Politik Lampung Dikekang Kultur Patronase dan Modal Korporasi
Menjadi salah satu basis PDI-P di luar Jawa, Lampung jadi arena perebutan kekuasaan antara modal korporat dan budaya patronase. Penguasaan politik banyak dipengaruhi demografi penduduk yang mayoritas etnis Jawa.
”Kesan melewati jalan rusak seperti apa, Pak?” tanya wartawan kepada Presiden Joko Widodo dalam kunjungan peninjauan infrastruktur jalan ke Lampung pada 5 Mei 2023.
Presiden Jokowi, didampingi Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan dan Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir, menjawab, ”Jalannya mulus, enak dinikmati. Sampai Pak Zul tadi tidur, saya juga tidur.” Zulkifli menimpali, ”Kalau ada yang hamil, bisa ngelahirin.”
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Baik Zulkifli Hasan maupun Erick Thohir merupakan menteri anggota kabinet berdarah Lampung. Peristiwa yang viral di media sosial itu sungguh unik dan banyak dianggap sebagai sindiran Presiden Jokowi atas kondisi jalan di Lampung.
Terlebih Gubernur Lampung Arinal Djunaidi yang berada di belakang Jokowi malah ikut tersenyum. Tak ayal warganet banyak mengomentari Gubernur Lampung yang dianggap kurang peka terhadap sindiran Presiden Jokowi.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) pada Mei 2023 mencatat ada 50 persen jalan kabupaten/kota di Lampung sepanjang 17.700 kilometer dalam kondisi rusak.
Kondisi ini berbeda dengan jalan nasional yang 95 persen dalam kondisi baik dan jalan provinsi yang 77 persen dalam kondisi baik. Jalan di Kecamatan Rumbia, Lampung Tengah, yang ditinjau Presiden Jokowi tersebut merupakan jalan provinsi dan sudah berpuluh tahun rusak parah.
Secara politik, Lampung merupakan pendukung Jokowi dalam Pemilu 2019 dengan raihan 59,32 persen. Demikian pula bagi PDI-P, Lampung adalah salah satu wilayah andalan meraup suara.
Saat Pemilu Legislatif 1999, di Lampung, penguasaan PDI-P berhasil di 10 wilayah dengan rata-rata 39,4 persen raihan suara. Pada Pemilu 2004 dan 2009, Lampung dimenangi oleh Golkar dan Demokrat. Dalam Pileg 2014, PDI-P menang dengan meraih 17,52 persen suara dan pada Pemilu 2019 sebanyak 21,09 persen suara.
Kabupaten Lampung Barat yang beribu kota di Liwa tercatat merupakan ”kandang banteng” dengan kemenangan PDI-P di sepanjang pemilu era reformasi. Bahkan, pada Pemilu 2019, wilayah ini, PDI-P meraih 56,85 persen suara, tertinggi sepanjang penyelenggaraan pemilu di Lampung.
Tidak banyak wilayah di luar Jawa yang mampu membawa kemenangan berulang bagi PDI-P, apalagi sampai level provinsi. Dibandingkan dengan wilayah Sumatera bagian selatan lainnya, Lampung jauh lebih konsisten memenangkan PDI-P meski tak menang mutlak. Tak heran partai ini menargetkan kemenangan ketiga di provinsi ”Bumi Ruwa Jurai” ini.
Artinya, dengan posisi geopolitik tersebut, Lampung sesungguhnya merupakan aset bernilai politik tinggi bagi raihan suara PDI-P. Sayangnya, dengan citra pembangunan infrastruktur jalan yang buruk sebagaimana dikisahkan di awal tulisan, bisa-bisa menjadi kontradiksi dan membawa persepsi negatif bagi partai banteng.
Baca juga : Memori Historis dan Kemenangan PDI-P di Mataraman Jawa Timur
Politik demografi
Keterkaitan Lampung sebagai daerah basis pemilih beretnis Jawa di luar Pulau Jawa berasal dari basis transmigran Jawa Tengah dan Jawa Timur yang ditengarai di masa lalu merupakan pemilih Partai Nasional Indonesia (PNI).
