Apresiasi publik pada kinerja pemerintahan Jokowi-Ma'ruf di bidang hukum mulai meningkat. Kesetaraan dan perlakuan sama di mata hukum masih menjadi pekerjaan rumah.
Oleh
Rangga Eka Sakti
·5 menit baca
Kinerja pemerintah di bidang hukum masih tergolong paling rendah dibandingkan bidang lainnya, meskipun trennya meningkat. Masih banyak ruang bagi pemerintah untuk terus meningkatkan pelayanannya di bidang ini, terutama dalam kerja terkait pemberantasan suap dan jual beli kasus hukum serta dalam menjamin perlakuan yang sama di mata hukum bagi setiap warga.
Tren positif penegakan hukum di Indonesia ini tercermin dari hasil survei periodik Litbang Kompas. Ada peningkatan signifikan dari pengukuran Oktober 2021 dengan capaian sekitar 60 persen menjadi nyaris 66 persen di Januari 2022. Angka ini pun menjadi yang tertinggi dalam lima pengukuran terakhir semenjak Agustus 2020.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Meskipun mengalami peningkatan, jika dibandingkan dengan bidang lainnya, kinerja di bidang penegakan hukum masih tergolong paling rendah. Dengan skor tersebut, kepuasan publik terhadap penegakan hukum terpaut jauh dengan kepuasan di bidang politik dan keamanan (77,6 persen) dan kesejahteraan sosial (78,3 persen).
Di satu sisi, naiknya apresiasi atas penegakan hukum ini didorong oleh kepuasan publik atas upaya aparat menuntaskan kasus hukum. Dalam survei ini, terdapat 72 persen responden yang menyatakan puas dengan upaya penyelesaian perkara hukum, seperti perampokan, pembunuhan, narkoba, hingga perjudian. Angka ini meningkat sebesar 8 persen dibandingkan survei sebelumnya.
Apresiasi publik ini bisa jadi tidak terlepas dari ketegasan pemerintah menangani beberapa kasus hukum besar secara terbuka. Salah satu contohnya ialah beberapa kasus pelecehan seksual yang terungkap di sebuah pesantren hingga akhirnya pelaku dijatuhi hukuman seumur hidup.
Selain penuntasan perkara hukum, kepuasan yang relatif tinggi juga diperoleh dalam hal menuntaskan kasus-kasus kekerasan oleh aparat atau pelanggaran HAM. Aspek ini mendapat apresiasi positif dari sebesar 63 persen responden, naik sebesar 3 persen selama periode Oktober 2021 hingga Januari 2022.
Selain penuntasan perkara hukum, kepuasan yang relatif tinggi juga diperoleh dalam hal menuntaskan kasus-kasus kekerasan oleh aparat atau pelanggaran HAM.
Selanjutnya, aspek lain yang juga mendapat apresiasi lebih adalah soal pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Dalam survei periode ini, ada peningkatan kepuasan publik terhadap kerja pemberantasan korupsi sebesar 5 poin hingga menjadi 63 persen.
Di sisi lain, meskipun secara umum tingkat kepuasan memiliki tren positif, masih ada beberapa pekerjaan rumah yang perlu segera dibenahi oleh pemerintah di bidang penegakan hukum. Dalam hal ini, terdapat dua elemen penilaian yang paling sedikit mendapat apresiasi.
Soal pertama ialah tentang pemberantasan suap dan jual beli kasus hukum. Meski sudah naik sebesar 3 persen, pemberantasan suap ini memiliki tingkat kepuasan paling rendah di 51 persen dibandingkan dengan aspek lainnya.
Hal ini menjadi indikasi bahwa masyarakat tak sepenuhnya percaya bahwa hukum bisa diterapkan dengan tegas dan objektif. Mereka merasa bahwa masih ada celah yang dapat dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki kapita besar untuk bisa lepas dari jeratan kasus hukum. Ujungnya, posisi setiap warga di mata hukum pun akan tidak sama, bergantung dengan seberapa dalam kocek yang dimiliki.
Meskipun secara umum tingkat kepuasan memiliki tren positif, masih ada beberapa pekerjaan rumah yang perlu segera dibenahi oleh pemerintah di bidang penegakan hukum
Keraguan publik ini selaras dengan aspek selanjutnya yang perlu dikoreksi dari kinerja pemerintah di bidang penegakan hukum, yakni soal menjamin perlakuan yang sama oleh aparat hukum. Tingkat kepuasan di aspek ini menjadi nomor dua terendah dibandingkan yang lainnya dengan angka kepuasan di kisaran 62 persen.
Tak hanya itu, peningkatan yang hanya sebesar 2 persen dibandingkan dengan pengukuran sebelumnya juga menunjukkan bahwa tak mudah untuk mengubah persepsi publik bahwa aparat tidak pilih kasih soal penegakan hukum.
Adanya persepsi “tumpul ke atas, tajam ke bawah” ini sebetulnya bisa digerus dengan semakin diterapkannya prinsip keadilan restoratif (restorative justice).
Hal ini senada dengan hasil jajak pendapat Litbang Kompas awal bulan ini dimana nyaris tiga perempat responden setuju jika penegak hukum menerapkan mediasi dan kesepakatan damai dalam penyelesaian kasus pidana ringan.
Jalur keadilan restoratif ini dinilai masyarakat lebih humanis. Salah satu alasannya bisa jadi karena tindak pidana terjadi akibat ketidaktahuan atau keterpaksaan dari sang pelaku.
Sebagai contohnya ialah kasus Fredi di Kabupaten Bungo yang terancam pasal 840 KUHP (penadahan) akibat tidak tahu bahwa ponsel yang ia beli dari kawannya merupakan barang curian (Kompas, 12/1/2022). Namun, tentunya prinsip ini tidak bisa diterapkan pada kasus kriminal berat atau khusus seperti korupsi.
Selain dua aspek di atas, terdapat pula ganjalan citra lembaga di tengah meningkatnya apresiasi masyarakat penegak hukum. Memang, terdapat lembaga penegak hukum yang citranya cukup baik, seperti kepolisian. Dengan citra positif sebesar 74 persen, kepolisian menjadi institusi terbaik ke tiga setelah TNI (91 persen) dan pemerintah daerah (79 persen).
Sementara KPK sebagai salah satu lembaga penegak hukum justru hanya memiliki tingkat kepuasan sebesar 71 persen. Meskipun telah terkoreksi sedikit dari level sebelumnya, agaknya lembaga antirasuah ini perlu bekerja lebih keras untuk menunjukkan kinerja pemberantasan korupsinya di depan publik. Tentunya, hal ini bisa tercapai jika pimpinan KPK tidak menimbulkan kontroversi seperti yang beberapa kali telah terjadi.
Selaras, Kejaksaan juga memiliki skor cukup rendah dengan tingkat kepuasan sama-sama berada di angka 71 persen. Hal ini pun cukup sesuai dengan keresahan masyarakat yang masih cukup kurang puas dengan lemahnya pemberantasan jual beli hukum dan masih adanya ketidaksetaraan warga di mata hukum.
Tak ayal, pemerintah masih perlu berupaya ekstra untuk menambal kekurangan di bidang penegakan hukum. Sambil menyelam minum air, perbaikan kinerja KPK dan Kejaksaan kemungkinan juga turut memantik apresiasi lebih dari masyarakat soal pemberantasan suap dan jual beli hukum serta jaminan atas perlakuan yang sama terhadap semua warga. (LITBANG KOMPAS)