Memori Historis dan Kemenangan PDI-P di Mataraman Jawa Timur
Kemenangan PDI-P di wilayah Mataraman Jawa Timur menegaskan masih kuatnya pengaruh politik massa nasionalis. Bagaimana peluangnya di Pemilu 2024?
Masih kuatnya pengaruh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di wilayah Mataraman Jawa Timur tecermin dari keunggulan elektoral partai ini selama pemilu era reformasi.
Istilah Mataraman merujuk suatu wilayah di Jawa Timur yang berada di bawah pengaruh budaya kerajaan Mataram Islam era abad ke-16 sampai 17 yang umumnya meliputi bekas wilayah Keresidenan Madiun dan Keresidenan Kediri.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Wilayah eks-Keresidenan Madiun mencakup Kabupaten Madiun, Kota Madiun, Kabupaten Magetan, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Pacitan, dan Kabupaten Ponorogo. Sedangkan eks-Keresidenan Kediri mencakup Kota Kediri, Kabupaten Kediri, Nganjuk, Tulungagung, Blitar, dan Trenggalek.
Dari 16 wilayah yang dalam analisis ini dianggap termasuk Mataraman, 11 wilayah di antaranya mampu dimenangi partai Banteng di Pemilu 2019.
Bila dilihat di peta geopolitik pemilu era reformasi, wilayah Mataraman masih relatif didominasi warna merah PDI-P meski ada beberapa wilayah tertentu yang mulai konsisten berhasil direbut oleh Partai Demokrat dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Dari 11 wilayah Mataraman tersebut, empat daerah, yaitu Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Blitar, Kabupaten Kediri, dan Kabupaten Malang, merupakan wilayah loyalis yang dimenangi PDI-P secara terus-menerus selama lima kali pemilu era reformasi. Kemenangan yang dimaksud di sini adalah raihan suara tertinggi dalam ajang pemilu legislatif untuk penghitungan suara tingkat DPR-RI.
Selain mampu memenangi perolehan suara legislatif DPR dengan proporsi rata-rata sepertiga suara pemilih, elektabilitas PDI-P di keempat wilayah ”kandang banteng” itu relatif stabil meski menurun.
Jika dibandingkan dengan hasil Pemilu 1999 di wilayah Mataraman lainnya, elektabilitas keempat daerah belum mampu mengulang tingginya prestasi PDI-P yang mencapai separuh bagian pemilih seperti di kota Madiun, Ngawi, dan Magetan. Dari keseluruhan 16 daerah Jawa Timur Mataraman yang diukur elektabilitasnya dibandingkan Pemilu 1999, hanya di kota Blitar mampu mencatatkan garis tren meningkat. Kompleks makam Bung Karno menjadi penanda utama.
Proporsi kemenangan PDI-P di kota dengan semangat ”Bumi Kelahiran Soekarno” ini tercatat 41,54 persen (2019), tertinggi dibandingkan wilayah lainnya. Pada pemilu 2014, kota ini bahkan mencatatkan rekor 57,8 persen pemilih PDI-P, tertinggi di seluruh pemilu Mataraman.
Sulit dimungkiri kekuatan politik partai banteng di wilayah Mataraman ini masih menjadi satu faktor penting penyusun kekuasaan daerah. Penanda simbolik dari nuansa kekuatan partai banteng mudah ditemukan di kawasan ini, khususnya mulai dari banyaknya bendera partai, baliho raksasa, hingga hiasan-hiasan kota bernuansa Soekarnoisme.
Dengan tren yang menurun, PDI-P masih tertinggi di Jawa Timur Mataraman dan tampaknya masih memiliki basis loyalis tulen. Apa yang menyebabkan partai banteng masih kuat berkutat di sana?
Baca juga : Corak Politik Kontras Metropolitan Surabaya dan Satelitnya
Basis historis
Pengamat politik UGM, Mada Sukmajati, melihat aspek sosiologi-historis dan psikologis kepartaian menjadi faktor utama yang mendukung keunggulan PDI-P di wilayah Mataraman.