Menurut pengamat politik Universitas Lampung, Roby Cahyadi Kurniawan, pemilih PNI loyal kepada Presiden Soekarno, PNI, dan Megawati. ”Mereka masih memasang foto-foto Soekarno di dinding ruang tamunya ketimbang tokoh nasional,” kata Roby.
Tak heran hingga kini kekuatan PDI-P relatif tetap kuat di berbagai wilayah yang merupakan kantong pemilih etnis Jawa di Lampung karena asosiasi partai ini sebagai partai Soekarnois.
Lampung memiliki sebaran pemilih pemilu mayoritas beretnis Jawa, khususnya dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Saat ini sebanyak 62 persen penduduk Lampung merupakan keturunan etnis Jawa dan hanya 25 persen bersuku asli Lampung.
Di masa Orde Baru, gubernur selalu orang Jawa. Namun, keadaan itu berubah ketika reformasi membuat sentimen putra daerah dan orang asli Lampung muncul dan sejak saat itu komposisi pemimpin daerah berubah dinamis di setiap pilkada. Dari berbagai pemilu, komposisi Jawa-Lampung atau sebaliknya seakan menjadi ”rumus” dalam pencalonan di pilkada.
Untuk tingkat provinsi, calon gubernur biasanya merupakan suku Lampung asli. ”Mobilisasi politik di antara elite politik Lampung lebih kuat sehingga selalu menang di provinsi. Kalau orang Lampung yang mau maju harus merepresentasikan Jawa dan/atau Lampung,” kata Roby. Sebaliknya, di tingkat kabupaten/kota keturunan Jawa banyak yang menang dengan kolaborasi wakilnya yang warga asli Lampung.
Baca juga : ”Medan Pertempuran” Tiga Matahari Politik
Budaya patronase
Di tengah komposisi penduduk tersebut, budaya patronase masih mengakar di pemilih Lampung baik asli maupun pendatang. Budaya patronase di sini banyak terkait dengan kondisi sosial ekonomi yang relatif terbatas sehingga membutuhkan pemimpin sebagai ”pelindung” yang mengayomi terutama dalam konteks sosial dan ekonomi.
Roby menyatakan, pemilih Lampung berkarakteristik pragmatis dan rasional dalam arti perhitungan untung rugi secara ekonomis. Hal ini terkait dengan situasi sosial ekonomi serta lingkup budaya politik yang patronalistik yang mengakibatkan warga cenderung transaksional. Hal ini sesuai dengan temuan lembaga survei di mana pilihan politik pemilu ditentukan pada saat-saat akhir menjelang pencoblosan.
Patronase dalam konteks sosial juga terindikasi dari cairnya pilihan politik di sejumlah wilayah dan pemilu. Kemenangan Partai Demokrat di 8 dari 11 wilayah di Lampung pada Pemilu 2009 karena publik Lampung terpikat pada sosok Susilo Bambang Yudhoyono yang saat itu menjadi alternatif pilihan capres ”nasionalis” selain Megawati Soekarnoputri. Tetapi, pengaruh itu tak mendalam karena pada pemilu-pemilu berikutnya sebanyak 7 dari 8 daerah yang dimenangi Demokrat ”balik kanan” berubah pilihan ke berbagai parpol lainnya.
Pemilih Lampung berkarakteristik pragmatis dan rasional dalam arti perhitungan untung rugi secara ekonomis.
Demikian pula naiknya kekuatan politik Nasdem selama Pemilu 2014 dan Pemilu 2019 di Kabupaten Mesuji dan Lampung Utara dipicu oleh kemenangan sejumlah kepala daerah yang diusung Nasdem.
Kekuatan struktur partai berkembang yang diikuti dengan semakin banyaknya calon anggota legislatif tokoh lokal yang maju dari Nasdem. Memanfaatkan persoalan mendasar isu keamanan, konflik lahan, dan infrastruktur memberikan celah bagi kader Nasdem meraup suara publik dengan format patronase sosial.
