Utamakan Kemanusiaan dalam Pembebasan Lahan IKN
Diperlukan sentuhan kemanusiaan dalam upaya pemerintah menyelesaikan gesekan dengan masyarakat lokal di sekitar IKN.
Di tengah melajunya pembangunan Ibu Kota Nusantara atau IKN, adanya gesekan dengan masyarakat adat pun sulit untuk dihindari. Setelah bermukim puluhan tahun, masyarakat adat mau tak mau harus tunduk dan merelakan sebidang tanah yang ditinggali karena tak sesuai dengan rencana pemerintah.
Isu gesekan antara pemerintah dan masyarakat di sekitar IKN mencuat setelah beredar surat edaran yang terkesan menggusur di awal minggu kedua Maret.
Dalam surat edaran tersebut, warga lokal diberi perintah untuk segera membongkar dan meninggalkan area tempat tinggal mereka karena tidak sesuai dengan rencana tata ruang IKN. Tak hanya itu, surat tersebut pun menyertakan tenggat selama tujuh hari untuk perintah ini dilaksanakan.
Ultimatum ini dilayangkan kepada warga yang mendiami beberapa desa, yakni Bumi Harapan, Tengin Baru, Suka Raja, dan Pemaluan. Di dalamnya, terhimpun masyarakat adat yang tergolong dalam berbagai suku.
Di Pemaluan, misalnya, mayoritas warga merupakan suku Balik, Dayak Kenyah, dan Paser. Tentu, suku-suku lain yang tinggal di desa-desa tersebut pun terancam mendapat ”tekanan” yang sama dari pemerintah.
Surat ini bak petir di siang bolong bagi masyarakat adat sekitar. Pasalnya, mereka sama sekali tidak merasa diberi tahu ataupun diajak berdialog sebelumnya. Padahal, masyarakat yang tinggal di sekitar area IKN telah hidup puluhan tahun, bahkan semenjak generasi pendahulunya.
Hingga kini, pihak Otorita IKN (OIKN) menyampaikan bahwa proses komunikasi masih berlangsung. Pihak OIKN pun menekankan tidak akan ada penggusuran paksa terhadap warga adat yang tinggal di sekitar area pembangunan IKN. Proses pembebasan lahan pun dijanjikan dilakukan dengan cara yang menguntungkan semua pihak.
Baca juga: Bantah Menggusur, Otorita IKN Tetap Akan Pindahkan Warga jika Lahan Diperlukan
Kerentanan masyarakat adat
Gesekan yang terjadi antara warga adat dan OIKN seharusnya sudah bisa diprediksi. Pasalnya, pembangunan IKN tidak dilakukan di atas ruang hampa. Di dalam area tersebut terdapat ribuan warga yang bermukim dan sudah membangun kehidupan bertahun-tahun.
Posisi masyarakat adat dalam hal ini relatif lemah. Tidak jarang, gesekan kepentingan pembangunan dan nasib masyarakat adat dibarengi dengan intimidasi, kriminalisasi, dan kekerasan.
Data dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menunjukkan, setidaknya terjadi 301 kasus perampasan tanah di wilayah masyarakat adat selama tahun 2017 sampai 2022. Selama rentang waktu tersebut, tidak kurang dari 8,5 juta hektar tanah dirampas oleh sejumlah pihak, seperti pengusaha perkebunan, pertambangan, dan negara.
Tren serupa masih terjadi pada 2023. Laporan dari AMAN menyatakan, terjadi perampasan di lebih dari 2,5 juta hektar wilayah adat selama setahun ke belakang. Utamanya, perampasan tersebut dilakukan untuk mengakomodasi kepentingan investasi, bisnis, dan pembangunan infrastruktur.
Proses perampasan tanah di wilayah adat ini pun disertai dengan tindak kekerasan. Catatan tahunan AMAN melaporkan, kekerasan dan kriminalisasi menimpa 247 warga adat dalam berbagai peristiwa perampasan lahan.
Dari jumlah tersebut, 204 di antaranya mengalami luka-luka dan 1 orang meninggal akibat luka senjata api. Tak hanya itu, ratusan rumah warga adat pun dimusnahkan karena dianggap menempati kawasan konservasi negara.