Secara psikologis, pilihan partai PDI-P tersosialisasikan melalui keluarga dengan proses party identification, yakni kecintaan kepada partai yang bersifat menyejarah personal. Karena memiliki orang tua yang memilih PDI-P, maka anak-anak pun mengikuti pilihan orang tua.
Selain rasa simpati, proses party identification kepada PDI-P disebabkan pula karena proses fusi parpol di masa lalu membuat pemilih Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) lebih terafiliasi ke PDI-P secara ideologi maupun ketokohan.
Proses identifikasi yang tersosialisasi itu bahkan masih tersisa bekas-bekasnya hingga kini. Proses ini terjaga di wilayah Jawa Timur Mataraman karena memori historis sebagai wilayah bekas pemilih PNI dan PKI.
”Dalam percakapan sehari-hari, menyebut kamu dulu kan PKI, tidak aneh dan memiliki konotasi yang dianggap biasa, tidak menyinggung” kata Mada.
Merujuk pada data Pemilu 1955, Kediri dan Madiun merupakan salah satu basis PNI dan PKI dengan jumlah sekitar 1,61 juta suara. Sementara kekuatan Partai Masyumi dan Partai Nahdlatul Ulama (NU) kala itu terkonsentrasi di wilayah Jawa Timur lainnya, yaitu Besuki (Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Situbondo, Kabupaten Jember, dan Kabupaten Banyuwangi) dan Madura yang meliputi 1,57 juta suara.
Dengan data Pemilu 1955, kita melihat kekuatan partai sekuler (PNI dan PKI) dan partai agama (Masyumi dan NU) di seluruh Jawa Timur pada akhirnya relatif berimbang.
Jumlah suara PNI dan PKI mencakup 4,55 juta suara, sedangkan jumlah suara NU-Masyumi mencakup 4,48 juta suara. Kekuatan sekuler nasionalis lebih banyak terpusat di Kediri-Madiun, sedangkan kekuatan partai Islam di Besuki, Madura, dan Surabaya.
Gambaran raihan suara di Pemilu 1955 menunjukkan ”modal politik dasar” wilayah Jatim sesungguhnya terbagi rata ke dua kekuatan sekuler dan agamis dengan perwilayahan tersendiri.
Kekuatan nasionalis di wilayah Mataraman relatif mampu mempertahankan keunggulan dalam raihan suara pemilu era reformasi meski terlihat mulai ada penurunan yang diduga akibat persoalan alih generasi.
Pola keseimbangan antara pemilih parpol nasionalis dan parpol Islam tersebut menjadi ciri peta politik di Jawa Timur yang terus berlangsung hingga saat ini dengan transformasi ke PDI-P dan PKB.
Hal demikian juga terjadi dalam identifikasi politik para pemilih di wilayah Mataraman sehingga membuat wilayah bagian barat selatan Jatim ini terus menjadi wilayah basis elektoral PDI-P.
Baca juga : ”Medan Pertempuran” Tiga Matahari Politik
Demokrat dan Golkar
Meski masih menguasai perpolitikan di tlatah Mataraman, ada sejumlah daerah yang mengalami kekalahan raihan suara dari partai lain, khususnya Demokrat. Hal ini karena kemenangan Partai Demokrat dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Pemilu 2009 masih memberi pengaruh kuat di wilayah Mataraman.
Ada 12 kota/kabupaten yang dimenangi oleh Demokrat di Pileg 2009 dan hingga Pemilu 2019 masih ”menyisakan” Pacitan dan Magetan sebagai wilayah penguasaan Demokrat.
Khusus wilayah Pacitan bahkan sudah dimenangi Demokrat sejak Pemilu 2004 dengan rata-rata di atas 50 persen suara. Padahal, di Pemilu 1999 kabupaten Pacitan dimenangi PDI-P dengan 37,17 persen suara.
