 persen responden, meningkat 7 persen dibandingkan survei sebelumnya.
Penilaian ini terkait dengan pembangunan infrastruktur di berbagai wilayah yang menjadi prioritas pemerintah. Yang paling hangat dalam benak publik tentu soal pembangunan gedung dan prasarana pendukung terkait pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan Timur.
Ada pula sejumlah peresmian tol yang dilakukan Presiden Jokowi, baik di Jawa maupun Sumatera. Juga pembangunan sejumlah bandara dan bendungan.
Kinerja yang juga dianggap baik adalah dalam hal pemenuhan sendiri kebutuhan pangan domestik serta memberdayakan petani dan nelayan. Namun, dua hal yang mendapat apresiasi terendah adalah kinerja dalam menyediakan lapangan kerja serta mengendalikan harga barang dan jasa.
Upaya pemerintah mengurangi angka pengangguran akibat pendemi masih belum sepenuhnya memuaskan publik. Separuh responden menyatakan puas dan 47 persen lainnya menyatakan belum puas.
Dilihat dari data Badan Pusat Statistik, jumlah pengangguran memang meningkat. Per Agustus 2021 tercatat 9,1 juta orang (6,49 persen) yang menganggur. Angka ini bertambah dibandingkan kondisi per Februari 2021, yakni 8,75 juta orang (6,26 persen).
Terdapat sebanyak 21,32 juta orang penduduk usia kerja yang terdampak oleh Covid-19 pada Agustus 2021, termasuk di dalamnya yang menjadi pengangguran, sementara tidak bekerja, atau mengalami pengurangan jam kerja. Angka ini juga meningkat dibandingkan Februari 2021 yang tercatat 19,1 juta orang.
Selanjutnya, kinerja dalam mengendalikan harga sejumlah barang juga menjadi sorotan. Sebanyak 51 persen responden menyatakan puas dengan upaya pemerintah soal harga. Angka ini turun 5 persen dibandingkan survei sebelumnya. Penurunan ini antara lain akibat lonjakan harga minyak goreng yang berlangsung saat survei dilakukan. Sejak awal tahun masyarakat mengantre mendapatkan minyak goreng karena kelangkaan stok.
Pemerintah sudah berusaha mengatasi persolan tersebut dengan berbagai kebijakan. Mulai dari menetapkan satu harga untuk semua jenis minyak goreng hingga aturan harga eceran tertinggi untuk tiga jenis minyak goreng, diikuti dengan kewajiban pemenuhan pasar domestik sebelum mengekspor minyak sawit mentah (CPO) dan produk turunannya.
Namun, persoalan harga dan kelangkaan belum teratasi. Situasi ini ditambah lagi dengan mulai naiknya harga kedelai pada awal Februari yang berimbas pada harga tahu dan tempe.
Dari seluruh kinerja ekonomi pemerintah, persoalan pengendalian harga harus menjadi fokus perhatian untuk pemulihan ekonomi selanjutnya. Pasalnya, kenaikan harga akan menggerus daya beli masyarakat dan muaranya pada pertumbuhan ekonomi. Gejolak harga juga perlu diredam karena berpotensi menimbulkan gejolak sosial. Pengangguran yang meluas juga akan semakin menambah tekanan sosial.
Selain faktor domestik yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi, faktor global juga menjadi tantangan yang harus diantisipasi. Dana Moneter Internasional (IMF) pada awal tahun sudah memperingatkan bahwa pertumbuhan ekonomi secara global akan melambat pada tahun 2022. Dari tumbuh 5,9 persen pada 2021 menjadi 4,4 persen pada 2022. Dan, bisa turun lagi menjadi 3,8 persen pada 2023.
Perlambatan ekonomi disebabkan oleh setidaknya tiga hal. Pertama adalah ketidakpastian akhir dari pandemi akibat merebaknya varian Omicron dan kemungkinan munculnya varian-varian lain yang lebih berbahaya.
Kedua, terganggunya rantai pasok dunia akibat dari perubahan cuaca ekstrem, pembatasan mobilitas karena Covid-19, juga isu upah yang dapat memengaruhi produksi. Ketiga adalah krisis energi dan berlanjutnya kenaikan harga minyak dunia.
Forum Ekonomi Dunia (WEF) pada Januari lalu juga mengatakan bahwa tahun 2022 bagi perekonomian global akan lebih sulit dibandingkan dengan tahun 2020. Mempertahankan level yang sudah dicapai akan sama sulitnya dengan meningkatkan pertumbuhan.
Apresiasi publik yang tinggi menjadi modal untuk mendorong kinerja pemerintah mewujudkan angka pertumbuhan yang tinggi.
Dalam asumsi makro APBN 2022, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2 persen. Sementara Bank Indonesia memperkirakan ekonomi akan tumbuh 4,7 persen hingga 5,5 persen.
Apresiasi publik yang tinggi menjadi modal untuk mendorong kinerja pemerintah mewujudkan angka pertumbuhan yang tinggi tersebut. Untuk itu, upaya harus dimulai dengan menjaga daya beli masyarakat. Termasuk menyediakan lapangan kerja agar ekonomi berputar lebih kencang. (LITBANG KOMPAS)