Tangkapan dari AMAN ini memberikan preseden bahwa posisi masyarakat adat di Indonesia masih terhimpit. Tanpa ada pengawasan yang kuat dari lembaga swadaya dan media, tidak menutup kemungkinan kekerasan dan intimidasi juga akan menyertai proses pembebasan lahan di IKN.
Baca juga : Masyarakat Adat di IKN Butuh Sosialisasi dan Perlindungan
Urgensi UU Masyarakat Adat
Lemahnya posisi masyarakat adat ini semakin menguatkan urgensi disahkannya RUU Masyarakat Adat. RUU yang telah dibahas di tiga periode presiden, dari pemerintahan SBY periode kedua hingga dua periode pemerintahan Jokowi, masih mandek pembahasannya di DPR. Sampai saat ini, nasib kelanjutan dari produk legislasi ini pun tidak jelas.
Tak ayal, UU Masyarakat Adat menjadi salah satu “hutang” pemerintahan Jokowi yang belum lunas. Pasalnya, UU ini menjadi salah satu yang diberikan perhatian oleh Presiden Jokowi. Bahkan, saat maju sebagai calon presiden di 2014, agenda ini menjadi salah satu bagian dari visi Nawacita yang diusungnya.
Perhatian ini pun sebetulnya telah dituangkan ke dalam peraturan. Tak lama setelah menjabat, menindaklanjuti Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 tentang Wilayah Adat sebagai Hak Konstitusional Masyarakat Adat, Presiden Jokowi menerbitkan instruksi presiden yang membentuk Satgas Masyarakat Adat di bawah Kementerian LHK, dan berkoordinasi dengan Polri untuk melindungi masyarakat adat pada 2015.
Selain itu, Presiden Jokowi juga menerbitkan Surat Presiden (Supres) pada 2018 untuk mendorong percepatan pembahasan RUU Masyarakat Adat. Dalam dokumen tersebut, Presiden Jokowi memberikan tanggung jawab pembahasan RUU tersebut ke enam kementerian, yakni KLHK, Kemenkumham, Kemendes, ATR/BPN, KKP dan Kemendagri yang juga berlaku sebagai koordinator.
Sayangnya, upaya mengakselerasi proses legislasi RUU Masyarakat Adat bak bertepuk sebelah tangan. Pasalnya, meski telah berulang kali masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) RUU ini tak kunjung selesai dibahas.
DPR dan pemerintah pun justru terkesan saling lempar bola, antara daftar inventaris masalah (DIM) yang tak segera diberikan pemerintah dan DPR yang tak kunjung membahas RUU ini di sidang paripurna.
Padahal, dasar yang menjadi landasan RUU ini sudah kuat. Beberapa produk hukum seperti UUD 1945 Pasal 18B Ayat (2), UU No. 41 Tahun 1999 dan UU No. 11 Tahun 2005 sudah secara terang memberikan pengakuan terhadap masyarakat adat. Bahkan berdasarkan UU No. 11 Tahun 2005, negara mempunyai kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak masyarakat hukum adat.
Maka, hal ini menunjukkan bahwa mandeknya proses legislasi RUU Masyarakat Adat berakar pada lemahnya kemauan politik, baik di sisi pemerintah maupun DPR. Padahal, tanpa adanya RUU ini, masyarakat adat akan terus rentan mengalami diskriminasi, intimidasi, hingga kriminalisasi apabila berhadapan dengan hukum.
Di tengah kehampaan hukum ini, pemerintah perlu mempertimbangkan aspek kemanusiaan dalam rencana-rencana pembangunan IKN.
Jangan sampai, ketidakadaan payung regulasi justru dieksploitasi, hanya untuk kepentingan mempercepat proses pembangunan. Karena, selain penderitaan warga adat, pendekatan represif hanya akan menjadi “iklan” yang buruk bagi IKN dan membuat para investor pun enggan untuk terlibat. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Tanahnya Diakui Negara, Masyarakat Adatnya Tidak