Patronase sosial juga masih dipengaruhi tokoh masa lalu, khususnya dari Golkar, yang memengaruhi konstelasi pilihan parpol di Lampung.
Banyak anomali pola pilihan parpol dalam sebuah wilayah karena masih kentalnya patronase tokoh Golkar di tengah heterogenitas penduduk. Kekuatan politik Golkar di masa lalu, termasuk tokoh-tokoh, juga masih cukup mengakar di sebagian wilayah seperti di Bandar Lampung, Metro, Tulang Bawang, dan Lampung Tengah.
Baca juga : Menguji Kultur Demokrasi di Daerah Istimewa Yogyakarta
Politik korporasi
Jika dalam pemilu legislatif banyak dipengaruhi faktor demografi dan budaya patronase, maka pemilu kepala daerah ditengarai melibatkan modal korporasi besar yang bergerak dalam industri gula yang dominan di Lampung.
Kelindan politik uang dalam pemilu di Lampung sudah berlangsung lama. Sosok petinggi korporasi tersebut kerap terang-terangan berkampanye untuk calon gubernur tertentu.
Di masa pemilu sebelumnya, suara pemilih Lampung pun bisa berubah drastis hanya dalam waktu relatif singkat. Ambil contoh di Pilkada 27 Juni 2018, jika pada Maret 2018 sejumlah lembaga riset kredibel masih menempatkan cagub Arinal Djunaidi di urutan ketiga dengan perolehan suara hanya sekitar 10 persen, maka menjelang 27 Juni 2018 perolehan suara Arinal melejit menjadi sekitar 35 persen dan akhirnya memenangi Pilgub Lampung 2018.
Dalam Pemilu Gubernur Lampung 27 Juni 2018 itu, tiga tim sukses pasangan calon pesaing cagub Arinal Djunaidi mengajukan gugatan ke KPU dan Bawaslu atas dugaan terjadinya politik uang yang masif. Meski demikian, dalam rapat dengar pendapat DPRD Lampung 29 Juni 2018, atas berbagai kasus yang ditemukan masyarakat di lapangan, Bawaslu Lampung hanya mencatat belasan kasus politik uang.
Ketua DPD Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Lampung Penta Peturun menggarisbawahi peran modal korporasi besar dalam hajatan politik di Lampung. Korporasi tersebut mengambil peran dalam politik karena kepentingan perizinan perluasan lahan hak guna usaha bidang agrobisnis tebu dan pengembangan modal mereka.
Dalam pilkada sebelumnya, Penta mendapat informasi valid jumlah biaya yang dikeluarkan untuk politik uang dari ”investor besar” di Lampung. ”Mulai dari metode, kerja, sampai bentuk barang yang diberikan kepada pemilih membuat semua orang di Lampung sudah tahu siapa yang memberi modal,” kata Penta.
Hanya dalam kurun waktu antara enam bulan hingga satu tahun, gerakan kampanye politik yang didukung modal korporasi itu mampu mengangkat tingkat elektabilitas calon gubernur yang semula ”gurem” menjadi ”tajir” melalui berbagai ajang ”kampanye politik berhadiah”.
Hadiah yang diberikan tak main-main. Bisa berupa alat kerja pertanian, sapi, bahkan kendaraan bermotor. Tak heran dana yang dibelanjakan bisa menghabiskan Rp 100 juta per hari untuk diberikan sebagai ”gimik” kepada massa yang datang. ”Kalau mau tahu siapa pemenang Pilkada Gubernur Lampung 2024, lihat saja kecondongan pemilik modal korporasi gula di Lampung condong ke mana, itulah potensi terbesar pemenang,” kata Penta.
Selama ini sudah dua gubernur yang didukungnya unggul melejit dalam beberapa bulan saja. Dengan format dan kondisi sosial politik yang semacam itu, patut disebut bahwa pemilihan Gubernur Lampung sesungguhnya dalam kekang modal korporasi ketimbang suara rakyat. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Corak Politik Kontras Metropolitan Surabaya dan Satelitnya