Mudah dipahami bahwa hegemoni Demokrat di Pacitan sangat berkaitan dengan sosok SBY yang berasal dari daerah ini. Kuatnya pamor SBY tampak dari kondisi fisik wilayah Pacitan yang bernuansa SBY dengan keberadaan museum SBY-Ani di pusat kota. Museum yang konon berisikan foto-foto, penghargaan, dan berbagai lukisan milik keluarga SBY ini diresmikan Juni 2023.
Selain dua wilayah tersebut, ada dua daerah Mataraman lainnya yang juga lepas dari kemenangan PDI-P yakni, Ponorogo, Kabupaten Madiun, dan Kabupaten Nganjuk.
Khusus Ponorogo, sejak Pemilu 2004 ternyata sudah ”lepas” dari tangan PDI-P dan dimenangi Golkar di Pemilu 2004 dan 2014, dimenangi Demokrat di Pemilu 2009, dan akhirnya dimenangi Nasdem di Pemilu 2019. Sementara Kabupaten Madiun dan Kabupaten Nganjuk menjadi wilayah yang dimenangi PKB selama dua pemilu termutakhir.
Perbedaan politik di Pacitan dan Ponorogo bisa ditelusuri pula dari kedekatan budaya dua wilayah itu dengan Mataraman ”ala Solo” melalui Wonogiri.
Hal ini berbeda dengan kultural orang Madiun yang berorientasi ke barat (Yogya) bukan ke selatan (Ponorogo-Pacitan) atau pun ke timur (Surabaya). Budayawan Umar Kayam menyebut dengan karakter orang Madiun sebagai ”tempuran” yang dianggap sebagai campuran timur dan barat. ”Di Jawa Timur tidak dianggap benar Surabaya, di Solo juga dianggap Jawa Timur,” kata Mada.
Baca juga : Napas Nasionalisme dan Tantangan Partai Religius
Partai melempem
Dari empat daerah loyalis PDI-P, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Blitar, Kabupaten Kediri, dan Kabupaten Malang, rata-rata pertumbuhan ekonomi daerah cukup tinggi, tetapi belum menciptakan capaian kesejahteraan daerah yang mapan.
Hal ini terindikasi dari masih rendahnya PDRB per kapita di tengah relatif tingginya pertumbuhan ekonomi. Artinya, ciri kelas menengah yang kuat tidak tecermin pada keempat daerah loyalis partai banteng tersebut.
Bahkan, secara sosiologis, kemiskinan dan pertanian di Mataraman justru turut memelihara statisnya peta politik karena partai politik selain PDI-P pun tidak menggarap isu-isu tersebut dengan framing berbeda.
Partai-partai tidak menggarap isu kemiskinan daerah dengan program-program pengentasan yang inovatif baik oleh partai nasionalis maupun partai Islam.
Dampak dari kondisi komposisi dan peta politik demikian pada akhirnya memancing relatif kuatnya politik uang. Praktik politik uang sangat massif di daerah-daerah itu. Merujuk penelitian yang pernah dilakukan Mada Sukmajati di Kabupaten dan Kota Madiun, sekitar 30 persen alokasi biaya politik dari kandidat di kota dan Kabupaten Madiun dipakai untuk ngebom di pilkada.
Selain itu, cara politiknya sudah sangat patronase, berbasis relasi imbal jasa pada saat sang calon terpilih. Hal ini ditunjang oleh sirkulasi pemilih atau pendukung partai nasionalis berputar di antara partai-partai nasionalis sendiri.
Hanya partai-partai dengan sosok dan kapital kuat yang mampu menerobos komposisi statis politik di Jawa Timur. Jika tidak, partai banteng tetap akan unggul hingga Pemilu 2024. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Penguasaan Partai Nasionalis Kian Terpencar