Setelah reformasi, pilihan politik warga Sumatera Selatan pada pemilihan anggota DPR cenderung dikuasai PDI-P dan Golkar. Namun, dominasi kedua partai nasionalis itu dihadapkan pada menguatnya PKB, Demokrat, dan Nasdem.
Oleh
M Toto Suryaningtyas/Litbang Kompas
·5 menit baca
Golongan Karya pada Pemilu 1997 mencatatkan kemenangan dengan meraih 84,98 persen suara di Sumatera Selatan. Pada pemilu pertama era Reformasi 1999, dominasi Partai Golkar sempat tertundukkan oleh kemenangan PDI Perjuangan. Namun, kekuatan Golkar di daerah ”Bumi Sriwijaya” ini tampak jelas dari kemampuannya kembali menyapu kemenangan pemilu DPR setelah Pemilu 1999.
Pada Pemilu 2004, Golkar kembali merebut keunggulan atas PDI-P di 10 dari 14 kabupaten/kota di Sumsel. Kekuatan politik Golkar itu kembali dibuktikan di Pemilu 2009 dengan merebut kemenangan di sembilan kabupaten/kota. Pemilu di era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tersebut juga memberikan keunggulan tiga kabupaten/kota bagi Partai Demokrat.
Adapun PDI-P baru mampu mengulang pamornya pada Pemilu 2014. Terdapat delapan kabupaten/kota di Sumsel yang mampu dimenanginya. Bandingkan dengan suara PDI-P pada Pemilu 2009 yang hanya mampu unggul di satu daerah, yaitu Kabupaten Muara Enim.
Pada Pemilu 2019, warna politik Sumsel justru semakin bervariasi dengan munculnya partai-partai nasionalis ”baru” yang mampu mengungguli suara parpol lama. Partai Nasdem menyeruak dengan keunggulan di lima kabupaten/kota. Sementara Golkar masih mampu meraih keunggulan di enam kabupaten/kota. Muncul pula Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang unggul di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Timur.
Namun, patut dicatat bahwa proporsi kemenangan suara partai-partai pada pemilu DPR di Sumsel ini tidak unggul mutlak. Dari Pemilu 2004 hingga 2019, misalnya, capaian suara parpol yang unggul di tiap daerah rata-rata hanya ada di kisaran 20-30 persen suara sah. Tak ada satu pun parpol yang mampu unggul meraih suara hingga di atas 50 persen di pemilu DPR.
Bahkan, raihan suara tertinggi hanya tercatat terjadi pada Pemilu 1999 di Kota Prabumulih, Banyuasin, dan Musi Banyuasin dengan angka raihan PDI-P sebagai parpol pemenang mencapai di atas 40 persen suara. Sementara raihan suara Golkar tertinggi tercatat hanya terjadi pada Pemilu 2009, yakni di Ogan Ilir dengan 36,4 persen suara.
Selain itu, tak ada satu pun kabupaten/kota di Sumsel yang mampu dimenangi secara terus-menerus dari Pemilu 1999 hingga Pemilu2019, oleh satu partai politik. Termasuk di Kota Palembang yang pada pemilu legislatif DPR tercatat dimenangi secara berubah-ubah oleh PDI-P (1999), Demokrat (2004-2009), Golkar (2014), dan Partai Gerindra (2019).
Pergeseran politik
Tiadanya parpol dominan di era Reformasi dan berkurangnya kekuatan politik Golkar dan PDI-P di Sumsel mencerminkan pergeseran basis massa parpol nasionalis di Bumi Sriwijaya. Daerah yang cenderung menjadi basis Golkar dan PDI-P ini pilihan politiknya mulai berpencar ke berbagai parpol.
Salah satu faktor pergeseran basis massa ini adalah munculnya patron-patron lokal sebagai kepala daerah yang memenangi pilkada sehingga mengubah drastis pilihan politik di daerah tersebut. Ambil contoh keunggulan Nasdem, yang merupakan parpol pengusung Gubernur Sumsel Herman Deru, pada Pemilu 2019.
Namun, ada pula aspek lain, seperti munculnya tokoh lokal meskipun dia tidak diusung parpol besar/pemenang. Seperti kemenangan pasangan bupati Herman Deru-Kholid Mawardi pada Pilkada OKU Timur (2005) yang diusung parpol kecil, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Bulan Bintang (PBB). Demikian pula Pilkada OKU Selatan (2005) di mana pasangan Muhtadin Sera’i-M Wantjik Rasyid menang dengan didukung PBB.
Tokoh-tokoh lokal ini membangun legitimasi politik selama bertahun-tahun sebelum memenangi pilkada. Contoh lainnya ialah terpilihnya Mawardi Yahya sebagai Wakil Gubernur Sumsel di Pilkada 2018 mendampingi Herman Deru merupakan bukti kuatnya pengaruh politik Mawardi.
Sebelumnya, Mawardi juga pernah menjabat Ketua DPRD Ogan Ilir selama dua periode sebelum terpilih sebagai Bupati Ogan Ilir yang juga menjabat selama dua periode. Mawardi juga pernah menjadi Ketua DPD Partai Golkar Ogan Ilir selama tiga periode.
Di sisi lain, parpol besar kerap kali sudah ketinggalan dalam strategi meraih suara dan perhatian publik dalam kontestasi politik. Hal ini terlihat dari Golkar yang dahulu kuat secara politik karena menguasai dengan menggunakan aparat birokrasi. ”Sekarang masih berjalan, tapi tak sekuat dulu,” kata Ardiyan Saptawan, pengajar politik Universitas Sriwijaya.
Menurut Ardiyan, masyarakat Sumsel saat ini semakin tidak melihat partai melainkan orang/calegnya. ”Jadi, jika orangnya pindah partai, mereka membawa pengaruhnya,” tambah Ardiyan.
Hal ini mengakibatkan fenomena pindah partai, yang kemudian menarik pula pemilih personalnya. Perpindahan kader ini yang menyebabkan pilihan dari Golkar dan PDI-P turut berpindah ke Nasdem, Demokrat, serta Gerindra. Hal ini ditambah aturan internal partai seperti PDI-P yang mensyaratkan seorang calon anggota legislatif (caleg) yang dua kali menduduki kursi dewan harus meningkat ke jenjang lebih tinggi.
”Wong Kito”
Secara umum, corak pemilih Sumsel masih cenderung tradisional alias lebih dipengaruhi faktor sosiologis, tetapi kini mengalami perkembangan menjadi new traditional. Di satu sisi lembaga tradisional, seperti kepala adat, sudah berkurang, sedangkan semangat primordial dan kepentingan makin kuat. Akibatnya, hal ini memunculkan patron-patron lokal yang memiliki pengaruh kuat politik di lapangan.
Kekerabatan yang berjuluk wong kito terbentuk bukan karena etnis, tetapi karena dia merupakan ”orang saya” sehingga lebih didahulukan daripada orang lain. Pemahaman wong kito saat ini bukan berdasar etnis semata, melainkan berdasarkan kepentingan, kewilayahan, dan perluasan makna ”kalangan sendiri”. Hal itu karena kondisi itu dimainkan oleh caleg supaya mereka merasa bersaudara.
Dalam melakukan penguasaan terhadap pemilih, para caleg berupaya memenangi suara di akar rumput. Akibatnya, meski opini berkembang macam-macam, yang menang adalah pengelolaan politik wong kito yang dilakukan para broker politik yang disebut secara lokal dengan kepala pecong. Kepala pecong dulunya sebutan untuk tokoh masyarakat umum, tetapi kini mengalami degradasi makna, salah satunya menjadi broker politik.
Tanpa peran mereka, para caleg tak akan mampu memasang atau menjaga sekadar spanduk kampanye. Mereka berkolaborasi dengan para ketua RT/wilayah setempat. Oleh karena itu, para caleg biasa mendekati mereka untuk membantu meraih kemenangan suara. Demokrasi di wilayah ini pun berada di simpang jalan.